Tersimpan Rapi Arsip Berbahasa Belanda Keluaran Era 1950 ke Bawah

Kadispendukcapil Kota Surabaya Suharto Wardoyo menunjukkan salah satu akta yang menggunakan bahasa Belanda lengkap dengan logo pemerintahan Kolonial Belanda.

Kadispendukcapil Kota Surabaya Suharto Wardoyo menunjukkan salah satu akta yang menggunakan bahasa Belanda lengkap dengan logo pemerintahan Kolonial Belanda.

Surabaya, Bhirawa
Paradigma arsip bagi sebagian masyarakat Surabaya masih identik dengan kertas kuno atau tumpukan kertas di sudut-sudut tertentu dari sebuah kantor. Meski sudah ada beberapa pihak yang menyadari peran penting arsip dalam manajemen. Itu pula yang dilakukan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) Kota Surabaya dalam mengarsip akta kelahiran, kematian, perkawinan, bahkan perceraian sejak zaman Kolonial Belanda.
Kadispendukcapil Kota Surabaya Suharto Wardoyo memberikan kesempatan untuk nyambangi kantornya yang berada di Jl Manyar Kertoarjo. Di ruangan berlantai dua berukuran 4×20 meter itu dipenuhi dengan rak-rak besi untuk menyimpan berbagai dokumen.
Anang sapaan akrabnya memeriksa satu per satu arsip yang disimpannya. Kondisi kertas yang rawan rusak akibat rayap dibukanya secara perlahan-lahan. Di situ, dia membacakan isi dari arsip tersebut yang masih menggunakan bahasa Belanda lengkap dengan logo pemerintahan Kolonial Belanda. “Dulu sempat didatangi orang dari Kedutaan Belanda yang meminta konfirmasi data yang diinginkan, setelah itu kami layani dengan proses scan. Jadi arsip lama peninggalan Belanda masih kami simpan di sini,” ucap Anang yang pernah kursus Bahasa Belanda ini kemarin.
Di ruangan yang terlihat kurang perawatan ini hanya menggunakan kipas angin untuk mengatur sirkulasi dan kelembaban udara dan menjaga agar arsip yang berjajar rapi itu tidak rusak. Namun Anang berusaha untuk memperhatikan keamanan arsip. Karena, menurutnya keberadaan arsip-arsip peninggalan zaman Belanda iniĀ  adalah cagar budaya.
“Sebenarnya ini cagar budaya kita, dan ini perintah Bu Wali (Tri Rismaharini) langsung untuk menjaganya. Terkait perawatan ruangan nanti saya usulkan untuk pemasangan AC agar kelembaban di ruangan ini tetap terjaga. Selain itu kami akan koordinasikan dengan Baperpus Arsip,” tutur pria yang getol bermain musik ini.
Anang menambahkan, arsip yang masih menggunakan bahasa Belanda yaitu arsip yang dibuat di bawah era 1950 ke bawah. Untuk membuktikan arsip itu masih tersimpan rapi, dia mencoba menyisir setiap sudut rak yang sudah tertulis per tahun di selembar kertas untuk pengelompokannya.
Dengan perlahan Anang membuka dan menunjukkan arsip kelahiran yang dibuat pada 1837 dan masih ditulis dengan tangan. Tulisan itu mampu dibaca Anang dengan fasih, karena menurutnya Bahasa Belanda hampir sama dengan Bahasa Inggris. “Untuk membukanya harus berhati-hati karena kondisi kertasnya sangat rawan sobek. Karena materialnya berbeda sama kertas-kertas saat ini,” kata pria yang menjabat sejak 2013 lalu.
Agus Mizar, petugas yang menjaga dokumen-dokumen sejarah di Dispendukcapil Kota Surabaya bercerita ada kejadian menarik selama dirinya menjaga arsip. Pada Januari 2014 ada warga Belanda yang ingin menikah. Salah satu syarat untuk menikah ini adalah akta kelahiran. “Saat itu warga Belanda menyuruh saya mencarikan aktanya untuk di foto copy. Dia mengaku dilahirkan di Surabaya,” cerita pria berkacamata yang berharap bisa berbahasa Belanda ini.
Meski tidak bisa berbahasa Belanda, Agus tak kehilangan akal lantaran di setiap rak-rak tersebut sudah dikasih tanda tahun pembuatan agar memudahkan dalam pencarian arsip. “Dan akhirnya ketemu yang dicarinya, ” katanya.
Untuk merawat kondisi arsip yang sudah terlihat rapuh, Agus memberikan obat anti rayap semprot setiap enam bulan sekali. Selain itu, dia juga rutin membersihkan arsip-arsip itu dari debu.
Agar lebih aman ke depannya, Dispendukcapil Kota Surabaya mulai tahun ini menerapkan pengurusan akta catatan sipil juga akan dilakukan dalam bentuk digital (scan E-Lampid). Sebagaimana saat tragedi AirAsia lalu, banyak warga Surabaya yang satu keluarga sekaligus menjadi korban. Hal itu membuat pengurusan dokumen catatan sipil cukup ribet. Misalnya ada korban yang membutuhkan akte kelahiran, namun, karena satu keluarga yang menjadi korban, maka pencarian dokumen itu kesulitan.
“Kita mencari satu persatu dokumen yang kita arsipkan. Nah mencarinya itu butuh waktu lama, karena harus membuka satu per satu. Makanya ke depan pengurusan akte dilakukan dalam bentuk digital,” ujar Anang. [geh]

Tags: