Terorisme dan Hukuman Mati

Oleh :
Adeng Septi Irawan
Penulis adalah CPNS Calon Hakim Mahkamah Agung Satuan Kerja Pengadilan Agama Sukamara Kalimantan Tengah 

Aman Abdurrahman alias Oman Rochman alias Abu Sulaiman bin Ade Sudarman resmi divonis hukuman mati. Hal ini diketahui berdasarkan amar putusan yang dibacakan hakim ketua Akhmad Jaini di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (22/6/2018) yang berbunyi “Menyatakan terdakwa Aman Abdurrahman terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana terorisme. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana mati.”
Dalam putusannya menurut majelis hakim, Aman terbukti melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 juncto Pasal 6 Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Berdasarkan fakta yang muncul dalam persidangan dirinya terbukti menjadi penggerak sejumlah teror di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk diantaranya bom Thamrin pada tahun 2016 lalu.
Majelis Hakim didalam putusan mengungkapkan Aman Abdurrahman terbukti menggerakkan teror bom Gereja Oikumene di Samarinda pada 13 November 2016; bom Thamrin pada Januari 2016; bom Kampung Melayu pada 24 Mei 2017; penusukan polisi di Sumut pada 25 Juni 2017; serta penembakan polisi di Bima pada 11 September 2017.
Akibat dari aksi yang dilakukan oleh sekelompok terorisme dibawah Aman Abdurrahman tersebut menyebabkan korban jiwa yang tak sedikit jumlahnya di kalangan warga sipil. Bahkan, banyak masyarakat sipil yang tak berdosa ikut terkena imbas ledakan bom yang ditimbulkan oleh teroris pengikut Aman Abdurrahman. Sudah jelas kiranya bahwa akibat yang ditimbulkan aksi teroris menyebabkan kerugian baik materiil maupun immaterial yang sangat berbahaya.
Melihat besarnya akibat yang ditimbulkan dari aksi terorisme sudah sepatutnya para teroris mendapat hukuman yang setimpal. Apalagi, otak serangan yang menjadi penggerak utama aksi teroris layak mendapatkan hukuman mati.
Terorisme menurut wikipedia adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.
Menurut Hukum Positif Terorisme diatur dalam KUHP dan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (materiil) dan KUHAP (formiil)
Dalam konsep Rancangan KUHP 1991/1992 terdapat beberapa macam tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, antara lain:
Pasal 164 tentang menentang ideologi negara, Pasal 167 tentang makar untuk membunuh Presiden dam Wakil Presiden, Pasal 186 tentang pemberian bantuan kepada musuh, dan Pasal 269 tentang Terorisme.
Pasal 269 tentang Terorisme.
Ayat 1 berbunyi : Dipidana karena melakukan terorisme, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun dan paling rendah tiga tahun, barang siapa menggunakan maksud menimbulkan suatu suasana teror atau ketakutan yang besar dan mengadakan intimidasi pada masyarakat, dengan tujuan akhir melakukan perubahan dalam sistem politik yang berlaku.
Ayat 2 berbunyi : Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun dan paling rendah lima tahun, jika perbuatan terorisme tersebut menimbulkan bahaya bagi nyawa orang lain, Dipidana mati atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun dan paling rendah lima tahun, jika perbuatan terorisme tersebut menimbulkan bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan matinya orang.
Sementara , dalam Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme lebih bersifat lex specialis (khusus). Artinya hukum ma
Lantas Bagaimana perspektif Hukum Islam tentang penerapan hukuman mati bagi teroris?
Hukuman mati bagi teroris dalam Perspektif Hukum Islam diketahui memang adanya. Hal tersebut dikarenakan kejahatan teroris bisa mengganggu ketertiban umum, mengancam kehidupan manusia dan stabilitas negara. Sehingga perlu hukuman mati sebagai aplikasi pencegah kejahatan.
Hukuman mati (uqbah al-‘idam) memang nyata ditemukan dalam tiga bentuk pemidanaan, yaitu hudud, qishas,dan ta’zir. Hukuman mati merupakan hukuman maksimal yang senantiasa eksis dan diakui kelegalannya oleh hukum Islam.
Dalam masalah qishas, ancaman hukuman mati ditujukan bagi pelaku pembunuhan yang disengaja (pembunuhan berencana), dimana pelaku pembunuhan harus menanggung balasan hukum yang sepadan dengan yang ia perbuat. Pada masalah hudud, ancaman hukuman mati ditujukan bagi pelaku zina muhson, hirabah, dan al-baqyu. Sedangkan dalam masalah ta’zir, ancaman hukuman mati ditujukan bagi pelaku jarimah di luar qishas dan hudud yang oleh penguasa diyakini sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup dan kemaslahatan masyarakat luas.
Dengan demikian pelaksanaan hukuman mati bagi teroris di Indonesia dengan mengacu kepada undang-undang masih relevan untuk dilaksanakan karena hukuman mati dalam hukum positif diberikan bagi kejahatan-kejahatan yang sifatnya memberatkan karena mengganggu stabilitas negara dan ketertiban dalam masyarakat. Selain itu hukuman mati masih diterapkan dalam undang-undang tentang tindak pidana khusus dan dianggap sangat berbahaya, seperti tindak pidana terorisme, narkoba, korupsi dan sebagainya.
Demikian juga dalam hukum Islam penerapan hukuman mati adalah hal yang relevan untuk diterapkan, hukuman mati dilakukan bagi pelaku jarimah karena memberikan efek jera terhadap jarimah yang luar biasa, yang merugikan kepentingan orang banyak. Meski demikian, masalah hukuman mati dalam Islam tidak terlalu kaku, karena dalam hukum Islam terdapat lembaga pemaaf yang berfungsi menggantikan hukuman mati berupa denda (diyat) yang diberikan pelaku kepada keluarga korban pembunuhan. Hanya saja, lembaga pemaaf tersebut tidak berlaku mutlak untuk setiap jarimah. Terutama dalam kasus pembunuhan sadis terencana dan terorisme.
———- *** ————

Rate this article!
Tags: