Tidak Percaya Award, Putuskan Tidak Mau Terima Penghargaan Lagi

Eko Cahyono selalu menyambut hangat berbagai kalangan yang berkunjung ke Perpustakaan Anak Bangsa

Eko Cahyono, Pejuang Literasi dari Desa Sukopuro (2-habis)
Surabaya, Bhirawa
Pemberian penghargaan (award) acap dipahami sebagai puncak prestasi dalam berkarya. Demi dapat meraih penghargaan dan award, seseorang rela melakukan apa saja, mulai dari nilai rupiah yang harus disetor hingga idealisme yang harus tergadaikan. Namun semua itu tidak berlaku untuk sosok satu ini. Eko Cahyono, sejak Januari 2016 lalu, justru memutuskan tidak mau menerima dan mengejar pernghargaan dan award-award yang lain.
Barisan piala dan pajangan piagam penghargaan tertata rapi di ruang yang menyatu dengan rak-rak buku. Sudah tidak terhitung lagi penghargaan yang pernah diraihnya. Dan sudah tidak terbilang lagi nilai rupiah dari hadiah dari setiap moment penghargaan tersebut.
“Saya bersyukur pernah mendapatkan penghargaan dan hadiah yang juga membuat perpustakaan ini bisa kian berkembang,” jelas Eko. Namun demikian, dari pengalaman-pengalaman selama ini, penghargaan dan award yang diberikan membuatnya miris, bukan saja karena award digelar asal-asalan tetapi juga ajang penghargaan tersebut bisa membelokkan niat baik para pejuang dan pekerja sosial.
“Kadang saya merasa penghargaan dan ajang-ajang lomba yang diperuntukkan bagi pekerja pekerja sosial itu justru mematikan nalar kritis dan jiwa sosial,” jelas Eko. Kesimpulan tersebut jelas Eko diambil melalui proses yang panjang dengan melihat dan memperhatikan pengalaman-pengalaman yang pernah dialaminya.
“Saya banyak menemukan pengalaman yang membuat saya shock betapa banyak ajang-ajang penghargaan yang jadi ajang transaksional atau sekadar bermain sandiwara semata,” jelasnya. Bukan saja dari penyelenggara award yang tidak serius dalam menggelar acara, tetapi juga para penerima award yang kadang tidak seperti diharapkan.
“Banyak para penerima penghargaan yang meraihnya dengan berbagai cara termasuk manipulasi ide dan kreativitas. Kadang saya sedih kalau ada aktifis sosial yang menjadi mabuk penghargaan sehingga lupa misi sosialnya,” ungkap Eko dengan wajah sedih.
Lantaran itu, sejak 1 Januari 2016 lalu Eko mantap memutuskan untuk menolak penghargaan yang akan diberikan. Dia akan lebih fokus ngurusi buku dibanding memikirkan soal award. Menurut Eko ada beberapa penghargaan sekadar jadi ajang membangun branding semata.
Dari sekian penghargaan yang pernah diterimanya, jelas Eko hanya ada dua penghargaan yang menurutnya bisa dibanggakan.
“Dua jenis penghargaan tersebut diraih melalui proses yang menurut saya benar-benar fair dan valid metodenya,” jelas Eko. Bukan itu saja, kedua ajang penghargaan tersebut juga terus mengikuti aktivitasnya dan terus berkomunikasi dengan para pemenangnya.
“Sampai sekarang kami para penerima penghargaan di kedua ajang award tersebut masih saling komunikasi dan bersinergi untuk menghasilkan karya yang lebih baik,” kaat Eko.
Ketika Bhirawa menanyakan dua penghargaan yang dinilai membangakan tersebut, Eko dengan yakin mengatakan kedua penghargaan tersebut adalah dari Kick Andy Heroes 2010 dan penghargaan Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2012.
“Di luar keduanya saya anggap hanya penghargaan yang, main-main saja,” jelasnya. Selain kedua penghargaan tersebut, hal yang membuatnya bangga adalah saat saat dipanggil Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo dalam rangka Hari Pendidikan Nasional 2 Mei beberapa tahun lalu. Kehadirannya di Istana tersebut jelas Eko, karena Presiden mengapresiasi apresiasi kepada Pustakawan dan Pegiat Minat Baca yang dinilai telah berjuang membantu pemerintah dalam dunia pendidikan khususnya memberikan akses bacaan kepada masyarakat secara gratis.

Kisah Perampok Insyaf Karena Buku
Dalam mengelola buku, menurut Eko salah satu kata kuncinya adalah memuliakan pihak yang maumendonasikan buku.
“Kalau ada yang mendonasikan buku, akan saya ambil dimanapun dan berapapun jumlahnya. Saya harus menghormati dan memuliakan orang yang punya niat baik,” jelasnya. Menurut Eko, banyak kisah menarik yang masih dikenangnya terkait dengan donasi yang diberikan orang kepadanya. Dan kisah-kisah itulah yang semakin meyakinkan dirinya untuk mendedikasikan hidupnya dengan buku.
Sebagai contoh, pada suatu ketika dia mendapatkan kabar ada seorang donatur dari Kediri yang ingin menyumbangkan bukunya. Dengan mengendarai sepeda motor milik temannya, Eko pun berangkat sendirian ke rumah donatur. Sampai di Kediri, buku yang diserahkan berjumlah 6 buku tentang buku biografi.
“Meskipun hanya enam buku tentu saya terima dengan suka cita. Nah ketika mau pulang ternyata ada tetangga sebelahnya juga ikut menyumbang buku sebanyak tiga dus buku,” kata Eko.
Menjelang sore, Eko pun membawa pulang buku hasil donasi tersebut. Sampai di Kota Malang, sudah malam dan waktu itu banyak jalan jalan desa yang ditutup karena bersamaan dengan musim kegiatan Ruwat Desa.
“Saya muter-muter cari jalan sehingga akhirnya melewati jalan di tengah sawah yang sepi. Di jalanan sepi saya ditodong tiga orang. Dengan mengalungkan clurit di leher, semua bawaan saya dirampas termasuk buku tersebut,” jelas Eko berkisah. Beruntung sepeda motor pinjaman dari temannya tidak ikut diminta.
“Karena mereka semua bermotor jadi tidak mungkin juga akan membawa motornya,” ungkap Eko menyukuri apa yang dialaminya dulu. Diapun pulang ke rumah tanpa buku yang jauh jauh diambilnya. Hingga kemudian, beberapa hari pasca kejadian, salah seorang anggota perpustakaan sebut saja bernama Mawar datang menangis kepadanya.
Siswa SMP yang rajin ke perpustakaannya itu menceritakan kalau perampok yang merampas Eko adalah ayah Mawar. Mawar tahu karena ada dompet atas nama Eko. Mawar memohon agar tidak melaporkan ayahnya ke polisi. Eko pun menyanggupinya dan meminta agar buku-buku dan dompetnya dikembalikan. Mawar dan Ayahnya datang menyerahkan buku dan meminta maaf atas kejadian itu. Secara khusus ayah Mawar juga mengatakan masih ada 3 buku soal resep masakan yang masih dibaca istrinya.
Pasca peristiwa itu, Mawar sempat menghilang dan tidak pernah datang lagi berkunjung ke perpustakannya. Hingga suatu saat Mawar kembali datang berkunjung ke perpustakaannya.
“Setiap datang Mawar selalu membawa makanan dan masakan yang enak-enak,” tutur Eko. Dan dari cerita Mawar, Ekopun tahu kalau ayah Mawar yang dulu adalah seorang perampok telah berubah menjadi pengusaha restoran berkat buku yang dibacanya dari hasil merampok dulu.
“Ayah mawar sekarang sudah punya 6 outlet rumah makan,” kata Eko lagi.
Di luar kisah itu, kata Eko banyak cerita cerita lain yang membuat dirinya percaya bahwa dengan membaca akan bisa membuat hidup lebih baik lagi. Mendengarkan kisah lika liku yang dilalui Eko Cahyono saat menggelorakan minat baca bak sedang mendengarkan kisah novel yang mengharu biru penuh inspirasi. Tidak terasa perbincangan sudah berlangsung lebih dari 2 jam dan hari pun sudah menjelang sore. Bhirawa mohon diri untuk kembali ke Surabaya. Ketika Bhirawa kesulitan untuk mendapatkan ojek online yang akan membawa ke terminal Arjosari, Eko pun menawarkan diri mengantar Bhirawa ke jalan raya untuk selanjutnya bisa naik angkut ke terminal Arjosari Malang sebelum akhirnya naik bus kembali ke Surabaya.
Pustakawan Ahli Utama Perpustakaan Nasional Drs Sudjono MM ketika dikonfirmasi terkait sosok Eko Cahyono, mengaku mengenalnya dan berharap para pustakawan mau belajar dari apa yang dilakukan Eko Cahyono. Menurut Sudjono, sosok Eko adalah orang yang sudah bisa mewujudkan di saat orang lain masih bermimpi.
Sebagai contoh misalnya, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI hari ini tengah memiliki agenda besar untuk mewujudkan perpustakaan berbasis inklusi sosial.
“Inklusi sosial adalah lawan dari ekslusif, bahwa saat ini dunia perpustakaan diidentikan dengan orang penting. Profesor, dokter,” kata Sudjono. Nah, ketika perpustakaan masih ingin bertransformasi berbasis inklusi sosial, Eko Cahyono melalui Perpustakaan Anak Bangsa miliknya sudah sejak dulu mempraktikan inklusi sosial.
“Semua kalangan tanpa memandang status sosial diberi akses yang seluas-luasnya. Hasilnya apa? Sudah banyak contoh masyarakat yang menjadi sejahtera karena membaca buku,” tegas Sudjono yang mantan Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur ini. #KitaSATUIndonesia #IndonesiaBicaraBaik. [Wahyu Kuncoro SN]

Tags: