Tiba di Majene, RSTKA Langsung Layani 35 Pasien dan Tujuh Operasi

Sesampainya di Majene, Tim Dokter Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) segera melakukan pelayanan kesehatan dengan 35 pasien dan 7 kali operasi sejak Senin (25/1).

Lakukan Perubahan Rute ke Majene, Fokus Pemerataan Pelayanan Kesehatan
Surabaya, Bhirawa
Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) akhirnya sampai di Majene, Sulawesi Barat, pada Sabtu (23/1). Tiga hari usai bersandar di Majene, RSTKA segera memberikan pelayanan kepada 35 pasien dan melakukan tujuh tindakan operasi dengan dibantu dokter ortopedi dan dokter bedah umum.
“Kami masih update terkait jumlah penanganan pasien. Jika berencana dengan baik, kami dapat memberikan dampak yang baik. Kami fokus pada pelayanan yang sudah ditetapkan. Tetap semangat melayani dengan cinta kasih dengan kerendahan hati. Tuhan memberkati semuanya,” ungkap Direktur RSTKA, dr Agus Harianto SpB.
Menurut Agus, dipilihnya Majene sebagai labuan utama karena pertimbangan pemerataan pelayanan, serta kemudahan akses bagi korban dan masyarakat yang terdampak bencana. Perubahan rute ke Majene ini, berdasarkan laporan pelayanan yang diterima pihaknya. Sebab, fasilitas kesehatan di Mamuju sudah cukup lengkap dan mulai berfungsi. Ditambah dukungan TNI melalui KRI Soeharso.
“RS Regional (di Mamuju, red) sudah berfungsi melayani tindakan operasi. RS yang lain juga sudah berfungsi. Termasuk dari KRI Soeharso sudah melakukan pelayanan,” ujarnya.
Apalagi, tambah dr Agus, Majene merupakan pusat epicentrum gempa Sulawesi Barat. Di sana, pelayanan medis masih sangat minim. ”Kami ingin mendekatkan diri kepada korban yang dekat dengan epicentrum gempa,” ucap Koordinator Lapangan RSTKA itu.
Dijelaskan dr Agus, pelayanan medis semacam RS yang berada di dekat Majene saat ini hanya RSTKA. Terlebih, lokasi RS Majene dari pusat gempa cukup jauh. Setidaknya butuh waktu 50 menit dari RSTKA ke RS Majene. Kemudian dari RSTKA ke Malunda, dibutuhkan waktu yang hampir sama.
“Posisi kami berada di tengah – tengah Kecamatan Malunda dan RS Majene. Saat ini RSTKA lebih banyak turun kepada masyarakat untuk mencari kasus trauma yang belum terlayani. Ada berbagai macam alasan. Kita akan coba persuasif kepada korban untuk mau menjalani tindakan operasi. Itu fokus kami,” tegasnya.
Bukan hanya pelayanan medis di kapal, relawan RSTKA juga melakukan kegiatan ekstrahospital (di luar penanganan medis). Yakni, mendirikan dapur pengungsi yang bisa menghasilkan 600 hingga 700 nasi bungkus dan menyediakan air bersih. Termasuk mengunjungi dan menghibur masyarakat dalam rangka trauma healing.
Diketahui, RSTKA merupakan kapal pinisi 114 GT (Gross tonnage) dengan peralatan medis dan obat – obatan. Sebagaimana RS pada umumnya, di dalam kapal juga terdapat ruang operasi dan layanan medis lainnya.

Beri Pendampingan Trauma Healing untuk Psikis Pengungsi Anak-anak
Tak hanya itu, RSTKA juga fokus dalam memberikan pendampingan trauma healing bagi pengungsi anak-anak yang terdampak secara psikis dari adanya gempa bumi di Majene dan Mamuju beberapa waktu yang lalu. Apalagi hingga Senin (25/1) Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat sebanyak 35 gempa susulan terjadi.
Salah satu relawan, Teguh Wahyu Utomo menuturkan, kegiatan trauma healing sudah dilakukan sejak empat hari lalu di pengungsian Desa Salutambung, Kecamatan Ulumanda. Daerah ini terpilih berdasarkan rekomendasi dari Puskesmas Salutambung. Sebab terdapat 60 Kartu Keluarga (KK) yang tidak mau turun dari bukit.
Kegiatan ini digelar di dalam tenda ukuran 5 kali 5 meter milik RS Pratama itu diawali dengan memberikan ice breaking kepada 23 anak. Ice breaking yang diberikan oleh Afin Murtiningsih SPsi dilakukan sebagai penilaian awal kondisi trauma psikis yang dialami anak-anak.
“Setelah ice breaking, Afin melakukan sugesti bareng dengan cara, anak-anak menepuk pundak temannya di sebelah kanan sambal mengucapkan kata – kata penguat. Seperti, ‘Hai, kawan. Kita harus bersabar, bersyukur, dan bergembira’,” tutur lulusan Hubungan Internasional Unair, Kamis (28/1).
Setelah memberikan sugesti, Teguh mulai melakukan asesmen awal tentang trauma untuk mengetahui tingkat trauma anak-anak. Dengan begitu, pihaknya akan mengetahui tindakan yang akan diambil.
“Terapi ini untuk memantau, apakah mereka sekadar kaget atau takut sesaat yang tak lama kemudian bakal lewat dan terlupakan atau memang benar – benar mengalami trauma,” ujar dia.
Dalam menilai kondisi anak-anak, trainer motivasional di MEP Training Center ini meminta anak-anak menggambar karena mayoritas dari mereka berusia Balita. ”Anak – anak diminta untuk menggambar apa yang akan dilakukan setelah dibolehkan pulang. Jika tidak mau menggambar, padahal bisa menggambar, kemungkinan besar ia takut pulang atau trauma gempa. Jika mau menggambar, saya lihat hasilnya dan saya tanyai mengapa menggambar itu. Jika yang digambar hal – hal tak wajar, maka saya follow-up dengan pertanyaan untuk menilai kondisi mentalnya bagaimana,” jelasnya.
Hasil analisanya, kata Afin, seluruh anak mau menggambar dengan gambaran normal. Misalnya, menggambar anak bermain di rumah, buah jeruk, sepeda, dan lain – lain. Saat dilakukan follow-up, umumnya anak – anak ingin kembali bermain di rumah dan tidak takut kembali ke rumah.
Selain dilakukan bersama anak – anak, trauma healing juga dilakukan bersama orang tua mereka. Hanya saja, untuk orang tua dilakukan asessment dengan cara menyapa, bertanya keadaan, sambil melihat ekspresi wajah dan tingkah laku. Asessment dilakukan dari tenda ke tenda. Utamanya bagi keluarga yang tidak mau turun bukit.
Dengan adanya kegiatan ini, Teguh berharap, anak – anak tetap bergembira dan bersemangat saat sudah kembali ke rumah masing – masing. Dengan suasana hati seperti itu, maka mereka akan lebih bebas dari stres atau tekanan mental karena bencana gempa.
“Kami berharap pihak berwenang mencabut kondisi darurat sesuai dengan keadaan yang semestinya. Jika kondisi darurat dicabut, anak – anak bisa kembali hidup dalam kondisi normal di rumah masing – masing. Lebih senang lagi jika rumah mereka masing – masing sudah diperbaiki,” pungkasnya. [ina]

Tags: