Tindak Pidana Khusus Dalam UU Pemda 2014

Freddy PurnomoOleh:
Freddy Poernomo
Anggota Komisi A DPRD Provinsi Jatim

Salah satu ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014  tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 2014) yang tidak mendapatkan perhatian tetapi menarik untuk ditelaah dari sudut pandang teoritis adalah Pasal 146 ayat (1) huruf b dan Pasal 200 ayat (1) huruf b. Kedua pasal tersebut mengatur tentang alasan pemberhentian sementara anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau DPRD (provinsi maupun kabupaten/kota) karena menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
Ketentuan semacam Pasal 146 ayat (1) huruf b dan Pasal 200 ayat (1) huruf b tidak ada dalam UU Pemda sebelumnya (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah/UU Pemda 2004).
Tidak terdapat dalam UU Pemda 2004, ketentuan serupa Pasal 146 ayat (1) huruf b dan Pasal 200 ayat (1) huruf b ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pada Pasal 339 ayat (1) huruf b dan Pasal 390 ayat (1) huruf b. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pengaturannya terdapat pada Pasal 362 ayat (1) huruf b dan Pasal 412 ayat (1) huruf b yang kemudian telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Pasal 409 huruf d UU Pemda 2014. Tidak ketinggalan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur alasan pemberhentian sementara anggota DPRD karena menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus dalam Pasal 110 ayat (1) huruf b.
Lalu apa yang menarik dari Pasal 146 ayat (1) huruf b dan Pasal 200 ayat (1) huruf b UU Pemda 2014? Yang menarik adalah pertanyaan apakah tindak pidana khusus itu? Ternyata tidak ditemukan jawabannya, baik dalam UU Pemda 2014, UU 27/2009, UU 17/2014 maupun PP 16 Tahun 2010. Semuanya kompak dan sepakat bilang cukup jelas. Apanya yang jelas? Yang jelas adalah ketidakjelasan itu sendiri.
Tidak diberikannya penjelasan tentang apa itu tindak pidana khusus oleh UU Pemda 2014 boleh dimaknai bahwa soal apa itu tindak pidana khusus diserahkan kepada praktik penegakan hukum oleh para penegak hukum. Yang demikian sebenarnya tidak tepat karena penegak hukum adalah manusia yang tentu saja dapat memiliki tafsir yang berbeda tentang arti tindak pidana khusus. Ini tentu sangat bertentangan dengan kepastian hukum sebagai rohnya hukum selain keadilan.
Apa itu tindak pidana khusus?
Dimasukkannya tindak pidana khusus dalam UU Pemda 2014 sebagai alasan pemberhentian sementara anggota DPRD menjadi menarik untuk didiskusikan mengingat tidak ada keseragaman pengertian tentang tindak pidana khusus itu sendiri. Untuk memahami apa itu tindak pidana khusus harus ditelusuri dari kepustakaan hukum pidana.
Van Poelje seorang ahli hukum Belanda menyatakan bahwa hukum pidana umum adalah semua hukum pidana yang bukan hukum pidana militer. Hukum pidana khusus adalah hukum pidana militer. Bila mengikuti pendapat Van Poelje maka tindak pidana khusus hanya dapat dilakukan oleh anggota angkatan bersenjata, yang di Indonesia adalah anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Anggota DPRD maupun seluruh warga negara Indonesia yang bukan anggota TNI tidak dapat menjadi pelaku tindak pidana khusus.
Tindak pidana korupsi pun bukan tindak pidana khusus bila dilihat dari sudut pemikiran Van Poelje.
Sarjana hukum Belanda lainnya yang bernama Scholten memiliki pandangan yang berbeda dengan Van Poelje. Bagi Scholten hukum pidana umum adalah hukum pidana yang berlaku umum sedangkan hukum pidana khusus adalah peraturan perundang-undangan bukan pidana tetapi bersanksi pidana. Bila mengamini pendapat Scholten maka tindak pidana militer termasuk tindak pidana umum bukan tindak pidana khusus.
Tindak pidana khusus adalah perbuatan seseorang yang melanggar peraturan perundang-undangan yang itu bukan peraturan perundang-undangan pidana tetapi di dalamnya memuat sanksi pidana. Di Indonesia, peraturan perundang-undangan bukan pidana yang memuat sanksi pidana jumlahnya sangat banyak. Bahkan perkembangannya cenderung setiap undang-undang meskipun bukan undang-undang pidana selalu dilekati sanksi pidana. Tindak pidana khusus dalam konteks pemikiran Scholten misalnya adalah tindak pidana berdasarkan undang-undang lingkungan atau undang-undang kewarganegaraan. Keduanya bukan undang-undang pidana tetapi didalamnya memuat sanksi pidana.
Selain sarjana hukum Belanda, ahli hukum Indonesia pun tidak ketinggalan untuk memberikan pendapatnya tentang tindak pidana khusus. Sudarto tidak menyebut hukum pidana khusus tetapi undang-undang pidana khusus yang menurutnya dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, undang-undang yang tidak dikodifikasi. Kedua, peraturan perundang-undangan administratif yang memuat sanksi pidana, dan ketiga, undang-undang yang memuat hukum pidana khusus yang memuat delik-delik untuk kelompok tertentu atau berhubungan dengan perbuatan tertentu. Kelompok pertama misalnya adalah undang-undang tindak pidana korupsi atau undang-undang tindak pidana pencucian uang. Kelompok kedua sama dengan pandangan Scholten, dan yang ketiga misalnya kitab undang-undang hukum pidana militer yang khusus mengatur tindak pidana yang pelakunya militer atau undang-undang praktik kedokteran yang hanya mengatur tindak pidana di bidang praktik kedokteran dan undang-undang pers yang khusus mengatur tindak pidana pers.
Selain Sudarto, Andi Hamzah membagi peraturan perundang-undangan umum yang meliputi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) beserta undang-undang yang mengubah dan menambahnya. Peraturan perundang-undangan khusus terdiri atas undang-undang subversi, tindak pidana korupsi, dan lain-lain, dan peraturan perundang-undangan yang bukan pidana tetapi bersanksi pidana. Undang-undang pidana khusus yang mengubah KUHP misalnya adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.
UU Pemda 2014 Ikut Mana?
Lalu pandangan siapa yang diikuti oleh UU Pemda 2014? Van Poelje, Scholten, Sudarto, atau Andi Hamzah? Ataukah UU Pemda punya konsep tersendiri tentang tindak pidana khusus? Untuk pertanyaan kedua jawabnya sudah jelas UU Pemda tidak punya konsep sendiri tentang tindak pidana khusus karena UU Pemda 2014 hanya secara singkat menyatakan cukup jelas. Oleh karenanya dalam praktik dapat saja timbul perbedaan pendapat dikalangan penegak hukum yang implikasinya tentu sangat merugikan anggota DPRD yang tersangkut perkara pidana. Begitu tindak pidananya dinyatakan sebagai tindak pidana khusus maka tanpa melihat minimal ancaman pidananya, anggota DPRD yang bersangkutan langsung dapat diberhentikan sementara.
Sebenarnya dengan ketentuan bahwa anggota DPRD yang menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana yang ancaman pidananya pidana penjara paling singkat lima tahun diberhentikan sementara sudah sangat jelas. Tidak perlu dibedakan tindak pidana umum dan tindak pidana khusus karena tidak ada konsep yang jelas untuk itu. Jadi ukurannya adalah status terdakwa dan minimal ancaman pidana penjaranya.

                                          ———————— *** ————————-

Tags: