(Tidak Beri) Remisi Koruptor

Karikatur Korupsi (1)PEMBERIAN remisi kepada koruptor seolah-olah konstitusional. Bagai proses hukum biasa seperti pada narapidana (napi) kasus pencurian. Pada ranah pidana umum, remisi merupakan hak warga binaan Lapas (lembaga pemasyarakatan, penjara). Sedangkan korupsi tergolong extra-ordinary crime, kejahatan luar biasa, dikategori sebagai pidana khusus. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa meng-anggap korupsi sebagai melanggar HAM (Hak Asasi Manusia).
Wacana pemberian remisi kepada napi koruptor selalu dikaitkan dengan hak warga binaan Lapas. Hal itu diatur dalam UU Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Di dalamnya terdapat pasal 14 ayat (1) huruf i, berisi hak remisi.  Namun pada ayat (2) terdapat syarat dan pelaksanaan hak-hak napi diatur dengan PP (yang juga terus direvisi). Dus remisi, bukan sembarang hak yang bisa diterima secara serta-merta. Khususnya terhadap korupsi, terorisme dan narkoba.
Sehingga harus dipastikan, bahwa remisi yang diberikan telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 tahun 2012. Dengan PP terbaru itu sebenarnya tidak mudah memperoleh remisi, kecuali dengan syarat khusus, sebagaimana diatur dalam pasal 34A ayat (1) huruf a. Yakni, “bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.” Selain itu juga harus memenuhi pasal 34A ayat (1) huruf b, yakni, telah lunas membayar denda uang pengganti.
Beberapa napi koruptor telah sukses melaksanakan amanat PP 99 tahun 2012, bersedia bekerjasama dengan penegak hukum. Frasa kata “bekerjasama” mudah dijejaki, pada saat proses hukum dan proses persidangan (di Pengadilan). Masyarakat luas juga bisa menjadi penilai tingkat “kerjasama” itu, karena proses persidangannya diliput luas media massa. Indikasinya, tidak berbelit-belit, serta menunjuk (dengan pembuktian yang kuat) seluruh jaringan yang terlibat.
Sudah banyak pejabat publik (politik) dan pejabat karir, turut dijebloskan ke penjara sebagai hasil kerjasama oleh “Mr. justice collaborators,” atau “Mr. whistle blower.” Beberapa “Mr. Whistle blower” yang terkenal diantaranya, M. Nazaruddin (mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat), dan Profesor Rudi  Rubiandini (mantan Kepala SKK-Migas).
Korupsi memang harus diberantas sampai ke akar jaringannya. Hal itu hanya bisa diperoleh melalui kerjasama dengan terdakwa. Jika tidak bekerjasama, terdakwa (yang terbukti) patut memperoleh hukuman berat, tanpa remisi. Sebab boleh jadi, banyak pihak “dititipi” hasil korupsi, yang bisa diambil setelah hukuman penjara (tidak lama) dijalani. Harta hasil korupsi juga bisa digunakan untuk menyuap penegak hukum, serta untuk mengurus proses remisi!
Sebagai extra-ordinary crime (kriminal luar biasa), seluruh dunia juga mendendam sengit. Sampai PBB menerbitkan konvensi khusus korupsi (UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION), tahun 2003. Pada mukadimah konvensi itu dinyatakan keprihatinan mendalam terhadap korupsi. Karena bisa menimbulkan kekacauan seluruh aspek kehidupan. Lebih kejam dibanding kejahatan perang
Secara tekstual, mukadimah konvensi menyatakan: “Prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum.”
Sedangkan pada artikel (pasal) 5 ayat ke-3, dinyatakan: “Negara Pihak wajib mengupayakan untuk mengevaluasi instrumen instrumen hukum dan upaya-upaya administratif yang terkait secara berkala agar memadai untuk mencegah dan memberantas korupsi.” Tetapi pemberantasan korupsi di Indonesia masih dinilai rendah, karena penegakan hukumnya masih lemah. Banyak pengadilan tipikor hanya memberi hukuman ringan, serta kerap di-remisi pula.
Sudah menjadi rumors umum, bahwa remisi juga mempersyaratkan “uang pengurusan.” Nilainya diperhitungkan sesuai banyaknya masa pemotongan hukuman. Itu korupsi dalam korupsi. Pada era tata-informasi global, masyarakat akan efektif menjadi pengawas remisi.

                                                                                                                ———- 000 ———–

Rate this article!
Tags: