Tidak Malu Bertanya, Tidak Sesat di Jalan

Oleh :
Puri Fitriani
SD Al Bayan Islamic School – Jakarta ; Juara 2 Lomba Blog Pendidikan Keluarga Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Tingkat Nasional 2018

Hoax. Menurut KBBI, Hoaks mengandung makna berita bohong, berita tidak bersumber. Kata hoaks sendiri baru mulai digunakan sekitar tahun 1808. Kata tersebut dipercaya datang dari hocus yang berarti untuk mengelabui. Kata-kata hocus sendiri merupakan penyingkatan dari hocus pocus, semacam mantra yang kerap digunakan dalam pertunjukan sulap saat akan terjadi sebuah punch line dalam pertunjukan mereka di panggung.
Hingga kini, eksistensi hoaks terus meningkat. Hoaks terkadang sengaja dirancang untuk tujuan tertentu, dari mulai kepentingan publikasi diri hingga tujuan yang lebih kompleks seperti politik.
Kemunculan internet semakin memperparah peredaran hoaks di dunia. Keberadaan hoaks sangat mudah menyebar lewat media-media sosial. Apalagi biasanya konten hoaks memiliki isu yang tengah ramai di masyarakat dan menghebohkan, yang membuatnya sangat mudah memancing orang untuk membagikannya.
Hoaks di kalangan generasi muda makin mudah menyebar, sebab pijakan asupan informasi yang mereka terima pun sudah sangat rentan bermuatan hoaks. Karena sejak lahir sudah menghirup udara digital, maka tidak mengherankan apabila para milenial muda ini cenderung lebih mengkonsumsi informasi lewat platform digital. Sementara internet kini telah menjadi forum bebas berkreasi dan berpendapat bagi manusia. Siapa pun bisa menulis tentang apa pun, kapan pun dan dimana pun, lalu menyebarluaskannya di internet. Entah informasi tersebut sudah terbukti kebenarannya atau belum. Banyak sekali artikel atau tulisan opini bertebaran di internet, yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.
Untuk meminimalisir kondisi ini, sebetulnya ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Bangsa Indonesia memiliki salah satu kearifan lokal yang termaktub dalam pepatah lawas yang sangat dikenal bahkan oleh anak usia Sekolah Dasar sekalipun.
Malu Bertanya, Sesat di Jalan.
Pepatah tersebut menyiratkan bahwa setiap individu harus memiliki sikap kritis dan rasa ingin tahu yang terpelihara dalam batas tertentu. Juga menyiratkan sikap ksatria untuk dapat dan mau mengakui kekurangan diri, dan tidak malu bertanya kepada orang yang lebih ahli atau lebih memahami obyek tertentu. Dan menghindari sikap sok tahu, seolah sudah memahami suatu perkara, padahal sebenarnya belum menguasai topik tersebut.
Namun di sisi lain, mengajukan pertanyaan belum menjadi budaya yang memasyarakat dalam perilaku bangsa ini, terutama di kalangan generasi muda dan pelajar. Seringkali mengajukan pertanyaan kemudian dianggap identik dengan kebodohan. Seorang anak yang banyak bertanya, terkadang dianggap menjadi gangguan suara bagi orangtua atau orang dewasa di sekitarnya.
Para siswa dan pelajar pun lebih terlatih untuk menjawab pertanyaan, terutama dalam format tertulis, dan cenderung minim keterampilan untuk mengajukan pertanyaan. Padahal, pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benak para siswa ini sangat berpotensi akan membuahkan sikap kritis dan waspada. Sehingga selanjutnya akan berpeluang untuk menjadi filter awal bagi setiap konten berita yang diterimanya. Pertanyaan dan sikap kritis akan membuat seseorang lebih waspada dan berhati-hati sebelum menyebarluaskan segala informasi yang didapatnya. Lalu apa yang dapat dilakukan agar para generasi muda ini tidak malu bertanya, sehingga tidak sesat di jalan?
Memberi stimulasi para milenial muda, terutama pelajar, agar dapat memiliki keterampilan untuk mengajukan pertanyaan yang baik dan tepat sasaran bisa menjadi solusi sederhana. Seperti yang di katakan Carl Sagan, bahwa pertanyaan adalah wujud dari rasa ingin tahu. Dan rasa keingintahuan inilah yang harus ditanamkan dan dipupuk sejak dini.
Menanamkan dan memupuk rasa ingin tahu pada generasi muda, menjadi salah satu ‘kewajiban’ orangtua dan para pendidik. Tak hanya merangsang anak untuk memiliki rasa ingin tahu, tapi juga memicu anak agar mampu mencari jawaban sendiri atas pertanyaan yang muncul di benaknya.
Menstimuli anak untuk dapat menciptakan pertqanyaan-pertanyaan kritis membangun dalam benak mereka dapat dilakukan, salah satunya, dengan mengadopsi konsep Ask to Solve (AtS), sebuah kegiatan sederhana untuk melatih anak mengajukan pertanyaan dan mencari jawaban atas pertanyaannya.
Aturan main ATS sangat sederhana : (1). Berikan satu keywords (dapat berbentuk gambar, dongeng, tayangan dll) pada anak. (2). Minta anak untuk membuat beberapa pertanyaan berkaitan dengan keywords yang diberikan. (3). Seluruh pertanyaan yang terkumpul akan dibahas bersama. (4). Sebutkan pertanyaan satu per satu, dan tawarkan pada anak-anak apakah ada yang mau/bisa menjawab. (5). Jika tidak ada yang bisa menjawab, maka jawaban akan dicari bersama dengan bantuan media literasi yang ada (buku bacaan, internet dll).
Dan setelah berkali-kali kegiatan ini dilakukan, ternyata kreativitas berpikir dan bertanya anak yang muncul dari aktivitas ini ternyata sangat luar biasa. . Misalnya saja ketika dalam suatu pelatihan materi ATS dengan peserta anak usia 6-10 tahun di Bekasi. Salah satu tema yang dibahas adalah tentang Singa. Semua peserta diminta memikirkan dan mengajukan pertanyaan tentang Singa. Salah satu pertanyaan yang muncul adalah:
“Jika terjadi pertarungan antara singa dan harimau, siapakah yang akan menjadi pemenang?”
Para peserta kemudian berdiskusi untuk mencari jawaban atas pertanyaan tersebut, dengan bantuan buku-buku serta laptop untuk mencari sumber literasi. Bahkan di laman mesin pencari internet pun mereka tidak dapat menemukan artikel yang menyebutkan pemenang dalam pertarungan singa melawan harimau.
Namun hebatnya, saat sesi presentasi menjawab pertanyaan, para bocah usia 6-10 tahun ini sepakat menjawab Singa sebagai pemenang. Bagaimana bisa?
Ternyata, walaupun mereka tidak dapat menemukan informasi yang gamblang tentang siapa yang lebih unggul, singa atau harimau, namun ada data lain yang mereka dapatkan. Melalui penelusuran mesin pencari, para bocah ini menemukan info bahwa harimau adalah hewan soliter, sedangkan singa adalah hewan yang berkelompok.
Atas dasar itu, anak-anak ini lalu menyimpulkan, bahwa jika terjadi pertarungan antara singa melawan harimau, maka sang singa tidak akan bertarung secara individu, akan ada bantuan dari kawanan singa yang lain. Sehingga berpotensi keluar sebagai pemenang dalam pertarungan tersebut.
Di lain kesempatan, seorang bocah 10 tahun mengajukan pertanyaan, “Bagaimana cara menghitung luas dan volume bangun berbentuk love/heart? Sebab saat aku dewasa nanti, ingin membuat kolam renang berbentuk love. Aku harus tahu luas dan volume-nya untuk memperkirakan kebutuhan bahan dan biayanya.”
Saat rekan-rekannya tak bisa memberikan jawaban, bocah tersebut kemudian sibuk membolak-balik potongan kertas origami berbentuk love/heart. Hingga bocah itu menyadari bahwa bentuk love terdiri dari gabungan 2 buah bangun setengah lingkaran dan 2 buah segitiga siku-siku. Dan kemudian berkata, “Jadi kita bisa pakai rumus lingkaran dan segitiga untuk menghitung luas dan volume bangun berbentuk love.”
Metode ini cukup menyenangkan untuk dilakukan sebagai kegiatan keluarga yang murah meriah. Maupun diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar di ruang-ruang kelas sekolah. Bukan cuma anak-anak yang belajar. Para guru dan orangtua pun banyak mendapat info dan sudut pandang baru dari kegiatan ini. Dan berikut ini beberapa manfaat ATS : (1). Melatih anak untuk jeli menemukan masalah dan mengatasinya (problem solver). (2)Melatih daya juang anak untuk mencari solusi. (3). Melatih anak untuk berani ‘speak up’ dan bertanya. (4). Melatih rasa percaya diri. (5) Melatih berpikir kritis dan kreatif, juga kritis terhadap berbagai informasi yang didapat. Hal ini dapat menjadi landasan penangkal bagi peredaran berita hoax. (6). Melatih anak untuk memahami, bahwa untuk satu obyek yang sama, bisa jadi ada berbagai pendapat dan sudut pandang. (7). Melatih anak menghargai perbedaan pendapat dan sudut pandang. (8). Melatih anak untuk bersabar (antri untuk bertanya dan menunggu pertanyaannya terjawab). (9). Melatih anak mendengar aktif. (10). Sarana mempererat bonding keluarga.

———– *** ————–

Tags: