Tim Eri-Armudji: Machfud-Mujiaman Tak Punya Legal Standing, Tak Akan Diterima MK

Surabaya, Bhirawa
Sidang sengketa hasil Pilkada Surabaya kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (2/2/2021). Kuasa hukum pasangan calon Eri Cahyadi-Armudji, Arif Budi Santoso, memaparkan sejumlah bukti dan dasar hukum yang mematahkan gugatan Machfud Arifin-Mujiaman.

Salah satunya, bahwa Machfud-Mujiaman tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam sengketa Pilkada Surabaya.

“Hal ini karena untuk bisa mengajukan Permohonan, Pemohon (Machfud-Mujiaman) harus memenuhi syarat permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (2) huruf d UU 10/2016,” ujar Arif.

Sesuai UU 10/2016, ambang batas selisih suara yang bisa diajukan gugatan untuk daerah dengan populasi di atas 1 juta jiwa seperti Surabaya adalah maksimal 0,5 persen. Sesuai rekapitulasi KPU, Eri-Armudji meraup 597.540 suara, sedangkan Machfud-Mujiaman 451.794 suara, dengan total 1.049.334 suara sah.

Sesuai UU 10/2016 dan Peraturan MK 6/2020, maka selisih 0,5 persen dikali dengan total suara sah 1.049.334 suara adalah 5.246 suara. Dengan demikian, permohonan hanya sah diajukan apabila selisih di antara dua paslon tidak melebihi 5.246 suara.

”Faktanya, selisih suara adalah sebanyak 145.746 suara atau 13,88%, jauh sekali di atas syarat minimal 5.246 suara atau 0,5%. Selisih suara yang bisa disengketakan menurut hukum dengan fakta selisih suara hasil Pilkada adalah hampir 28 kali lipat,” tegas Arif.

Maka, tegas Arif, selisih perolehan suara antara Eri-Armudji dan Machfud-Mujiaman tidak memenuhi ketentuan mengenai pembatasan selisih perolehan sebesar 0,5 persen dari total suara sah yang telah ditetapkan KPU.

“Artinya, Machfud-Mujiaman tidak memiliki Legal Standing (kedudukan hukum) karena selisih suara mereka melebihi ambang batas. Dan karenanya cukup alasan hukum bagi MK jntuk menyatakan permohonan Machfud-Mujiaman tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard),” tegas Arif.

Dia menegaskan, pemberlakuan ambang batas selisih perolehan suara sesuai UU 10/2016 telah dilakukan secara konsisten oleh Mahkamah Konstitusi dengan pertimbangan-pertimbangan hukum yang telah mapan.

“MK selalu konsisten dalam penerapan ambang batas. Pertimbangan hukumnya mapan dan kuat, sebagaimana tertuang di yurisprudensi banyak putusan MK terkait sengketa Pilkada di berbagai daerah,” ujar Arif.

Machfud-Mujiaman, sambung Arif, memang menyebutkan bahwa yang menjadi objek sengketa adalah penetapan rekapitulasi suara oleh KPU. Namun, Arif menilai, penyebutan ini sebatas untuk memenuhi syarat formil permohonan marena pada dalil-dalilnya. Pasalnya, Machfud-Mujiaman sama sekali tidak menyebutkan dan tidak menerangkan tentang perselisihan hasil perolehan suara, termasuk tidak memberi argumentasi tentang kesalahan hasil penghitungan suara maupun hasil penghitungan suara yang benar menurut Machfud-Mujiaman.

“Padahal, jelas sekali diatur dalam Peraturan MK 8/2020, gugatan harus memuat penjelasan mengenai kesalahan hasil penghitungan suara oleh KPU dan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon dalam hal ini Machfud-Mujiaman,” ujarnya.

“Jadi ini Machfud-Mujiaman meminta KPU membatalkan hasil rekapitulasi, tetapi mereka tidak bisa memaparkan berapa hasil penghitungan perolehan suara yang benar menurut mereka. Alias ini asal menggugat karena kalah Pilkada,” ujarnya.

Arif menambahkan, isi dalil-dalil Machfud-Mujiaman tak satupun yang bersangkut-paut dengan perselisihan hasil pemilihan, melainkan hanya narasi tuduhan pelanggaran yang penuh prasangka, dugaan, dan asumsi tanpa disertai bukti-bukti yang relevan.

“Juga tidak ada legitimasi yuridis berupa putusan dari lembaga berwenang dalam penyelenggaraan dan pengawasan Pilkada, dalam hal ini Bawaslu maupun Sentra Gakkumdu yang melibatkan kejaksaan dan kepolisian,” ujarnya. [iib]

Tags: