Tetap Rakyat yang Jadi Korban

Oleh :
Nurudin
Penulis mahasiswa program doktor Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Sistem demokrasi memang menjadi sistem politik yang diyakini sempurna dibanding sistem yang lain. Akibanya, banyak negara gandrung untuk mengaplikasikannya dalam sistem kenegaraan. Bahkan jika ada negara yang menolak demokrasi dianggapnya ketinggalan jaman, aneh, terbelakang, tidak menghargai hak-hak rakyat dan atribut ideal lainnya. Padahal dalam sistem demokrasi pun rakyatlah yang akan menjadi korban atas ambisi elite politik dalam usaha meraih kekuasaan.
Pemburu Culas
Ada sebuah cerita menarik tentang dunia binatang yang hidup dalam kurun waktu lama. Cerita ini bisa dianalogikan dalam kehidupan demokrasi saat ini. Cerita Aesop yang turun-temurun ini bercerita tentang “Kuda, Rusa dan Pemburu”.
Pada awalnya terjadi sebuah pertengkaran antara Kuda dengan Rusa. Karena pertengkaran tidak mencapai titik temu, Kuda mendatangi Pemburu. Kuda meminta bantuan Pemburu untuk membalaskan dendam kepada Rusa.
Saat diminta membantu, Pemburu berkata, “Kalau kamu mau mengalahkan Rusa itu mudah. Tapi kamu harus menurut caraku. Kamu harus menempatkan sepotong besi ini di mulutmu, supaya aku bisa membimbingmu dengan kekang. Juga, kamu harus memperbolehkan aku menaruh pelana di punggungmu supaya aku bisa duduk di sana selagi kita mengejar musuh.”
Kuda setuju dengan permintaan itu. Kemudian Pemburu memasang kekang serta pelana. Dengan bantuan Pemburu, Kuda bisa mengalahkan Rusa.
Lalu Kuda berkata pada Pemburu,
“Sekarang turunlah dan lepaskan benda-benda ini dari mulut dan punggungku.”
“Jangan buru-buru, kawan. Aku sekarang sudah mengendalikanmu dan lebih suka mempertahankan seperti sekarang, “kata Pemburu.
Analogi cerita di atas sampai saat ini diyakini bisa menggambarkan dinamika politik mutakhir. Bahwa tidak ada yang ideal dan dibela mati-matian dalam memperjuangkan kekuasaan politik. Politik selamanya adalah perebutan kekuasaan. Pihak yang direbut dan yang merebut tentu saja akan menggunakan kata, perbuatan, retorika yang ideal untuk menarik simpati rakyat.
Bisa jadi niat yang awalnya menolong bisa berubah menjadi penghisap. Ini tidak berarti bahwa dalam politik itu kotor sekotor-kotornya. Masalahnya, rakyat banyak perlu menghindari klaim-klaim ideal yang diikuti agar tidak kecewa di masa datang.
Kuda sebagaimana cerita di atas tidak membayangkan jika akhirnya ia diperas oleh Pemburu. Ia hanya punya tujuan mengalahkan Rusa saja dengan meminjam “tangan orang lain”. Sementara itu, Pemburu karena memang mentalnya mencari untung dan menggunakan setiap saat agar tujuannya tercapai akan menggunakan berbagai tipu muslihat. Pemburu itu selamanya akan menguasai Kuda yang ditolongnya. Pemburu tersebut bisa jadi ingin menangkap Rusa, tetapi memakai tenaga Kuda. Sementara ia adalah otaknya.
Yang ingin kita tekankan di sini adalah, perseteruan politik akan terus terjadi. Sementara itu yang akan menjadi korban adalah rakyat jelata. Itu dilakukan oleh mereka yang sedang berkuasa atau mereka yang akan merebut kekuasaan.
Pelajaran Penting
Ada banyak contoh kongkrit dari perilaku para pemimpin dunia yang bersengketa. Tidak saja dari mereka yang berada di oposisi pemerintah tetapi juga yang sedang memerintah. Keduanya selalu meneriakkan sesuatu yang ideal, tetapi tujuannya ingin berkuasa, bahkan kalau perlu dengan “tangan besi”.
Diantara contoh di atas kita bisa mengaca pada Alberto Fujimori di Peru. Fujimori akhirnya dianggap sebagai presiden diktator. Saat akan bersaing, Peru dalam kritis berat. Ekonomi ambruk dan inflasi besat-besaran. Rakyat menjadi gelisah dan muak dengan partai-partai lama. Saat itu Fujimori muncul dengan slogan “Presiden Seperti Anda” yang punya wacana populis dengan memanfaatkan kemarahan rakyat itu.
Rakyat diberikan janji-janji oleh Fujimori dengan mengkritik krisis ekonomi terbesar dengan munculnya kekerasan, korupsi, terorisme dan obat terlarang. Fujimori dalam pidato pelantikannya mengatakan ia akan mengantarkan rakyat Peru keluar dari krisis dan membimbingnya ke arah yang lebih baik. Namun posisi Fujimori tidak kuat karena tidak punya basis politik yang memadai. Hakim menguasai Mahkamah Agung, partai oposisi mengendalikan kongres, dan media tidak berpihak kepadanya.
Karena aktivitasnya tidak didukung kongres maka ia marah dengan mengatakan kongres sebagai “penipu tak produktif” dan “bajingan”. Maka, Fujimori mulai menampilkan tabiat diktator untuk mempertahankan kekuasaannya. Bahkan dia sempat membuat 126 dekrit yang awalnya ditolak kongres. Tanggal 5 April 1992 ia tampil di televisi dan menyatakan membubarkan kongkres dengan menyatakan konstitusi tak berlalu lagi. Inilah awalnya ia menjadi diktator. Hal demikian juga dilakukan oleh Hugo Chavez (Venezuela) dan Juan Peron (Argentina).
Sekarang kita mencermati politik mau menang sendiri dari pihak penguasa. Perseteruan antara Partai Demokrat dan Partai Republik di Amerika Serikat (AS) layak dijadikan contoh menarik. Kebijakan yang memberikan hak suara pada Afrika-Amerika menjadi ancaman bagi politik kulit putih yang dinominasi Partai Demokrat. Akibat kebijakan itu, orang Afrika-Amerika mendominasi suara, bahkan meningkat dari 0,5 persen menjadi 80,5 (1866). Di negara bagian lain bahkan mencapai kenaikan sampai 90 persen. Partai Republik yang mengandalkan suara kulit hitam mendapat keuntungan.
Maka, cara yang harus dilakukan adalah mengubah konstitusi dan undang-undang untuk melemahkan orang Afrika-Amerika. Diciptakan aturan hak suara wajib tes baca tulis, pajak suara, syarat properti yang memungkinkan kulit hitam terhambat dalam pemberian suara. Maka, dari hak suara 96 persen turun drastis menjadi 11 persen (1898). Lalu turun lagi menjadi 2 persen (1912). Ini adalah cara politik kulit putih mengangkangi hak kulit hitam atas nama demokrasi dan penguasa AS.
Yang ingin kita tekankan adalah bahwa konflik yang melanda elite politik, rakyatlah yang menjadi korban. Elite politik yang ideal saat menjadi oposisi bisa berubah menjadi diktator karena sudah berkuasa. Elite politik yang berkuasa pun akan terus berusaha mengukuhkan kekuasaanya.
Maka, tidak ada cara lain untuk fanatik berlebihan dalam soal politik. Elite politik “bersuara merdu”, sementara rakyatlah yang tetap akan menjadi korban. Tentu, perseteruan antar elite politik dan para pendukung pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 di Indonesia tak berbeda jauh. Sekali lagi, rakyatlah yang tetap menjadi korban.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: