Tidak Semua Sekolah Siap Terapkan Full Day

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Surabaya, Bhirawa
Istilah full day school bukan merupakan hal baru di dunia pendidikan. Namun, hal ini jadi menarik ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayan (Mendikbud) Muhadjir Effendy  menggagasnya untuk diterapkan secara nasional. Sejumlah pihak meresponnya secara beragam.
Seperti diungkapkan Ketua Dewan Pendidikan Surabaya Martadi.  Pihaknya mengungkapkan, dasar ide full day school sebagai penambahan keterampilan dan menjaga pergaulan anak merupakan terobosan yang baik. Bahkan di sejumlah sekolah full day school sudah diterapkan di berbagai tingkatan, apalagi bagi orangtua yang sibuk.
“Tujuannya memang baik, untuk menangani perilaku anak yang menyimpang karena tidak adanya pantauan, maka lebih baik ditangani oleh sekolah. Karena peluang anak dipengaruhi lingkungan sangat besar,” ujarnya ketika ditemui di kantor Dinas Pendidikan (Dindik) Surabaya, Selasa (9/8).
Kendati baik, Martadi mengaku sistem ini belum bisa diterapkan untuk semua sekolah. Sebab, sekolah yang menerapkan sistem ini sebelumnya sudah harus menyiapkan sarana penunjang. “Sekolah yang membuka full day school sejak awal sarana prasarananya siap. Seperti tempat ibadah, fasilitas bermain, tempat makan, komplit,” ungkap pakar pendidikan dari Universitas Negeri Surabaya ini.
Apalagi, ada juga sekolah yang double shift. Pagi dipakai kelas satu, sedangkan siangnya kelas dua. Dengan demikian sekolah seperti ini dipastikan belum siap mengikuti pola full day school. “Untuk sekolah reguler saja mereka sudah kekurangan ruangan. Mana mungkin dipaksakan full day,”tuturnya.
Selain itu program kurikulum juga harus disesuaikan. Bukan hanya anak tinggal di sekolah dengan jam yang diperpanjang. Karena malah akan berdampak kebosanan pada guru dan siswa bisa jenuh. “Semua harus dituntaskan di sekolah, jadi anak jangan diberi pekerjaan rumah lagi,”lanjutnya.
Penerapan full day school harus memilih sekolah yang mampu secara finansial dan sarana prasarana. Hal ini diungkapkan Humas Kabid Pendidikan Dasar Dindik Surabaya Eko Prasetyoningsih. Dia mengatakan, penerapan full day school juga harus ditunjang secara finansial. Apalagi di Surabaya sudah dinyatakan pendidikan gratis. Dengan demikian, apakah makan siswa akan dijamin oleh pemerintah atau ditanggung masing-masing.
“Anak-anak habis sekolah butuh makan dan apakah orangtua mampu juga membiayai makan anak di sekolah. Belum lagi kalau di Surabaya sekolah gratis,” lanjutnya.
Kalaupun menghendaki sekolah tetap gratis, maka bekal makan siang harus disediakan orangtua. Menurutnya konsep ini akan tepat jika diterapkan pada orangtua yang berkarir. Karena anak akan menghabiskan waktu dengan guru dan temannya di sekolah dibandingkan dengan pembantu di rumah.
“Tetapi di kota juga ada yang ibu yang tidak bekerja, kalau seperti ini lebih baik di rumah. Karena yang terbaik ya memang pembelajaran oleh keluarga. Di rumah disuruh bersih-bersih, nyapu, itu juga bentuk pendidikan,” ujarnya
Hal senada dipaparkan anggota Komisi D DPRD Surabaya Reni Astuti. Dikatakannya program ini harus mempertimbangkan kesiapan pendidik, siswa dan juga sarana prasarana. “Jangan sampai peran keluarga hilang. Apalagi kalau anggapan anak sepenuhnya tanggung jawab sekolah. Nanti kalau anaknya nakal yang disalahkan cuma sekolah,” lanjutnya.
Menurutnya wacana untuk membentengi siswa dari pengaruh negatif lingkungan itu baik. Hanya saja implementasinya tidak bisa dipaksakan pada sekolah. “Pertimbangan psikologis siswa juga dibutuhkan agar siswa bisa menyerap materi sekolah seharian. Jangan hanya fisiknya saja di sekolah tapi hatinya bosan,” pungkasnya.

Cocok di Negara Maju
Usulan  full day school oleh Mendikbud belum bisa ditanggapi Gubernur Jatim Drs H Soekarwo. Pria yang akrab dipanggil Pakde Karwo ini mengaku masih butuh waktu mempelajarinya.
“Full day school itu memang cocok untuk masyarakat negara maju. Anakku di Australia itu menyekolahkan cucu saya itu full day, itu karena tidak ada pembantu di sana. Dititipkan sekolah sampai sore, bahkan sampai malam. Kalau full day, kapan saya bisa bertemu cucu?” kata Pakde Karwo, Selasa (9/8).
Pakde Karwo tidak bersedia mengatakan setuju atau tidak dengan rencana full day school ini. “Saya ini hanya bercerita filosofinya, sampeyan cari kesimpulan sendiri,” jawab dia diplomatis.
Ia mengakui full day school sangat menguntungkan bagi pasangan suami istri yang sama-sama bekerja hingga malam. “Saya belum mempelajari (jika akan diterapkan di Indonesia) kalau full day school di sini bagaimana,” kilah Pakde Karwo.
Pendapat Gubernur ini berbeda dengan Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur (Kadindik) Syaiful Rachman. Ia langsung menyatakan pada prinsipnya, Jatim mampu melaksanakan full day school tersebut. Persiapan yang perlu dilakukan di antaranya mengubah struktur pelajaran, jam pembelajaran, dan teknik-teknik pembelajaran yang digunakan nantinya.
“Persiapan ini akan dikoordinasikan dengan bupati dan wali kota masing-masing daerah,” kata Syaiful Rachman.
Diterangkan, jika memang full day school diterapkan, tenaga pendidikan harus mampu memodifikasi pola pembelajaran agar tidak menjenuhkan. “Tenaga pendidik bisa memodifikasi pola pembelajaran di sekolah dengan rollplay dan memperbanyak aktivitas-aktivitas. Harus kreatif dan inovatif,” tegas pria yang juga digadang maju sebagai wakil gubernur ini.
Ia mengungkapkan, angka partisipasi untuk SD dan SMP sangatlah bagus, namun sesudah SMA banyak di antara mereka yang tidak sekolah dan melanjutkan bekerja untuk membantu orangtua. Untuk mengatasi hal tersebut, orangtua harus diberi pengertian untuk mengubah mindset masing-masing.
Meski demikian, Syaiful Rahman, full day ini school belum bisa  sepenuhnya dilakukan di semua daerah. Pihaknya harus memetakan kesiapan seluruh sekolah dan guru untuk mendukung kebijakan full day school. “Kesiapan guru dan sekolah akan menjadi prioritas untuk menjalankan kebijakan baru ini,” kata Syaiful.
Sementara itu, anggota DPRD Jatim Agus Dono menyatakan seharusnya rencana full day school ini didahului dengan nasakah akademik dulu terkait kelebihan dan kelemahan. Pasalnya, jika sudah dilontarkan ke masyarakat, yang harus dipikirkan di antaranya persoalan angggaran. “Full day school itu nanti SD dan SMP  atau SMA juga? Pengeluaran juga tinggi karena harus membeli makanan juga,” kata dia.
Jika harus tetap dijalankan, menurut dia, tidak harus seluruh sekolah diwajibkan. Harus ada pertimbangan daerah-daerah terpencil, yang transportasinya sulit, karena hal itu akan jadi problem. “Pulangnya bagaimana? Full day school seharusnya diasramakan. Infrastrukurnya ini apa sudah siap?” kata politisi Partai Demokrat ini.
Ia mengakui, full day school ini tujuannya memang baik untuk mengawasi lebih ketat anak didik selama orangtua tidak berada di rumah. Namun kesiapan program seperti ini harus dimatangkan lebih dulu. “Jangan sampai konsep baru ini belum matang tapi sudah diekspos, kalau mendapat perlawanan dari masyarakat, akan susah nanti. Secara politis juga kurang bagus untuk pemerintahan Jokowi,” tegas anggota Komisi E ini.      Agus Dono juga menyangsikan pernyataan Kepala Dinas Pendidikan (Kadindik) Jatim Syaiful Rahman yang mengaku pada prinsipnya Jatim siap melaksanakan full day school. “Maaf, ini untuk urusan SD dan SMP lo. Kalau Pak Rahman (Kadindik), provinsi itu mengurusi SMA dan SMK. Ini urusan tingkat dua alias pemkab/pemkot yang mengurusi SD dan SMP. Karena itu harus dibicarakana dulu dengan tingkat dua,” tambahnya.

Khawatirkan Masalah Makan
Sementara itu Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengaku khawatir jika full day school diterapkan di seluruh sekolah, anggaran makan untuk pelajar akan membengkak. Pasalnya, selama ini di SMK tertentu untuk makannya bisa mencapai miliaran.
“Pelajar SMK untuk makannya saja saat full day school bisa mencapai miliaran rupiah. Itu besar sekali. Apalagi se-Surabaya, itu kan berat,” kata Risma usai memberikan pengarahan rapat kerja Kepala Sekolah se-Surabaya di Convention Hall, Jalan Arif Rahman Hakim, Selasa (9/8) kemarin.
Risma menegaskan bahwa  penerapan sistem full day school tidak bisa diterapkan di semua SD dan SMP di Surabaya. Menurutnya, sebagian orangtua akan merasa keberatan bila semua sekolah menerapkan sistem tersebut.
“Di sekolah kan ada yang memakai konsep full day school dan tidak. Karena ada pihak orangtua yang tidak suka, mungkin ibunya yang tidak kerja ingin kumpul dengan anaknya,” ujarnya.
Menurutnya kalau penerapan full day school diterapkan masalah makannya anak-anak juga harus dipertimbangkan. Sebab, kalau dibebankan kepada orangtua belum tentu mampu. “Kalau kita paksakan semua, nanti orangtua keberatan. Makannya juga darimana. Saya juga harus memikirkan makannya juga,” ujarnya.
Namun, dia menjelaskan bukan tidak mungkin full day school diterapkan di Kota Surabaya. Ke depan, Risma akan memberikan pilihan kepada pihak kepala sekolah yang siap dalam menerapkan full day school.””Karena itu menyangkut guru, ruang kelas, aktivitasnya apa. Kemudian dana itu (makannya, red),” pungkasnya. [tam,cty,iib,geh]

Tags: