Tingkat Korupsi di Jatim Paling Tinggi

Koordinator Investigasi Indonesian Corruption Watch (ICW) Febri Hendri (berdiri) memaparkan hasil survey anti korupsi yang dilakukan oleh Polling Center-ICW. [Gegeh Bagus Setiadi]

Surabaya, Bhirawa
Indonesian Corruption Watch (ICW) memandang korupsi di Jatim masih tergolong tinggi. Hal ini dipaparkan dan terlihat dari hasil survey anti korupsi yang dilakukan oleh Polling Center-ICW. Bahkan sebagian besar masyarakat Jatim menyatakan tingkat korupsi masih stagnan atau cenderung naik.
Berdasarkan hasil survey anti korupsi tahun 2017 diketahui 52 persen masyarakat Jatim menyatakan korupsi meningkat dari tahun sebelumnya. Sebesar 33 persen tidak mengalami perubahan dan 15 persennya menurun. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan persepsi tingkat korupsi masyarakat Indonesia lainnya yakni 55 persen menyatakan korupsi meningkat.
Hal tersebut dikatakan Peneliti Indonesia ICW Febri Hendri dalam temu media terkait survey anti korupsi Polling Center-ICW dan FH Trunojoyo di hotel kawasan Surabaya pusat, Jumat (4/8) kemarin. Menurutnya, dalam polling yang dilakukan selama periode April dan Mei 2017 ini menggunakan responden sebesar 759 orang di 35 Kabupaten/Kota, 73 Desa/Kelurahan.
“Hasil survey menunjukkan bahwa masyarakat Jatim memandang korupsi di Jatim masih tinggi. Masyarakat masih ada yang toleran terhadap suap ini sekitar 30 persen,” kata Febri.
Febri yang juga sebagai Koordinator Investigasi ICW ini menyatakan bahwa nepotisme masih bagus dibandingkan daerah-daerah lain. Hanya 13 persen menganggap nepotisme atau penggunaan hubungan kekerabatan dalam pengelolaan kebijakan publik. “Untuk nepotisme agaknya lebih bagus dibandingkan daerah lain yang Cuma 13 persen menganggap nepotisme,” ujarnya.
Febri mengutarakan, sektor paling tinggi korupsinya adalah rekrutmen CPNS dan kepolisian disusul Kejaksaan. Pasalnya, masyarakat merasakan adanya pungutan liar (pungli) ada di tiga sektor tersebut. “Setiap ada rekrutmen CPNS masih ada yang dimintai uang. untuk polisi secara terinci kami beluh tahu, mungkin masih disoal tilang, pengurusan SIM, atau SKCK,” terangnya.
Namun, lanjut Febri, kalau dilihat dari hasil survey menunjukkan delapan persen. Dari delapan persen tersebut itu peluang mengalami permintaan uang secara ilegal yang mencapai 29 persen. “Jadi masih lumayan tinggi. Pengadilan itu peluang mereka minta uang secara ilegal dan yang masih menggunakan layanan pengadilan masih tinggi. ini diperkuat pantauan LBH Surabaya,” urai Febri.
Menurut dia, hal tersebut wajar lantaran rekrutmen CPNS merupakan sektor yang banyak berhubungan dengan masyarakat. Selain itu, kata Febri, adalah warisan persepsi korupsi dalam setiap proses rekrutmen CPNS tahun sebelumnya. “Nah, warisan ini diduga berkontribusi terhadap persepsi buruk sektor rekrutmen CPNS meski telah ada perbaikan sistem. Seperti penggunaan CAT (Computer Assisted Test) dalam tahapan rekrutmen,” bebernya.
Sementara, lembaga yang dipercaya masyarakat, kata Febri, adalah Presiden dan KPK. Berdasarkan survey diketahui terdapat 90 persen masyarakat Jatim menyatakan percaya dengan KPK dan 88 persen percaya terhadap Presiden disusul BPK RI sebesar 66 persen.
Sedangkan, lembaga yang tidak dipercaya adalah Partai Politik dan DPR. Menurut Febri, hal ini wajar karena KPK dan Presiden dipersepsikan serius dalam memberantas korupsi dan KPK menangkap koruptor. “Sementara lembaga yang tidak dipercaya yakni DPR dan Parpol justru penyumbang sub koruptor terutama koruptor kakap. jadi wajar jika Parpol dan DPR di urutan bawah soal urusan kepercayaan publik,” jelasnya.
Ia berharap, kedepan DPR dan Parpol berperan lebih aktif sehingga bisa mengurangi korupsi. “Kita berharap kedepan berperan lebih aktif sehingga korupsi di dalam parpol terutama ketika kader kader menjabat jabatan publik atau kepala daerah itu bisa mengurangi korupsi. Artinya, peran dan kontribusinya dalam memberantas korupsi masih rendah,” tandasnya.
Senada dengan Fauzin Dosen FH Trunojoyo Madura. Menurutnya, tingkat kasus korupsi meningkat seiring pemerintah serius dalam menanganinya. Dalam kajiannya salah satunya adalah regulasi yang turut berkontribusi.
“Regulasi, contohnya dana desa terlalu besar pengelolaannya Kepala Desa tanpa control dari siapapun termasuk perangkat. Jadi di desa itu hanya unsur eksekutif saja, sedangkan unsur lain sebagai kontrol pemerintah desa tidak ada, tunggal,” katanya.
Menurut Fauzin, kasus korupsi dana desa hampir semua ada di Kabupaten. Di Madura sendiri sebelum Pamekasan ada di Bangkalan. “Jadi 4 Kabupaten itu sudah ada korupsi dana desa dari Bangkalan sampai Sumenep. Dan dana desa ini memang potensi korupsinya didorong oleh regulasi,” jelasnya.
Ia menjelaskan, dana desa itu sumbernya dari APBN yang ditransfer ke APBD dengan dilanjut kepada desa. Pada regulasi tersebut ada rancangan dan pihak Camat turut dilibatkan. “Maka Camat punya peran penting seperti di Bangkalan itu kan divonis Camat,” ulasnya.
Panjangnya birokrasi, lanjut Fauzin, memicu terjadinya korupsi yang seharusnya bisa dipangkas. “Karena itu membuka ruang ditengah nafsu di desa cukup tinggi,” tambahnya. [geh]

Tags: