Teror Gaya Baru: Alienasi Manusia Modern

Demeiati Nur Kusumaningrum

Demeiati Nur Kusumaningrum

Oleh :
Demeiati Nur Kusumaningrum
Dosen Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang
“Each one has to find his peace from within. And peace to be real must be unaffected by outside circumstances.”? Mahatma Gandhi
Beberapa waktu terakhir, kerusuhan terjadi di beberapa negara baik di Amerika Latin maupun Timur Tengah antara kaum oposisi dengan pemerintahan yang berkuasa. Selain itu, halaman Bank Sentral Athena di Yunani dan terminal bus di Abuja, Nigeria diberitakan telah mendapat serangan bom yang mengancam masyarakat bahkan menewaskan puluhan orang. Dengan ini, kita berpikir bahwa masing-masing negara tengah mengalami teror yang mengancam stabilitas ekonomi, politik, dan sosial masyarakat. Bagaimana dengan Indonesia?
Hampir setiap hari selalu ada berita tentang kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pemerkosaan, pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, penyiksaan bahkan pembuangan dan penelantaran bayi, serta pornografi dan kekerasan verbal maupun tawuran remaja yang kerap kali berujung pada kematian. Tidak berlebihan jika Komnas Perlindungan Anak kemudian menyatakan ‘Darurat Perlindungan Anak’ dan Kementerian Pendidikan RI merumuskan prinsip pendidikan nasional yang berbasis karakter nasional. Ancaman di Indonesia saat ini, berasal dari perubahan perilaku dan kondisi sosial masyarakat.
Relatif berbeda dengan kehebohan “War on Terror” yang pernah dipolulerkan oleh pemimpin negeri Paman Sam, Presiden Bush. Kala itu persepsi teror yang dialami Amerika Serikat dan negara-negara merujuk pada serangan dari luar negeri, khususnya kelompok terorisme. Sementara, era milenium menunjukkan bagaimana ancaman kekerasan, tekanan psikologis, konflik maupun kerusakan di dalam negeri sebagian besar berasal dari masyarakat di dalam negeri. Oleh sebab itu, fenomena ini diyakini sebagai teror gaya baru yang mengarah pada ancaman terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan etika moral masyarakat.
Alienasi Humanisme
Konsep Alienasi pernah dikemukakan oleh Karl Marx sebagai kritik kapitalalisme. Marx menuduh kapitalisme telah membuat individu kehilangan kreatifitas atau kapasitas untuk mengelola alam semesta karena pengaruh dominasi kelas tertentu. Individu digambarkan sebagai mesin yang terus bekerja untuk proses produksi massal yang dikuasai oleh kaum pemodal. Untuk itu individu yang disebut sebagai kelas pekerja dianggap tidak memiliki daya kuasa untuk mengubah keadaan yang makin lama hanya menderita sebagai sapi perahan. Janji kapitalisme untuk membawa kesejahteraan individu, oleh Marx nyatanya dianggap menguntungkan kaum pemodal saja.
Akan tetapi, alineasi dalam tulisan ini lebih merujuk pada bagaimana masyarakat semakin terasing dari implementasi prinsip-prinsip kemanusiaan. Masing-masing individu kehilangan rasa simpati dan empati kepada sesamanya hingga membentuk karakter yang apatis serta egois. Alienasi terhadap humanisme menyebabkan terbentuknya komunitas di mana masing-masing anggotanya relatif mengejar kepentingan pribadi bahkan melakukan pembiaran terhadap masalah dekadensi moral. Penelantaran, penganiayaan, pelecehan seksual dan verbal, maupun pembunuhan pada akhirnya menjadi dampak yang normal dari upaya  pembalasan rasa marah, dendam, dan pencapaian ambisi kekuasaan.
Banyak pakar pendidikan dan psikologi mengungkapkan, perubahan perilaku masyarakat saat ini dipengaruhi oleh perubahan interaksi dan kondisi sosial. Kita tidak mengelak bahwa penelitian menunjukkan teknologi informasi, pola komunikasi, dan konten industri penyiaran turut berkontribusi dalam membentuk karakter masyarakat. Industri perfilman baik layar lebar maupun berseri saat ini tidak segan untuk menyuguhkan adegan-adegan agresifitas, kekerasan, dan peer pressure sebagai dinamika relasi masyarakat. Menjadi fenomena umum manakala remaja dengan sesamanya saling bertutur kata kasar dan melakukan ‘bullying’ demi mengukuhkan identitasnya dalam komunitas. Sinetron-sinetron Indonesia cenderung menggambarkan masyarakat kelas elit yang mengekploitasi masyarakat miskin atau persaingan dengan segala cara untuk merebut harta dan kekuasaan. Selain itu, kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat saat ini diakomodasi melalui berbagai jaringan media sosial melalui perkembangan teknologi internet. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Indonesia membuat masing-masing individu terkoneksi dengan perangkat komunikasi canggih (gadget) dengan fitur berbagai media sosial. Hal ini mendorong cepatnya informasi beredar di masyarakat yang mampu meningkatkan wawasan dan menguatkan komunikasi serta solidaritas sosial.
Sayangnya, media sosial dan jaringan dunia maya turut dimanfaatkan bagi pihak-pihak tertentu yang sengaja mempromosikan konten pornografi bahkan prostitusi. Sejak beberapa tahun yang lalu kita mendengar kasus remaja yang diculik oleh teman jejaring sosialnya. Bahkan ada beberapa perempuan yang menjadi korban perdagangan manusia serta pelecehan seksual. Sehingga, kemajuan teknologi informasi, komunikasi, dan penyiaran membawa dampak positif dan negatif yang berperan dalam mengubah perilaku masyarakat modern.
Ketidakpastian Tolak Ukur Etika Sosial
Perspektif mengenai derajat sopan-santun, standar etika sosial dalam berpakaian, berbicara, dan bersikap pada saat ini cenderung tidak memiliki tolak ukur yang pasti. Gelombang kebebasan berpendapat dan berekspresi pasca Reformasi dimaknai sebagai kebebasan individu yang didasarkan pada aspek “tidak melanggar hak orang lain” semata. Menurut data Komnas Perlindungan Anak, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak mencapai jutaan pada tahun ini. Jika kita jujur pada hati nurani, fenomena ini juga dipicu oleh rendahnya kontrol masyarakat dan pemerintah (Kick Andy, April 2014).
Di Indonesia, cara berpakaian yang lebih terbuka disiarkan di televisi, website dan panggung terbuka menjadi sebuah kewajaran tanpa mau dikait-kaitkan dengan nilai-nilai agama tertentu. Cara berpakaian bagi wanita pelaku industri hiburan saat ini cenderung disesuaikan oleh tuntutan produksi program acara dan tren fashion terkini yang diharapkan dapat meningkatkan animo penonton. Menurut mereka, hal ini patut dimaklumi selama tidak melanggar aturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sehingga, sudut pandang yang digunakan dalam tolak-ukur sopan-santun lebih mengarah pada aspek legalitas.
Penelitian pakar psikologi menyebutkan, rangsangan syahwat laki-laki dipicu oleh visualisasinya terhadap tubuh perempuan. Rutinitas menonton tayangan di mana terdapat eksploitasi tubuh perempuan yang terbuka, lambat laun menggeser paradigma masyarakat tentang standar kesopanan dalam berpakaian. Ironisnya, pembiaran terhadap tayangan-tayangan tersebut dan kemudahan akses konten pornografi dunia maya secara tidak langsung mendorong laki-laki untuk berpikir mesum dan mengarah pada tindakan pelecehan/kekerasan seksual. (Tifatul Sembiring, 2014)
Kasus kekerasan, pelecehan verbal/ seksual, dan intimidasi yang banyak menimpa perempuan dan anak-anak Indonesia hendaknya menjadi refleksi dan perhatian serius oleh kita semua. Perubahan sosial adalah hal yang pasti. Bagaimanapun kemajuan informasi dan teknologi komunikasi turut menjadi motor pertumbuhan ekonomi. Namun, kita sebagai subjek pembangunan dan sekaligus aktor perubahan sosial seyogyanya mampu melindungi sesama dan memastikan implementasi ‘human security’ di Indonesia.
Harapannya, kemajuan kehidupan tidak semata-mata menjadikan individu sebagai korban teknologi yang berimplikasi pada kehancuran moral masyarakat. Segala perubahan dan modernisasi tidak boleh menggoyahkan mindset dan perilaku kita dalam mengutamakan prinsip-prinsip kemanusiaan dan etika sosial. Sehingga, mudah-mudahan Indonesia menjadi negara “layak anak dan perempuan” di masa depan.

Tags: