Terkoyaknya Keberagaman Bangsa

Abd Hanan.jpgOleh :
Abd Hannan
Pustakawan sekaligus akademisi sosial di Pascasarjana Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Surabaya.

Dunia adalah tentang keberagaman, keberagaman yang tebentuk dari berbagai macam bangsa, ras, negara, bahasa dan agama. Keberagaman adalah realitas sunnatullah, hukum alam yang berlaku pada seluruh penghuni jagat raya. Tak dapat dihindari, apalagi di tolak oleh siapa pun, dimana pun, dan kapan pun. Bahkan, sejak awal mula dimulainya sejarah kehidupan manusia, di situlah keberagaman ikut hadir dan membumi.
Keberagaman mengajarkan kita arti pentingnya kebersamaan. Hidup rukun, damai, dan saling menyebarkan kasih sayang. Dalam konteks seperti ini, sebuah perbedaan, apa pun itu nama dan bentuknya tak penting dan tak perlu dipermasalahkan, apalalagi ditolak. Menyatukan sekian perbedaan adalah hal yang mustahil, namun mendudukkan perbedaan secara berdampingan sangat mungkin kita lakukan. Itulah mengapa, sekian banyak perbedaan dalam kebaragaman di negeri kita, Inodnesia  perlu dipelihara. Bukan sebaliknya, dihujat, dihindari ataupun dirusak.
Indonesia bisa dikatakan bentuk mini dunia dalam hal keberagaman. Berbagai-bagai agama, etnik, dan kultur selama berpuluh bahkan mungkin beratus tahun hidup berdampingan di sekujur Nusantara. Dari sabang sampai maraoke, negeri ini didiami beragam tipologi masyarakat yang berangkat dari sekian banyak latar belakang. Atas fakta ini, tak sedikit dunia memuji kita sebagai negara yang piawai merawat keberagaman. Semua itu, antara lain, berkat kesadaran mayoritas bangsa kita yang hingga detik ini masih memiliki komitmen kuat menjaga kesatuan.
Harus kita akui, beberapa dinamika kebangsaan yang akhir-akhir ini terjadi di negara kita, termasuk perlakuan anarkis yang dialami eks pengikut gerakan fajar nusantara (Gafatar), di Mempawah, Kalimantan barat telah menodai komitmen keberagaman bangsa kita. Pasalnya beberapa hari lalu, sekelompok massa yang berasal dari masyarakat tertentu melakukan pembakaran terhadap rumah dan mobil mereka. Akibatnya, ratusan, bahkan ribuan orang kehilangan tempat tinggal sehingga terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Sebagai bangsa beradab yang hidup di bawah konstitusi, jelas kita tidak setuju terhadap perlakuan anarkis seperti yang dialami oleh saudara kita, eks pengikut Gafatar. Apa pun itu bentuk dan motifnya, setiap tindakan yang membawa unsur kekerasan tidaklah dapat dibenarkan. Karena yang demikian bertentangan dengan semangat kemanusiaan, serta telah menafikan nilai-nilai keadilan sebagaimana tertuang dalam konstitusi kita, UUD 45.
Jelas tertulis dalam konstitusi bahwa, negara berkewajiban melindungi segenap warganya. Itu dinyatakan secara gamblang dalam Undang-Undang Dasar kita. Negara mesti melindungi segenap lapisan rakyat, di mana pun mereka berada. Sebagai warga negara sah, masyarakat eks pengikut Gafatar berhak mendapat jaminan dari undang-undang tersebut. Namun nyatanya, negara seakan bersikap setengah hati, bahkan terkesan mendiam ketika tempat tinggal dan barang kepemilikan mereka dibakar.
Pada satu sisi, benar ketika kemudian negara menyediakan tempat pengungsian dan jaminan proses kepulangan mereka ke tempat asal masing-masing. Dalam hal semacam ini kita mengapresiasi. Namun di sisi lain kita juga patut merasa kecewa ketika negara kecolongan, gagal memberi perlindungan dan jaminan kenyamanan hidup bagi warganya sendiri. seperti apa yang terjadi pada eks pengikut Gafatar.
Demokrasi Setengah Hati?
Ketika warga negara mengalami perlakuan anarkis, maka adalah sebuah keniscayan bagi negara untuk hadir dan memberikan pertolongan. Negara beserta aparatus terkait tidak boleh diam diri, apalagi sampai menutup mata. Negara harus turun tangan melindungi dan memberi pengamanan, serta melakukan penindakan setegas mungkin kepada siapa saja yang terbukti terlibat.
Apa yang menimpa mantan anggota Gafatar jelas telah mencoreng demokrasi kita. Demokrasi yang sejatinya dipahami dalam bentuk penghormatan dan perlindungan nyatanya belum diterjemahkan secara praksis. Padahal, demokrasi mengajarkan kita untuk menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, humanis. Demokras menuntut negara lantang bersuara di saat hak dan asas-asas kemanusiaan terkoyak. Tegas dan menjalankan penindakan secepat mungkin. Bukan sebaliknya, diam diri seakan tidak terjadi apa-apa.
Sejarah besar peningkatan kualitas hidup berbangsa gagal terukir ketika sebuah negara memilih diam. Padahal, sebuah Pelanggaran atau kesalahan yang didiamkan akan diasumsikan sebagai bentuk kebenaran. Di saat pelanggaran diasumsikan sebagai kebenaran, maka ia tidak akan cukup terjadi dalam sekali, namun akan berulang dalam kurun waktu, aktor dan ruang berbeda. Itulah mengapa, dalam kasus yang menyangkut hajat dan kehidupan warga negera, negara tak boleh lengah. Harus cepat respond dan sesigap mungkin bertindak.
Respon tegas negara atas segala bentuk pelanggaran bertujuan memberikan efek jera, bukan sekadar rasa takut yang berimplikasi pada munculnya efek sementara. Kita tidak menghendaki penghormatan atas nilai-nilai keberagaman dibangun di atas dasar ketakutan. Kita menghendaki penghargaan atas keberagaman berdiri di atas bangunan kesadaran penuh. Karena, ketika kesadaran menjadi pondasi, maka disitulah komitmen memperjuangkan semangat kebhinekaan akan kuat mengakar, tertanam subur dalam sikap dan tindak tanduk kita.
Dalam rangka mencapai cita-cita demikian, pendidikan dan pencerahan merupakan salah satu elemen fundamental untuk diuapayakan. Menanamkan kesadaran penuh bahwa, keberagaman adalah sunnatullah yang tidak dapat diganggu gugat. Penguatan kesadaran melalui pendidikan memang memerlukan proses relative lama. Karena yang demikian adalah bentuk kegiatan jangka panjang yang hasilnya baru akan kelihatan dan dapat kita nikmati pada masa-masa berikutnya.
Saat ini, negara kita tengah berada pada masa paling menentukan, yaitu masa transisi menuju demokrasi yang sesungguhnya. Disebut paling menentukan karena di masa inilah bangsa kita tengah dihadapkan pada dua pilihan. Apakah bangsa ini akan tetap berjalan di tempat hingga berbalik mundur ke belakang. Kembali pada masa dimana bangsa kita senantiasa dilanda beragam konflik yang tak berujung. Atau kita akan melangkah maju menjadi negara demokrasi sesungguhnya seperti yang diimpikan oleh kebanyakan kita. Pastinya, sebagai bangsa yang mencita-citakan kesejahteraan hidup, maka jelas kita menginginkan terciptanya demokrasi murni, demokrasi sepenuhnya. Bukan demokrasi abal-abalan, bukan pula demokrasi yang setengah-setengah. Untuk itu, Penghormatan atas keberagaman menjadi salah satu pintu gerbang masuk yang tak boleh di tawar-tawar, apalagi diganggu.

                                                                                                                 ———– *** ————

Rate this article!
Tags: