Teror, Agama dan Jalan Keluar

Oleh :
Ach. Nurholis Majid
(Dosen di Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien Prenduan) 

Bom yang terjadi di tiga Gereja Surabaya bukan sekedar musibah lokal, ia merupakan cermin retak negeri ini. Ada gejala yang selama ini tidak disadari dan meledak.
Tetapi seperti biasa, setiap kali ada bom bunuh diri yang dilakukan oleh seseorang yang membawa identitas Islam, setiap kali itu juga tindakan tersebut akan dimaknai sebagai radikalisme beragama. Jika ditarik lebih panjang, maka akan muncul kalimat “truth claim”, fanatik terhadap agama dan eksklusif.
Perlu digarisbawahi, bahwa sikap fanatik merupakan potensi yang terjadi karena suatu interaksi. Sehingga fanatisme bukan sesuatu yang dijejalkan ke dalam otak semata. Ia lebih merupakan suatu pengalaman hidup aktual yang kemudian dicari pembenarannya dalam nalar pendek dan mencatut dogma agama. Karena itu, jejak fanatisme tidak bisa dikacau dengan hanya menyalahkan pemahaman agama.
Kekacauan memahami fanatisme dan radikalisme ini akan menjadi salah satu saluran baru bagi munculnya radikalisme yang lain. Bisa dilihat dalam sejarah, sekelompok muslim yang merasa tidak mendapatkan kesempatan yang sama pada masa Orde Baru, mereka merasa terancam dan benci terhadap orde tersebut. Tetapi sebaliknya, ketika masa ijo royo-royo, kelompok Kristen juga berada pada posisi yang sama.
Jadi, tidak bisa semata-mata kita melihat aksi bom bunuh diri dengan kacamata fanatisme beragama. Apalagi dalam beberapa insiden, jarang sekali pelaku bom bunuh diri adalah orang-orang yang menjadi tokoh pesantren besar. Para pelakunya rata-rata adalah orang biasa-biasa, bahkan orang yang baru tahu Islam.
Bisa jadi, pemicu bom bunuh diri adalah kesejahteraan sosial. Karena merasa terancam dengan kondisi sosialnya, mereka memilih tindakan yang anarkis. Ini sangat beralasan, karena seringkali pelaku bom bunuh diri adalah kalangan masyarakat menengah ke bawah, bahkan tergolong miskin.
Membuka Jalan
Jika fanatisme terjadi karena ada perasaan yang tak nyaman, berarti perlu dicari akar ketidaknyamanan yang dimaksud. Sayangnya pemerintah tidak melakukan ini. Akar fanatisme dan radikalisme tidak dicari secara serius sehingga hanya menghasilkan suatu asumsi yang dangkal.
Misalnya, apakah mereka adalah orang-orang frustasi yang kemudian mengalami goncangan batin dan merasa terancam. Kemudian dengan mudah melakukan suatu tindakan yang irrasional. Terutama karena mereka merasa tidak memiliki jalan lain kecuali melakukan tindakan teror.
Perlu ada pemikiran jalan keluar yang serius bagi mereka yang melakukan teror, dengan menemukan akar fanatisme mereka. Jika alasannya adalah kesejahteraan, jalan kesejahteraan perlu dilapangkan. Jika ini belum dipenuhi, sampai tidak ada agama pun, mereka akan tetap melakukan kekerasan, tentu bukan “atas nama agama”.
Kita tidak bisa hanya berasumsi dengan teori “cucokologi”, jika merasa bahwa terorisme ini adalah ancaman besar bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karenanya, perlu ada edukasi yang baik di setiap saluran, baik dalam saluran audio visual, saluran teks, dan grafik.
Ada kesenjangan yang “jomplang” dipertontonkan dalam media massa, sehingga mereka yang tidak kuat meyakinkan diri, merasa surga lebih indah dan murah dengan cara membunuhi mereka yang mewah dan tidak peduli terhadap dirinya yang makan saja sangat susah.
Membunuh Agama
Kebiasaan membawa agama ke dalam aksi teror, secara tidak langsung merupakan sikap intoleran yang menarik-narik mereka yang tidak fanatik menjadi fanatik. Mereka yang taat melaksanakan kewajiban agama ditarik sebagai tertuduh karena ada identitas yang identik dengan pelaku terorisme.
Pada akhirnya, kebiasaan ini akan juga membunuh sikap beragama yang solih. Ada kerancuan antara beragama dan stigma negatif yang dilekatkan dengan perilaku beragama mereka. Stigma tersebut lambat laun akan menjadi suatu ancaman yang lambat laun pula akan menjadi pemicu munculnya fanatisme beragama.
Padahal tidak ada satupun agama yang memerintahkan pemeluknya untuk melakukan teror. Semua agama dianut oleh pemeluknya karena agama diyakini dapat mengatur hidup orang banyak, bukan mengubur orang banyak.
Apa yang disampaikan Presiden perlu menjadi suatu perhatian serius, bahwa aksi teror yang terjadi di Surabaya tidak terkait dengan agama apa pun. Walaupun, bisa jadi dogma agama dicatut oleh teroris untuk melegalkan tindakan mereka karena merasa tidak memiliki jalan keluar.
Maka, selain menyatakan bahwa aksis teror tidak memiliki dasar agama apa pun, perlu juga dicarikan akar pemicu yang sebenarnya dengan melihat kondisi ekonomi, latar belakang masyarakat dan seterusnya, sehingga menjadi bangsa yang aman tidak perlu terus menerus ada penjaga, karena masyarakatnya adalah masyarakat yang beradab dan mengayati agamanya dengan baik.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: