Tersangka Tak Bisa Mencalonkan Pilkada

Agus Samiadji(Pilkada Serentak 2017)

Oleh :
Agus Samiadji
Wartawan Senior Anggota PWI Jatim

Seseorang menjadi tersangka oleh penegak hukum tak bisa mencalonkan menjadi calon kepala daerah maupun wakil kepala daerah dalam Pilkada serentak tahun 2017 mendatang. Hal tersebut, sesuai kesepakatan pemerintah dan DPR RI yang mencantumkan dalam revisi Undang-Undang No. 8 Tahun 2015. Dengan ketentuan tersebut diharapkan nanti menghasilkan kepala daerah yang bersih dan berwibawa. Mengapa seorang tersangka tidak boleh maju mencalonkan menjadi kepala daerah ? Karena diharapkan memperoleh pemimpin yang berintegritas dan bisa menjadi panutan masyarakat.
Dirjen Otonomi Daerah Sumarsono belum bisa menentukan seseorang tersangka semua jenis pidana atau khusus untuk kejahatan tertentu, korupsi, narkoba dan teroris. Larangan tersangka tidak boleh mencalonkan maju sebagai kepala daerah, adalah merupakan aturan baru dalam Revisi UUN No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Pasalnya, di draf yang disusun pemerintah pasal tersebut memang belum ada.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Indonesia (LIPPI) Siti Zuhro mendukung sekali seorang tersangka tidak boleh maju mencalonkan diri menjadi calon kepala daerah. Memang tidak pantas orang yang berstatus tersangka karena kepala daerah akan menjadi contoh dan tauladan bagi rakyatnya.
Menurut dia, seorang calon kepala daerah atau seorang pemimpin daerah, masalah integritas tidak bisa ditawar tawar lagi. Bahkan, diharapkan larangan tersebut harus dibarengi dengan peningkatan profesionalisme para penegak hukum. Jangan sampai aparat hukum mau dimanfaatkan oleh kekuatan politik tertentu sehingga mereka memaksakan seseorang yang berpotensi atau sudah menjadi calon kepala/ wakil kepala daerah untuk mengganjal orang tersebut maju ke pilkada.
Menurut hemat saya larangan bagi tersangka tidak bisa maju ke pilkada jangan sampai dimanfaatkan oleh lawan politiknya, yang tidak menghendaki calon yang kuat maju dalam pilkada. Larangan tersebut bagaimana bisa mencegah telah menggunakan hak suaranya dan memilih pemimpin daerah yang bermasalah dengan hukum. Karena itu, sebaiknya sebelum larangan diterapkan maka pemerintah bersama DPR RI harus bisa memastikan bagaimana agar larangan tidak dimanfaatkan lawan politiknya. Selain hal tersebut, aparat penegak hukum agar hati-hati dan profesional dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka, harus dengan bukti yang kuat, jangan mau dicampuri dengan berbagai macam politik. Untuk menjamin agar kepala daerah yang baik dan integritas maka sebaiknya diberlakukan bagi tersangka tindak pidana.
Politik Uang Bisa Diskualifikasi
Dalam pemilu serentak tahun 2017 nanti, para calon kepala daerah / wakil kepala daerah yang diketahui melakukan politik uang dikenakan sanksi diskualifikasi atau bisa dibatalkan. Bahkan jangkauan politik uang akan diperluas, bukan saja calon kepala daerah saja yang dikenakan sanksi juga politik uang terhadap partai politik, ke pemilih dan ke penyelenggara pemilihan umum juga dikenakan sanksi.
Kalau dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 pelanggaran politik uang ditangani oleh Bawaslu, penegak hukum dan menunggu putusan dari pengalaman, namun dalam pilkada serentak kedua tahun 2017 nanti pelanggaran politik uang ditangani oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Dengan ditangani Bawaslu, diharapkan penyelesaiannya bisa lebih cepat dan sanksi politik uang bisa cepat diselesaikan. Dalam Pilkada serentak pertama 9 Desember 2015 lalu masih banyak pelanggaran masalah politik uang yang dilakukan oleh calon kepala daerah maupun wakil kepala daerah maupun parpol pengusung. Politik uang antara lain mahar politik, jual beli suara oleh penyelenggara, melalui tim sukses dan lain-lainnya.
Sebagai contoh, dalam Pilkada serentak pertama 9 Desember tahun 2015 yang diikuti 261 daerah di seluruh Indonesia, terjadi pelanggaran Pilkada termasuk politik uang sebanyak 147 perkara. Namun setelah diteliti dan diseleksi, Mahkamah Konstitusi hanya melanjutkan 7 perkara disidangkan dalam taraf pembuktian. Dalam revisi UU No. 8 tahun 2015 tentang pilkada juga mengalami pro dan kontra adalah mengenai calon perseorangan, dari PNS (Pegawai Negeri Sipil), TNI dan Polri. Selain mengenai jumlah suara yang mendukung, berapa persen jumlahnya dari calon pemilih. Selain itu, calon PNS, TNI dan Polri sebaiknya harus mengundurkan diri dari jabatannya dan ada yang minta dibolehkan cuti saat pencalonan.
Selain calon perseorangan tersebut, juga calon dari unsur para calon dari DPR, DPRD dan SDP (Dewan Perwakilan Daerah) dimana mereka menginginkan tetap bisa maju tanpa harus mengundurkan diri dari jabatannya. Pembahasan masalah ini yang menyita waktu, sehingga terjadi perdebatan yang sangat panjang. Namun, putusan dari Mahkamah Konstitusi, menyatakan para anggota DPR, DPRD dan DPD saat mencalonkan maju menjadi kepala daerah harus mundur dari jabatannya.
Sekalipun Mahkamah Konstitusi suatu lembaga tertinggi yang harus ditaati dan diakui oleh pejabat negara dan rakyat Indonesia, namun pihak anggota DPR dan DPD mencoba menyiasati putusan MK tersebut. Mereka mencari celah hukum, agar anggota DPR, DPRD dan DPD tidak perlu mundur saat maju pilkada tanpa menabrak putusan MK. Salah satu alternatif yang diusulkan adalah tidak menyebut putusan MK dalam salah satu pasal Revisi UU No. 8 Tahun 2015. Dilakukan revisi cukup dengan disebutkan aturan syarat calon kepala daerah / wakil kepala daerah dari unsur legislatif dikembalikan ke UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3).
Begitu juga syarat calon untuk unsur TNI, Polri dan PNS dikembalikan dalam undang-undang terkait. Dalam UU MD3 tidak disebutkan keharusan anggota legislatif mundur, artinya yakni legislator tetap bisa maju Pilkada. Namun berbeda dengan Undang -Undang Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI dan Polri, PNS yang memang di dalamnya tegas mengatur mereka harus mundur saat menjadi calon Pilkada. Namun opsi dan putusan dari MK dan didasari dengan keharusan anggota legislatif mundur saat mencalonkan saat MK memutuskan uji materi UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN sementara UU MD3 yang terkait hal tersebut tidak pernah diuji materi.
Dirjen Otonomi Daerah Depagri, menyatakan bahwa pemerintah belum bisa menerima tawaran dari legislatif tersebut, karena hal tersebut bertentangan dengan keputusan MK. Karena pembahasan masih belum ada titik temu, maka akan dilanjutkan lagi. Menurut hemat saya, sebaiknya pemerintah mematuhi keputusan MK dan menolak saja usulan dari para legislatif tersebut. Ketua Komisi II DPR RI Rambe menyatakan jika legislator ingin maju ke Pilkada cukup mengajukan cuti atau mundur dari jabatan alat perlengkapan dewan.
Menurut saya pelaksanaan pemilu selama ini belum bisa berjalan dengan baik untuk jujur dan keadilan atau jurdil. Belum bisa dilakukan sebaik baiknya, terbukti setiap pelaksanaan pemilu menimbulkan sengketa. Padahal bagi calon kepala daerah, sudah menyatakan siap menang dan siap kalah disampaikan dalam suatu forum dan ditandatangani semua calon. Tetapi kenyataannya, pelaksanaan pemilu masih terjadi gesekan dan permasalahan sampai ke pengadilan bahkan ke MK dan MA.
Memang perlu mekanisme serta kejujuran para calon, pemilu Legislatif, DPR, DPD sampai kepada presiden. Beruntung sekali dalam sengketa Pemilu Presiden beberapa tahun lalu berhasil diredam setelah pihak persidangan MK berhasil memberi keputusan yang adil.
Pembahasan Revisi UU No. 8 tahun 2015 yang dijadwalkan selesai pada akhir April 2016 ternyata  sampai akhir Mei 2016 masih belum selesai. Dengan demikian, dikhawatirkan akan mempengaruhi jadwal yang sudah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum. Menurut rencana pemilu serentak ke II akan dijadwalkan  15 Februari tahun 2017 diikuti oleh 101 daerah.
Pelaksanaan pilkada serentak tahun 2017 akan lebih lancar dengan kejujuran dan keadilan oleh para pelaku calon pilkada maupun oleh penyelenggara sehingga menghasilkan calon terpilih yang berintegritas bisa mengayomi masyarakat dan menyejahterakan masyarakat.

                                                                                                   ————— *** ————–

Tags: