Tinggalkan Kampung Tanpa Perpisahan, Enggan Pulang Sampai Menang

Baru tiba di Jatim, Ewalda Wakey menangis haru teringat kembali cerita tentang keluarganya di Tanah Papua. [adit hananta utama]

Baru tiba di Jatim, Ewalda Wakey menangis haru teringat kembali cerita tentang keluarganya di Tanah Papua. [adit hananta utama]

Kota Surabaya, Bhirawa
Ratusan anak Papua dan Papua Barat tampak bersuka cita mengikuti program Afirmasi Pendidikan Menengah (Adem) di Jawa Timur. Namun dalam suasana menggembirakan itu, ada kesedihan yang masih memberati hati Ewalda Wakey ketika harus meninggalkan kampung halamannya. Perasaannya tiba-tiba kacau ketika ingatannya tertuju pada orangtua yang tak pernah dia kenal dan saudara yang baru ditemuinya sekali seumur hidup.
Keteguhan hati dan kebesaran jiwa Ewalda seperti telah melewati batas usianya yang masih belasan. Di hadapan teman-temannya peserta Adem, perempuan bermarga Wakey itu masih bisa memberi motivasi agar tetap semangat. Dengan lantang dia juga menyanyikan lagu Tanah Papua, sebagai pengingat jika nanti temannya yang kini belajar di Jatim sukses, mau pulang dan membangun tanah kelahirannya.
Ketika lagu mulai dia nyanyikan, seketika itu pula dia lupa betapa perih hidup yang dijalaninya selama ini. Pergi meninggalkan kampung halaman tanpa ada kata perpisahan, tanpa mengucap salam dan tanpa satu petuah pun dari orangtua dan sanak saudara. Padahal, sejak dirinya memutuskan ikut dalam skema program pembangunan pendidikan Papua itu, Ewalda tak pernah tahu kapan dia akan kembali pulang lagi.
Dalam hatinya terpaku tekad pantang pulang sebelum menang sebagai orang sukses. Sukses menjadi penyanyi terkenal, sukses menjadi menyabet gelar sarjana, lalu pulang membawa perubahan. “Inginnya setelah mengikuti program Adem ini, langsung melanjutkan kuliah. Saya ingin sekali menjadi penyanyi hebat,” tutur Ewalda menceritakan cita-citanya.
Mengapa tidak ada kata perpisahan dari orangtua? Di sinilah takdir alumnus SMPN 1 Sentani, Papua itu mulai terasa memilukan. Dia lalu memperkenalkan dirinya yang lahir dan tumbuh besar tanpa mengenal orangtuanya. Bahkan untuk sekadar tahu namanya saja juga tidak. Di kota seberang tempat dia tinggal, di Nabire, ada satu saudaranya yang telah berkeluarga. Ewalda sempat bertemu sekali dalam seumur hidupnya. Namun pertemuan itu tak berlangsung lama, karena kakak perempuannya itu segera pergi kembali meninggalkannya di panti asuhan.
“Kami hanya sempat bercakap-cakap sebentar, lalu dia pergi dengan meninggalkan uang Rp 500 ribu. Itu saja cerita yang saya punya tentang keluarga,” tuturnya.
Air mata Ewalda pun tiba-tiba meleleh ketika kenangan pahit itu diungkit kembali dari ingatannya. Tiba di tanah rantau, Ewalda ingin segera melupakan kesedihan itu. Dia beruntung di tempat dia akan belajar, banyak bertemu teman baru. Selain teman-teman yang baik, dia juga ingin fokus belajar mengejar mimpi-mimpinya yang sudah ia rancang sejak saat ini. “Di sini (Jatim) enak, cuacanya dingin. Ini adalah rumah saya yang baru,” kata siswi yang akan belajar di salah satu SMA Negeri di Kabupaten Malang ini.
Saat menerima 180 siswa dari wilayah terpencil di Indonesia ini, Kebid TK, SD dan Pendidikan Khusus (PK) Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim Nuryanto tak henti-henti memberi motivasi kepada para siswa, termasuk kepada Ewalda. Dikatakan Nuryanto, kepala sekolah dan guru akan menjadi orangtua baru bagi anak-anak Papu dan Papua Barat ini. Mereka telah berkomitmen mendidik peserta Adem dengan sebaik-baiknya. “Kalau kepala sekolah itu orangtuanya, kalau saya ini omnya anak Papu,” canda Nuryanto kepada Ewalda.
Nuryanto mengatakan, langkah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbu) mengirim anak-anak Papua-Papua Barat melalui program Adem ini patut dipertahankan. Sebab di sinilah kepedulian terhadap pendidikan itu dibangun tanpa memandang suku dan wilayah geografis. “Ini namanya, pendidikan yang merata, terjangkau dan tanpa diskriminasi,” pungkas dia. [tam]

Tags: