Terlalu Pamrih

Oleh :
Rofiatul Adawiyah

Sejak dahulu sekali, penglihatan ini percaya sepenuhnya terhadap orang-orang di sekitarku. Kebaikan yang mereka lakukan untuk orang lain dan dirinya sendiri. Hal itu sangat bisa dipercaya dan dilakukan sebagai warisan kebiasaan baik kami, seperti mengunjungi orang yang sedang sakit, baik mereka yang sekadar dirawat di rumah maupun di klinik terdekat. Biasanya, kami akan datang dengan membawa beberapa makanan hingga uang yang kami sediakan untuk diberikan, yang mungkin saja akan sangat membantu untuk memenuhi keperluan orang tersebut.

Entah apa saja yang telah terjadi kepada kami, lambat laun semua terasa berubah. Orang-orang yang aku pikir begitu banyak melakukan kebaikan di dunia ini, ternyata tidak selamanya begitu. Hal ini baru terpikirkan, ketika aku kembali ke rumah setelah empat tahun menyelesaikan pendidikan sarjanaku. Barangkali perubahan sama sekali tidak menyentuh mereka, melainkan aku yang cukup lama pergi dengan penglihatanku. Sebelumnya, aku memang menyadari bahwa kehidupan di kota yang begitu individualis; cukup memberiku kesulitan dalam menjalani hidup pertamakalinya sekaligus belajar untuk menjadi diri sendiri. Bagaimana tidak? Jauh dari keluarga bukanlah sesuatu yang mudah bagiku, selain rindu yang menyiksa; juga segala keperluan hidup yang harus ditanggung sendirian. Sebab, kebetulan aku merupakan seorang anak bungsu di keluarga yang selalu berusaha untuk mandiri agar tidak menyakiti perasaan kakak perempuanku karena bagiku setiap dari kita perlu merasakan bahagia yang sama. Terlepas dari semua hal itu, kehidupan di kota telah banyak membuka pikiranku tentang sisi individulis yang tidak selamanya buruk; yang terkesan tidak memerlukan orang lain sekaligus tidak merepotkan yang lain. Sudut pandang yang penting mendapatkan perhatian karena kebaikan-kebaikan yang ada di dalamnya, seperti cara memperlakukan orang yang sedang sakit. Tentu hal tersebut sangat berbeda dengan cara-cara yang terdapat di desa kami karena kebiasaan yang sudah tertanam juga tidak sama.

Saat itu, aku merasakan sakit yang luar biasa sehingga harus dirawat di salah satu rumah sakit terdekat; selama empat hari dengan kondisi kesehatan yang cukup mencemaskan keluarga bila mereka mengetahuinya. Sebab, dokter mengatakan bahwa aku adalah pasien dengan gejala liver yang perlu bertahan beberapa hari lagi di rumah sakit tersebut. Beruntung sekali, banyak teman-teman yang begitu peduli padaku daripada hanya menimbulkan kecemasan keluargaku. Setiap hari, mereka datang secara bergantian hanya untuk menemaniku selama waktu luangnya. Meski mereka baru kukenal dalam beberapa bulan, tetapi mereka betul-betul memperlakukanku dengan baik. Tidak hanya itu, mereka juga tidak membawakanku sesuatu, seperti kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang di daerahku, tetapi kepeduliannya terasa secara inisiatif. Bahkan, sesekali mereka juga memutuskan untuk menginap agar aku tidak merasa sendiri di rumah sakit. Aku bersaksi bahwa kepedulian itulah yang penting diperhatikan dengan alasan; sesuatu paling berharga yang mungkin tidak akan pernah kita dapatkan lagi dari seseorang adalah waktunya.

Aku ingin sekali mengatakan bahwa bentuk kepedulian secara inisiatif lebih penting dari kebiasaan yang terlahir karena banyak tuntutan. Aku berpikir demikian, bukanlah tanpa alasan yang kuat. Ketika berbicara tentang sisi individualis yang mereka perlihatkan memang lebih tampak dari orang-orang di daerahku, tetapi bentuk kepedulian yang mengalir juga tidak pernah main-main, tidak pamrih, dan tidak menuntut hal yang sama, seperti barang-barang yang harus dibawa ketika salah satu dari kami sedang sakit.

“Mbak yu…!!!” seru seseorang dari halaman rumah.

“Mak, sepertinya ada orang yang memanggil di luar.” kataku kepada Mamak yang sibuk menaruh perhatiannya pada tayangan di televisi. Sebab, aku tahu bahwa panggilan itu ditujukan kepada Mamak sehingga aku pun kembali menyelesaikan pekerjaanku di laptop. Sementara, Mamak membukakan pintu untuk orang tersebut.

“Ada apa, Dik?” tanya Mamak. Aku pun melihat ke luar, ternyata orang yang memanggil Mamak adalah Mbok Ati, begitu aku biasa memanggilnya. Mbok Ati merupakan saudara sepupu dari Bapak.

“Yu, kabarnya.. hari ini Yu Asri sedang dibawa ke rumah sakit.” ucapnya dari luar rumah karena jarak Mbok Ati dengan pintu masuk rumah kami sama dengan jarak dari pintu masuk hingga keberadaanku sehingga pembicaraan mereka terdengar olehku. Yu Asri tersebut adalah adik perempuan dari Bapak atau adik ipar Mamak.

“Sakit apa ya, Dik?” tanya Mamak.

“Saya juga belum tahu. Kapan kita akan mengunjunginya, yu?” balas Mbok Ati.

“Duh.. hari ini saya belum punya uang, Dik.” ucap Mamak kebingungan.

“Kalau begitu, saya berangkat lebih dahulu ya, yu. Soalnya, saya mempunyai hutang uang seratus ribu yang diberikan pada saat saya opname sebulan yang lalu. Jadi, saya tidak enak hati kalau tidak segera mengembalikannya, yu.” ucapnya.

“Iya, Dik.” sahut Mamak karena telah memahami kebiasaan itu.

“Kalau begitu, saya sampaikan dahulu pada Kakangmu.” sambungnya.

“Iya, yu.” balas Mbok Ati yang tampak meninggalkan tempat untuk bersiap menyusul ke rumah sakit. Sementara, Mamak kembali masuk dengan raut wajah yang tampak jelas bahwa ia sedang tertekan.

“Mak, kalau memang belum ada uang, kita masih bisa menyusul besok atau lusa.” ucapku.

“Kalau kita tidak datang hari ini, sedangkan Mbok Atimu sebentar lagi akan berangkat, apa kata tetangga nanti?” balasnya.

“Mak, sudahlah!” sahutku.

“Kita ini hidup masing-masing saja.. karena bagaimana pun kita berbuat atau tidak, mereka akan terus berkomentar, sedangkan rasa sulit, sedih, kecewa, dan sebagainya hanya kita yang merasakannya.” ucapku.

“Mau sampai kapan; kita hidup dengan ekspektasi orang lain?” tanyaku; berharap Mamak dapat menyadari keterbatasan sekaligus kemampuan diri sendiri.

“Kamu belum mengerti!” tegas Mamak sembari meninggalkanku keluar rumah.

“Mungkin aku akan selalu tampak seperti anak kecil bagimu, tetapi aku sudah mengerti, Mak.” ucapku dalam hati; merasa bahwa semua ini terlalu naif, merepotkan diri sendiri, dan bukan inisiatif.

“TERLALU PAMRIH.” sambungku.

Tentang Penulis :
Rofiatul Adawiyah. Seorang anak perempuan yang terlahir dari kecil di Situbondo, 18 Agustus 1998.

Rate this article!
Terlalu Pamrih,5 / 5 ( 1votes )
Tags: