Terperangkap Banalitas Medsos

Oleh :
Salman Akif Faylasuf
Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Jika ditanya, apa tandanya bahwa kita telah terperangkap dalam banalitas kehidupan dunia media sosial? Apa tandanya kalau kita sudah terperangkap dalam banalitas wahana WhatsApp? Kita menerima apapun informasi yang datang kepada kita melalui WhatsApp, walaupun isinya cuma berita-berita bohong.

Kita menelan mentah-mentah sebagian besar informasi dari beberapa grup WhatsApp yang kita ikuti, walaupun isinya sebagian besar hoax. Celakanya, kita begitu bersemangat membagikan, men-share sebagian berita-berita bohong tersebut kepada grup-grup WhatsApp lainnya. Karena tanpa kesadaran kritis dan ketidaktahuan kita terhadap hoax tersebut, kita membagikan kepada orang lain dengan harapan orang lain mendapat manfaat juga.

Parahnya, yang cukup memprihatinkan, fenomena hoax yang disebarluaskan melalui wahana WhatsApp dapat juga mempengaruhi kalangan terdidik yang sudah mencapai level sangat tinggi, se-level Magister dan Doktor sekalipun. Sudah beberapa kali saya temukan orang-orang yang bergelar Doktor dengan begitu percaya diri men-share berita-berita hoax.

Semakin banyak bermunculan mubaligh-mubaligh pop culture, ternyata bukan hanya mempengaruhi orang kebanyakan, tetapi juga kalangan akademisi dan intelektual muslim di kampus-kampus bergengsi sekalipun.

Kalau para mubaligh ini mampu menghipnotis dan membuat orang-orang awam terpesona, mungkin sangat wajar. Karena memang materi dan style yang mereka sampaikan dikemas secara bombastis, dan praktis sedemikian rupa agar mampu memikat kelas level awam.

Akan tetapi, kalau ceramah-ceramah mereka justru mampu juga mempengaruhi sebagian kalangan akademisi dan intelektual muslim kita, fenomena ini menjadi cukup menarik dan unik. Bagaimana tidak menarik dan unik, bila sudah mencapai level Doktor dalam bidang keislaman, bukan hanya terpesona tetapi juga menjadi panitia kegiatan ceramah sang mubaligh, men-share jadwalnya, dan mengajak para akademisi kampus untuk menghadiri ceramah si mubaligh.

Memang, sebenarnya tidak ada yang keliru dengan hal ini. Akan tetapi, sebagai akademisi yang sudah memiliki level pendidikan tinggi, harusnya mampu memberikan pencerahan intelektual secara akademik-ilmiah. Apalagi mereka memang sudah bergelut di dunia kampus dengan berbagai wcana keilmuan yang bersifat ilmiah-akademik.

Dengan kapasitas keilmuan misalnya, seharusnya mereka berbagi wacana-wacana keilmuan terbaru dan pemikiran-pemikiran yang aktual, serta mempromosikan karya-karya terbaru yang relevan dengan dunia akedemik kampus.

Sebab, bagaimana mahasiswa-mahasiswanya akan mampu mengembangkan perspektif keilmuan sebagai seorang intelektual, cendekiawan, dan ilmuwan misalnya, kalau dosen-dosennya justru memiliki mindset ustadz-ustadz pop-culture yang sama dengan mereka? Dalam konteks ini, sebenarnya kualitas perspektif mereka nyaris menjadi tidak berbeda dengan perspektif awam. Yang membedakan hanya gelar akademik sebagai seorang Magister atau Doktor saja.

Kadangkala, saya juga heran sekaligus prihatin dengan sebagian kawan-kawan sesama akademisi yang sudah menyandang gelar level Magister atau bahkan Doktor, tapi pola pikirnya nggak jauh beda dengan orang kebanyakan yakni dengan orang awam. Mudah diprovokasi dengan isu-isu dangkal agama dan suka men-share wacana-wacana dangkal dari mubaligh pop yang seringkali hanya berpijak pada emosi keagamaan semata. Dalam tilikan standard yang ideal, fenomena ini sebenarnya tengah menggambarkan telah terjadi proses degradasi ilmiah di sebagian perguruan tinggi Islam kita.

Mengapa bisa terjadi fenomena yang demikian banal? Tentu saja karena sebagian kalangan akademisi kita sudah berhenti belajar secara serius. Mereka tidak pernah lagi memburu buku-buku baru. Mereka tidak lagi membaca artikel-artikel pemikiran terbaru dalam jurnal-jurnal ilmiah. Mereka tidak pernah lagi mau membaca, mengkaji, dan mendalami wacana-wacana keislaman yang terus berkembang dengan pesat.

Lebih parahnya lagi, mereka tidak pernah lagi mengikuti diskusi masalah-masalah aktual keilmuan yang dilakukan di kalangan ilmuwan Muslim kontemporer. Bahkan ironisnya, mereka malah larut dalam media sosial yang banal. Tenggelam dalam kedangkalan demi kedangkalan yang menjadi konsumsi sehari-hari kaum populis.

Sesungguhnya, kuliah pada tingkat Magister, atau Doktor idealnya memang bertemu dengan pendidik yang mencerahkan, menginspirasi metode berpikir terbuka dan disertai dengan rakus membaca buku-buku standard akademik dari sisi mahasiswanya. Sehingga pola pikirnya terbentuk ke level akademisi dan level ulama-intelektual. Bukan malah terpesona dengan pola pikir awam dan pola pikir orang kebanyakan.

Dan, proses membaca pemikiran yang terus berkembang, berpikir, berdiskusi, dan belajar itu idealnya tidak boleh berhenti bagi para tenaga pengajar level Magister dan Doktor agar benar-benar menjadi intelektual-ulama atau ulama-intelektual yang berpikiran kritis-terbuka, bukan malah menjadi mubaligh pop atau ustadz.

Di sini, tampak sekali terjadi paradoks dalam dunia kampus. Ada sebuah paradoks atau bahkan kontradiksi yang tengah menjamur: Universitas yang katanya sebagai kawah candradimuka ilmu pengetahuan, kajian, dan penelitian; sebagai cakrawala dan samuderanya kearifan, justru kini sebagian yang berjalan hanya kegiatan rutinitas belajar-mengajar yang hampa dari ghiroh kecintaan terhadap ilmu.

Tidak ada lagi wajah-wajah dengan tatapan curiosity yang menghidupkan semangat dan menyalakan akal. Tidak ada lagi kedahagaan intelektual yang menggairahkan nalar. Tidak ada lagi pencarian dengan ketekunan bergumul bersama karya-karya terbaru yang serius. Tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan kritis terbuka untuk mencari jawaban-jawaban baru yang mampu memperkaya perspektif dan wajah kehidupan. Dan, tidak ada lagi ketidakpuasan konstruktif sebagai salah satu karakteristik seorang intelektual, cendekiawan, atau ilmuwan.

Justru, kini yang tampak malah gejala banalitas. Dalam hal ini, sebagian kita sibuk berselancar dalam dunia maya, mengakses petuah-petuah para tokoh pop culture, yang sebenarnya tidak memiliki kompetensi keilmuan yang relevan dan setelah itu dengan penuh semangat men-share kepada pihak lain. Padahal popularitas bukan jaminan sebuah kualitas.

Tetapi, sayangnya, banyak di antara kita yang terbuai popularitas, terperangkap dalam keterpesonaan awam. Idealnya, popularitas seseorang seimbang dengan kualitas keilmuannya. Sayangnya, tidak jarang sebagian orang yang menjadi publik figur dalam bidang keagamaan memiliki popularitas yang tinggi tapi rendah kualitas keilmuannya.

Ironisnya, orang kebanyakan lebih terpesona dengan popularitas ketimbang kualitas. Akibatnya, popularitas yang tidak berkualitas berjumpa dengan keterpesonaan awam. Hasilnya, popularitas seorang publik figur dalam bidang keagamaan bukan membawa pencerahan intelektual-spiritual bagi masyarakat, justru malah mematikan nalar sehat masyarakat. Pada akhirnya, mereka akan menyebabkan pembodohan bahkan bisa menyesatkan masyarakat, meskipun tanpa disadari oleh diri mereka sendiri.

Begitu pula, tidak sedikit di antara kita yang lebih memilih kepraktisan dan ke-instan-an dunia maya dari pada bergumul dengan karya-karya pemikiran terbaru yang membutuhkan ketekunan, kesabaran, dan persistensi, sekaligus kesediaan berteman dengan kesendirian, kesunyian, dan keheningan. Sebuah upaya yang membutuhkan nafas yang panjang dan melelahkan.

Karena itulah, sebagai kaum intelektual, cendekiawan, atau akademisi yang sudah mencapai level Magister atau bahkan Doktor, sudah seharusnya makanan ilmiahnya adalah buku-buku wacana akademik dan artikel-artikel jurnal ilmiah. Dunia kampus, saya pikir tidak boleh larut atau terpesona dengan hal-hal yg bersifat pop culture. Kaum akademisinya, harus tetap mampu mengambil jarak dan tidak tenggelam dalam lingkaran keterpesonaan awam.

Tapi, jangan-jangan kaum akademisi dan intelektualnya saja yang sudah mulai malas membaca dengan serius wacana-wacana akademik, sehingga mereka sudah kehilangan sense of epistemological of knowledge? Kalau memang benar begitu, maka sangat wajar kalau sebagian mereka lebih memilih jalan praktis dengan menonton ceramah-ceramah pop culture di youtube yang lebih menghibur diri mereka, ketimbang bercumbu dengan wacana-wacana pemikiran terbaru yang membutuhkan ketekunan dan kesabaran (yang membutuhkan ruang tafakkur yang panjang). Wallahu a’lam bisshawab.

———– *** ————

Rate this article!
Tags: