Tergusurnya Ruang Publik di Media

Wahyu Kuncoro

Wahyu Kuncoro

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Kecemasan banyak pihak bahwa akan terjadi benturan keras antara pendukung kedua pasangan Capres Prabowo – Hatta dan Jokowi-Kalla patut disikapi secara bijak. Hasil perhitungan cepat (quick count) yang dilakukan sejumlah lembaga survei justru memicu terjadinya benturan tersebut, mengapa? Karena lembaga survei yang sesungguhnya merupakan metode yang akademis telah berubah menjadi alat politik yang bertujuan untuk mengarahkan publik demi kepentingan pasangan calon tertentu. Imbasnya, hasil lembaga survei yang terbelah ke dalam kedua kubu malah memantik timbulnya pertaruangan yang kian memanas. Akibatnya, masa-masa menuju pengumuman hasil resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) 22 Juli mendatang sungguh dibayangi kecemasan dan ketakutan.
Kecemasan itu tentu bukan tanpa alasan. Di media sosial, benturan pemikiran dan opini antara kedua kubu benar-benar sudah terjadi bahkan nyaris tanpa kendali. Masing-masing kubu mencoba membangun opini dengan begitu hebatnya sehingga bias fakta menjadi tak terelakan. Situasi ‘perang’ di jagat maya tersebut bisa jadi akan menjadi kenyataan ketika tidak dilakukan upaya-upaya berbagai pihak untuk mendinginkan suasana.
Salah satu elemen yang diharapkan memiliki peran strategis untuk mendinginkan suasana adalah media massa (pers). Sayangnya, di masa Pilpres hari ini, peran media untuk menjadi penyejuk atmosfera politik yang demikian panas ini rasanya juga menjadi berlebihan, mengapa? Tidak lain adalah karena munculnya kecenderungan pers ikut arus dalam pertarungan politik tersebut. Artinya, pers telah menjelma menjadi ajang pertarungan opini dan kepentingan antara dua kubu yang sedang berperang secara politik. Dalam situasi sedemikian maka, harapan dan kepentingan publik menjadi tergusur dari ruang-ruang media. Media tidak lagi memiliki ruang yang cukup bagi publik untuk menunjukkan aspirasi dengan kepentingan. Media tidak mampu lagi menjadi saluran bagi publik untuk menyampaikan suaranya, media justru malah menjadi alat politik untuk menaklukan publik.
Media Massa dan Demokratisasi
Media massa selama ini dimaknai sebagai salah satu pilar demokrasi. Artinya, media memiliki peranan yang penting di dalam menjaga bahkan memengaruhi jalannya suatu sistem politik yang demokratis di suatu negara atau wilayah tertentu. Sedikit banyaknya praktik media massa berkontribusi terhadap bagaimana prinsip-prinsip demokratisasi mampu terselenggarakan dalam tatanan masyarakat.
Di negara-negara yang sudah lebih maju dan dianggap telah lebih matang dalam hal pelaksanaan sistem politiknya, maka posisi media sebagai instrumen demokrasi akan lebih terlihat. Media massa menjadi indikator dalam pelaksanaan sistem politik. Selanjutnya mereka akan memposisikan dirinya sebagai penyeimbang dalam perjalanan sistem tersebut dalam upaya menjaga demokratisasi yang berjalan. Sedangkan di negara yang belum terlalu dewasa dalam sistem politiknya, media massa lebih banyak diharapkan berperan dalam mendorong upaya-upaya penciptaan suasana pemerintahan yang menuju ke arah demokrasi.
Katrin Voltmer (2006) menjelaskan ada dua sudut pandang dalam melihat media dalam ranah komunikasi politik. Pertama, dilihat dalam perspektif argumentatif normatif. Demokrasi mensyaratkan adanya suasana kebebasan dalam berbicara dan menyampaikan pendapat sehingga terciptanya ruang debat publik yang sehat. Untuk itu, syarat ini secara tidak langsung akan menciptakan sistem pers yang juga bersifat demokratis. Dengan adanya pers yang bebas ini maka media menjadi semacam “marketplace of ideas” yang memungkinkan berbagai macam pandangan dan suara muncul dalam debat publik tadi tanpa perlu mengkhawatirkan tekanan dari penguasa atau pemerintah.
Pandangan akan peran media semacam ini pun  dikritik karena posisi media massa dianggap netral dan hanya sebagai perantara semata. Media massa hanya sebagai alat yang menjembatani segala macam fakta dan opini dalam komunikasi politik yang terjadi. Padahal, ada kalanya media massa justru berfungsi sebagai pihak yang menciptakan isu-isu tertentu dalam debat publik dalam suatu peritiwa politik. Voltmer untuk itu mengajukan pandangannya yang kedua, yaitu melihat media dalam konteks yang lebih luas.
Media ditempatkan sebagai aktor yang terlibat di dalam proses komunikasi politik itu sendiri. Fungsinya bukan sekedar menjembatani pesan-pesan politik antara elit dengan konstituen atau masyarakat, akan tetapi mampu mempengaruhi kedua belah pihak tersebut. Pada kasus tertentu kita dapat menemukan bahwa media cenderung memihak kepada pihak-pihak tertentu dalam isu politik.
Media Massa dan Public Sphere
Kovach (2001) secara khusus menjelaskan salah satu elemen dari sembilan elemen jurnalistik yang bisa dijadikan pegangan dalam menjalankan tugas jurnalisme secara profesional adalah bahwa jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukan kompromi.
Forum publik merupakan media dimana orang-orang bisa menyampaikan pendapatnya, kritiknya, dan sebagainya. Dalam forum publik ini setiap orang dapat menyalurkan aspirasinya, berupa kritikan, pendapat, dan lain-lain untuk mengungkapkan suatu kebenaran dari sebuah berita dimedia.
Jurgen Habermas (2001) mengidamkan adanya sebuah situasi di mana munculnya sebuah public sphere (ruang publik), yang memungkinkan komuanikasi dilakukan dalam wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi. Dalam konsep tersebut Habermas melihat perkembangan wilayah sosial macam itu dalam sejarah masyarakat modern di mana dalam situasi tersebut memungkinkan kita untuk membentuk opini publik.
Semua warga masyarakat pada prinsipnya boleh memasuki dunia macam itu. Setiap individu berhak dan memiliki kesempatan yang sama untuk memasuki public sphere. Meskipun demikian, mereka tidak lagi hadir membawa kepentingan yang bersifat pribadi, melainkan hadir dalam diskursus untuk mendiskusikan demi kepentingan publik atau kepentingan bersama. Status-status individual seperti politikus, ekonom, dan semacamnya ditanggalkan karena bukan soal-soal pribadi mereka yang dipercakapkan, melainkan soal-soal kepentingan umum yang dibicarakan tanpa paksaan. Baru dalam situasi ini tiap-tiap individu ini berlaku sebagai publik, sebab mereka memiliki jaminan untuk berkumpul dan berserikat secara bebas dan menyatakan serta mengumumkan opini-opini mereka secara bebas.
Persoalan yang sampai sekarang belum terselesaikan adalah bagaimana menumbuhkan public sphere macam itu. Salah satu medium yang diharapkan mampu berperan sebagai public sphere dalam tatanan kehidupan masyarakat modern adalah media massa. Media massa dinantikan perannya sebagai sebuah ruang publik yang mampu menjembatani segala macam suara dan opini masyarakat dan menjadi ruang diskusi yang terbuka. Media massa oleh karenanya diharapkan tidak bersifat netral atau pasif di dalam konteks pemberitaan. Media seharusnya berperan sebagai ruang publik, sehingga dapat menjadi sarana diskusi bagi masyarakat untuk menyuarakan suara dan aspirasi politiknya. Media massa untuk itu sebagai cerminan dari diskursus publik.
Ketika media massa telah menjalankan fungsi agenda-setting, terutama dalam menfungsikan dirinya sebagai public sphere, maka kemungkinan suara masyarakat tersalurkan melalui media akan lebih dimungkinkan. Media untuk itu lebih berpihak kepada menyampaikan kepentingan dan aspirasi masyarakat dibandingkan sekedar menyalurkan kepentingan bisnis pemilik media ataupun kepentingan politik lainnya. Jika demikian, maka masyarakat akan melihat bahwa media massa dapat menjadi saluran komunikasi politik alternatif bagi mereka jika ternyata saluran komunikasi politik yang ada sudah tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.
Selama ini media massa dijadikan oleh berbagai kelompok kepentingan untuk tempat konflik, bahwa pendapat atau gagasan suatu kelompok tertentu lebih baik dari kelompok lainnya.
Oleh karena itu, media massa harus mampu menjadi ruang publik di mana masyarakat mendapatkan porsi yang serupa dalam memberikan komentarnya langsung terhadap suatu permasalahan dalam pemberitaan media massa. Sebuah media massa harus mewujudkan fungsi ruang publik ini, demi terjaminnya nilai-nilai kebebasan dan netralitas dalam berpendapat di muka umum. Wallahu’alam Bhis-shawwab

———– *** ———–

Rate this article!
Tags: