Teror Tiada Henti untuk Polisi

Oleh :
Rafyq Panjaitan
Alumni Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Terorisme adalah kejahatan kemanusiaan. Kita semua harus sepakat bahwa aksi teror dalam latar belakang apapun merupakan musuh bersama umat manusia. Tanpa merujuk pada aliran ataupun golongan kelompok tertentu, apalagi agama, aksi teror jelas adalah sebuah sesat pikir.
Di negara yang majemuk ini, aksi teror adalah hal yang niscaya. Oleh sebab itu, dibutuhkan tindakan serius dari negara melalui perangkatnya untuk meredam bahkan memusnahkan bibit-bibit aksi teror tersebut.
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) kini menjadi sasaran empuk kelompok teror. Hal ini tak pula mengejutkan kita, karena Polri (negara) adalah institusi yang sehari-hari membasmi kejahatan kemanusiaan tersebut. Densus 88, pasukan elit Polri yang dalam beberapa kasus terorisme berhasil melumpuhkan gembong teroris paling dicari dunia seperti dr Azhari dan Noordin M Top contohnya.
Tentu, dendam mengarah pada Densus 88 yang tanpa kompromi menindak apapun yang namanya terorisme. Akan tetapi, pasukan tersebut tidak secara kasat mata wujudnya, identitas mereka pun dirahasiakan, gerak-gerik mereka layaknya aksi intelijen, bertindak diluar kasat mata masyarakat umum. Alhasil, dengan sulitnya membalas pada pihak Densus, Polisi di jalanan pun menjadi sasarannya.
Polisi dan markas Kepolisian menjadi target, beberapa aksi teror menguatkan indikasi bahwa Polri merupakan salah satu target utama aksi teror. Tahun 2016, serangan di Sarinah Thamrin yang kemudian meledakkan bom di Pos Polisi, bom bunuh diri di Mapolres Surakarta Juli 2016, serta kamis 20 oktober 2016 lalu secara mengejutkan terjadi penyerangan membabibuta oleh seorang pemuda di Pos Polisi Jlperintis kemerdekaan kota Tangerang.
Pada peristiwa kamis 20 oktober 2016 tersebut, ditemukan stiker ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Mabes Polri melalui Irjen Pol Boy Rafli Amar pada saat itu menyebut pelaku datang dan langsung menyerang dua polisi. Sultan (pelaku) juga sempat melempar dua benda diduga bom. Total ada 5 Polisi yang terluka, termasuk Kapolsek Tangerang Kota Kompol Effendi (detik.com, 20/10/16)
2017 aksi teror kepada Polri semakin menjadi-jadi. Bom Kampung Melayu juga menewaskan anggota Polri, yang paling ironi pada hari idul fitri 25 juni Aiptu M Sigalingging menjadi korban di Mapoldasu serta yang terbaru penusukan anggota Brimob di Jakarta Selatan.
Melihat peristiwa ini, sebuah warning bagi Kepolisian bahwa di setiap waktu dan tempat harus senantiasa waspada. Polri perlu lebih cekatan dalam mengantisipasi pergerakan aksi teror. Sangat disayangkan, jika serentetan aksi teror memakan nyawa para anggota Polri.
Masyarakat harus mendukung penuh pihak Kepolisian dalam hal ini. Situasi yang rawan aksi teror seperti ini, keberadaan senjata bagi setiap anggota Polri menjadi sebuah keharusan, termasuk Polisi lalu lintas (Polantas). Seringkali Polisi yang bertugas di jalanan seperti Polantas hanya memiliki pentungan. Melihat Polisi yang tidak bersenjata, membuat aksi teror bahkan aksi kejahatan apapun, tidak takut berhadapan dengan Polisi.
Proteksi anggota
Hal yang menarik, terdapat embel-embel ISIS di beberapa aksi teror. ISIS terkenal dengan tindakan brutalnya terhadap musuh. Penyerangan Polisi yang sudah begitu masif ini pun dikaitkan dengan telah menjamurnya radikalisme ISIS di Indonesia.
Kewaspadaan dituntut sepenuh hati. Pimpinan Polri di setiap wilayah komando penting untuk memproteksi personil. Karena bagaimana mungkin aparat mampu melindungi masyarakat, jika aparat itu sendiri tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Polisi sampai kapanpun akan terus menjadi target.
Sebab, kalau menargetkan Polisi menjadi ajang ‘pamer kekuatan’ bagi mereka kelompok teror. Ini membuktikan bahwa mereka tidak lagi mengenal kata takut. Pendek kata, aparat saja berani mereka lukai dan hadapi, apalagi masyarakat biasa.
Walaupun pada akhirnya Pelaku penyerangan dapat dilumpuhkan, tetapi apa artinya dengan bayaran terlukanya bahkan tewasnya sejumlah anggota Kepolisian? Instrospeksi diri besar-besaran bagi institusi Kepolisian. Polisi tidak boleh menjadi panggung menari-nari oleh para pelaku teror, kalau mengancam petugas, segera tembak di tempat!
Iklim yang konfliktual seperti saat ini, anggota Polri tidak etis jika menjadi bulan-bulanan terus menerus. Dalam hal kepemilikan senjata misalnya, kita ketahui tidak mudah sekarang untuk mendapatkan izin memiliki senjata di Kepolisian, terdapat serangkaian tes yang menyatakan layak atau tidak seorang anggota Polri untuk memiliki senjata.
Hal ini, menjadi konsekuensi logis akibat dahulu maraknya ‘Polisi koboy’. Tetapi, apa artinya jika marwah Polisi sudah tidak ada lagi? Penjahat bahkan tak sungkan untuk melukai Polri akibat tidak adanya alat pertahanan dirinya?
Dalam hal ini, Penulis menganggap penting bagi para pemimpin Polri, terkhusus bagi Kapolri untuk memberikan ‘hak imunitas’ total bagi setiap anggota Polri ketika berhadapan dengan aksi kejahatan membahayakan seperti aksi teror tersebut yang mengancam keselamatan anggota Polri.Terlalu berlebihan ketika para penggiat HAM sibuk mengurusi HAM para penjahat yang ditembak mati Polisi, namun tidak adil dan diam ketika HAM Polisi yang dicederai.
Kita sering tidak adil memandang Polisi, stereotipe berlebihan akibat ulah oknum, generalisasi ke seluruh Polisi pun kita maklumi. Polisi juga manusia yang harus mendapat perlakuan adil. Sebagai representasi kehadiran negara dalam menegakkan hukum, Polri harus dikuatkan, secara persenjataan, secara mental, pun imunitas HAM ketika berhadapan dengan tindakan kejahatan yang berpotensi mengancam nyawa.
Dukungan Masyarakat
Ini Indonesia bung! Bukan Timur Tengah yang tak pernah damai. Polri tak akan bisa menumpas aksi terorisme dan radikalisme tanpa dukungan penuh dari masyarakat. Simbiosis mutualisme antara Polisi dan rakyat dibutuhkan, karena segala informasi berada di aktivitas masyarakat, kalau masyarakat tidak bekerjasama dengan Polisi, maka mustahil terorisme bisa dibumihanguskan dari Indonesia.
Embrio radikalisme yang disinyalir berkaitan dengan ISIS merupakan pemahaman yang salah tentang perjuangan. Alih-alih bicara soal perjuangan hubungan transendental pada sang Khalik (pencipta), ISIS hanya imagined community (komunitas bayangan) yang hendak menggalang dukungan dunia guna memuluskan kepentingan sekelompok orang, jadi bukan perjuangan tentang Tuhan!
Pemuda, akan menjadi target empuk gerakan radikalisme, keberanian dan semangatnya yang menggebu-gebu menjadi alasan mendasar pentingnya mendapatkan kader militan dari kalangan pemuda. Ulama, tokoh masyarakat dan yang terpenting orang tua harus mengontrol penuh aktivitas anak.
Pun Polri, harus terus menggalakkan dialog-dialog persuasif pada masyarakat. Pendekatan kultural, efektif untuk menimbulkan rasa kebersamaan guna menciptakan kamtibmas yang kondusif. Komunikasi efektif harus terus berkesinambungan dilaksanakan di simpul-simpul gerakan rakyat, menyadarkan masyarakat bahwa negara bukanlah musuh.
Soekarno mengatakan bahwa perjuanganmu akan mudah ketika melawan penjajah, tetapi perjuanganmu akan sulit ketika melawan bangsamu sendiri. Polri dan masyarakat kiranya saling bahu-membahu menuntaskan aksi terorisme. Tanpa dukungan masyarakat Polri tidak akan mampu, tetapi jika didukung masyarakat, tindakan kejahatan apapun niscaya dapat ditumpas. Bersatulah!

                                                                                             ———— *** ————-

Rate this article!
Tags: