Tidak Lupa Gestapu

Peristiwa Gestapu (Gerakan September 30) akhir September 1965 masih selalu menjadi perdebatan hangat. Saat ini juga gencar disertai tuntutan agar negara (Indonesia) meminta maaf terhadap peristiwa pembantaian pimpinan dan simpatisan PKI. Padahal PKI yang mendahului aksi pembantaian terhadap warga, terutama kalangan santri dan ulama. Sampai kini bukti kekejaman PKI masih terawat baik, dan semakin bertambah banyak dari berbagai daerah di Jawa Timur, dan Jawa Tengah.

Sebagian bukti kekejaman PKI berupa monumen, yang dibangun di atas sumur (lubang) kuburan jasad korban. Menjadi ciri khas PKI mengubur banyak jasad setelah disiksa, dalam satu lubang. Biasanya setiap sumur terdapat 6 hingga lebih dari sepuluh jasad. Seluruhnya tanpa diberi identitas. Namun biasanya terdiri dari jasad warga sekitar (se-kabupaten). Identitas korban diketahui setelah penemuan sumur kuburan diberitahukan kepada masyarakat.

Salahsatu korban yang di-incar PKI, adalah ulama pimpinan pesantren Termas, Pacitan. KH Hamid Dimyathi, pimpinan pesantren, diculik, dan dibantai Front Demokrasi Rakyat, gerombolan PKI yang sedang memberontak kepada NKRI yang dipimpin Soekarno. Peristiwa September 1948 (Pemberontakan PKI di Madiun), meng-geger-kan pulau Jawa. Sampai presiden Soekarno, menyatakan, “pilih saya atau Muso.” PKI gagal mendirikan Republik Soviet Indonesia.

Anehnya, PKI tidak dibubarkan. Bahkan menjadi salahsatu dari 4 besar partai politik hasil Pemilu 1955. PKI tumbuh sebagai partai kader, dengan sayap ke-pemuda-an, perempuan, dan sayap seni budaya. Melalui Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), dipentaskan seni tradisional. Lakon drama paling terkenal bertema “Matine Gusti Allah,” yang mengolok-olok agama Islam. Serta lako “Pernikahan Paus,” yang menista ajaran Nasrani. Kedua lakon dipentaskan melalui seni kethoprak (di Yogya), serta ludruk di Jawa Timur.

Penistaan agama melalui pentas seni budaya oleh PKI, bukan isapan jempol. Melainkan diabadikan oleh pelaku sejarah “perang” budaya. Misalnya, Taufik Ismail, mengabadikannya dalam “Tirani dan Banteng: Dua Kumpulan Puisi” (yayasan Ananda, 1993). Puisinya yang berjudul “Catatan Tahun 1965,” menulis, “… genjer-genjer jadi nyanyian // … // Matine Gusti Allah dipentaskan … .”

Dokumentasi olok-olok penistaan agama juga dinyatakan oleh Profesor RM Soedarsono (guru besar Ilmu Budaya UGM). Dalam buku berjudul “Teater Tradisional Indonesia: Indonesia Indah Jilid 6,” ditulis, lakon penistaan ajaran agama dipentaskan di Gunung Kidul (DIY) pada 14 Juli 1964 oleh Lekra. Menurut Profesor Soedarsono, dua lakon tersebut bersifat agitatif, dan provokatif menebar kebencian.

Begitu pula sastrawan Ajip Rosidi, men-dokumentasi-kan dalam bukunya “Anak Tanah Air, Secercah Kisah” (1985). Dinyatakan, bahwa lakon yang menistakan agama dipentaskan oleh kelompok ludruk di Jawa Timur. Di beberapa daerah, pementasan ludruk dengan lakon penistaan agama berhasil dibubarkan oleh kelompok pemuda NU (Nahdlatul Ulama) GP Ansor. Disertai tawur sosial kedua kelompok.

Namun terdapat dokumentasi sejarah paling “monumental.” Yakni, TAP MPR nomor Ajaran komunisme dilarang di Indonesia, dan pembubaran PKI, berdasar Ketetapan MPRS Nomor XXV tahun 1966. Sekaligus melarang ajaran komunisme di seluruh Indonesia. Selama sebelas kali Pemilu (sejak Pemilu 1971 hingga Pemilu 2019), tidak ada MPR yang mencabut TAP MPR tentang larangan komunisme. Bahkan dikuatkan dengan TAP MPR Nomor I Tahun 2003.

Juga terdapat berbagai penulisan buku sejarah yang di-dokumentasikan sejak 50 tahun lalu. Termasuk melalui film “Pengkhianatan G 30 S PKI.” Walau film ber-genre doku-drama, niscaya, tidak sama persis dengan peristiwanya. Pada masa kini telah dicoba secara konsisten rekonsiliasi persatuan nasional tanpa syarat. Saling memaafkan.

——— 000 ———

Rate this article!
Tidak Lupa Gestapu,5 / 5 ( 1votes )
Tags: