Tiga Pekan Terakhir Terjadi 11 Kali Gempa Vulkanik di Bromo

Sejumlah rumah warga di Sukapura yang terkena abu vulkanik bromo.

Kab Probolinggo, Bhirawa
Warga yang terdampak abu vulkanik erupsi Bromo membutuhkan tandon air untuk membersihkan rumput pakan ternak. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Probolinggo mengajukan permintaan tandon air ke BPBD Provinsi Jatim. Mengingat, BPBD kabupaten sendiri tidak memiliki kegiatan pengadaan tandon. Hal ini diungkapkan Kepala BPBD Kabupaten Probolinggo Anggit Hermanuadi, Kamis 28/3.
Namun, sayangnya yang diberikan dari BPBD Provinsi Jatim hanya dua buah tandon. Tentu dirasa masih kurang. Karenanya, BPBD kabupaten masih akan mencarikan solusi untuk pengadaan tandon tersebut dalam waktu dekat, katanya.
Kebutuhan tandon air itu diketahui saat ia meninjau langsung lokasi terdampak abu vulkanik Bromo di wilayah Kecamatan Sumber. Supaya, bisa digunakan untuk membersihkan rumput pakan ternak. “Di sejumlah desa wilayah Sumber yang terkena abu vulkanik Bromo, butuh tandon air. Karena rumput yang jadi pakan ternak itu terkena abu, jadi harus dibersihkan dengan air sebelum diberikan ke hewan ternaknya,” ujarnya.
Namun, diakui Anggit, pihaknya tidak memiliki stok ketersediaan tandon air dan tidak ada anggaran kegiatan pengadaan tandon air tahun ini. Oleh karena itu, pekan lalu pihaknya langsung koordinasi dengan BPBD Provinsi Jatim untuk perngajuan tandon air. Rupanya, BPBD Provinsi hanya memiliki stok 4 tandon air.
“Provinsi juga punya tandon air tidak terlalu banyak. Karena di luar Kabupaten Probolinggo ada daerah juga terdampak, akhirnya kami hanya dapat bantuan dua tandon air. Tadi sudah dikirim tandon air dari provinsi ke kantor,” tandasnya.
Dua tandon air itu, dikatakan Anggit, nanti akan diserahkan pada desa terdampak di wilayah Kecamatan Sumber. Untuk desa mana saja, nanti masih akan dibicarakan teknis dan prioritasnya. Karena hampir tiap desa membutuhkan tambahan tandon air. “Langkah lainnya, tandon air bisa dibuat dari terpal atau tandon air yang sudah ada, ditutupi dengan terpal. Kami kebetulan dapat bantuan terpal sekitar 100 buah dari provinsi,” terangnya.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) melalui Pos Pantau Gunung Bromo mencatat ada kenaikan aktivitas Gunung Bromo. Selama 3 pekan terakhir, tercatat 11 kali terjadi gempa vulkanik. Meski begitu, status Gunung Bromo tidak berubah. Yakni, tetap di level waspada.
Kondisi itu terjadi mulai awal Januari. Padahal, di bulan-bulan sebelumnya gempa vulkanik rata-rata hanya terjadi sekali dalam sebulan. Karena itu, Pos Pantau Gunung Api (PGA) Bromo kembali menegaskan pada pengunjung untuk tidak mendekati kawah dalam radius 1 kilometer.
Hanya saja, banyak pengunjung Gunung Bromo masih bandel dan naik ke kawah Bromo. “Mereka tetap naik ke atas kawah dengan alasan ingin tahun kawah Gunung Bromo. Padahal, sudah diimbau untuk tidak mendekati kawah,” terang Pengamat Gunung Api Pos Pantau Bromo Wahyu Andrian Kusuma.
Wahyu membenarkan soal peningkatan aktivitas gempa vulkanik. “Kalau status tetap waspada, termasuk jarak radius larangan itu 1 kilometer dari kawah. Tetapi, untuk aktivitas memang ada kenaikan. Kami analisis, itu masih aman. Karena belum ada dampak yang signifikan,” ungkapnya.
Kasi Destinasi Wisata Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Budaya (Disporaparbud) Kabupaten Probolinggo Musa mengaku, wisawatan yang datang ke Gunung Bromo tidak bisa dihalau untuk tidak mendekati kawah Gunung Bromo. Selain menghormati pengunjung, kawasan Bromo sangat luas.
Sehingga, sulit untuk menghalau pengunjung yang datang naik ke kawah Bromo. “Kami sudah memberikan imbauan pada pengunjung untuk tidak mendekati radius 1 kilometer, apalagi naik ke kawah. Tapi, pengunjung tetap nekat dan bandel,” jelasnya.
Desa Ngadirejo, Kecamatan Sukapura, desa paling parah dampak dari hujan abu vulkanik dari kawah Bromo. Meski demikian, para siswa SDN Ngadirejo tetap semangat belajar masuk sekolah. Mereka pun memiliki cara sendiri untuk melindungi dari abu vulkanik saat belajar di sekolah.
Titiana Nawangsihya, 9. Pelajar kelas III itu mengaku, dirinya meski perempuan sudah terbiasa mengenakan sarung. Sehingga, saat dirinya siswa perempuan mengenakan sarung, sudah biasa. “Kalau saya kadang pakai masker. Tapi lebih sering pakai sarung, karena lebih nyaman,” terangnya.
Indrawati, guru kelas III mengatakan, selama ini siswa mengenakan sarung selama proses belajar di kelas. Dirinya tidak pernah menghalangi. Sebab, itu cara para siswa untuk melindungi dari hujan abu Bromo. Apalagi, sarung yang dikenakan itu sama sekali tidak mengganggu atau menghambat proses belajar mengajar di kelas.
“Untuk kegiatan sekolah tidak terganggu. Hanya saja, saat istirahat, siswa jajan di luar, saya imbau untuk dimakan di dalam kelas. Supaya, makanan mereka tidak terkena abu,” tambahnya.(Wap)

Tags: