Tips Memenangkan Pilkada Ala Sun Tzu

(Tulisan Bagian Kedua – Habis)

Oleh :
Wahyudi AS
Pengamat dan pemerhati politik, staf pengajar Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) dan saat ini jd kandidat doktor Universitas Negeri Jakarta
Neocortical Warfare

Dalam pilkada seringkali kontestan terjebak dengan strategi untuk menghadapi eksistensi kompetitornya sehingga mengabaikan eksistensinya sendiri. Seringkali kontestan yang satu disibukkan dengan upaya menjatuhlan konstestan yang lain. Dengancara melempar berbagai isu negatif terhadap para pesaingnya (Black Campaign), bahkan hingga menghabiskan anggaran yang sangat tinggi. Padahal di jaman informasi seperti saat ini, hal tersebut bisa dimentahkan dengan konfirmasi faktual yang mampu dilakukan dalam hitungan detik. Dengan demikian strategi kompetisi yang hanya mengandalkan kemampuan personal nampak konyol tanpa dukungan publik.
Seni perang informasi di ranah publik seperti saat ini sering disebut dengan Neocortical Warfare, yakni sebuah pertempuran yang bertujuan agar kompetitor menurun semangat perlawanannya, tidak mampu melakukan perlawanan atau bahkan berbalik mendukung kita. Caranya adalah dengan mempengaruhi kesadaran kognitif musuh sehingga mempengaruhi semua kendali perasaan simpati yang dimiliki musuh atau sasaran.
Konon Cara Perang Neocortex digunakan pemimpin Jerman Adolf Hitler yang berambisi menguasai Eropa pada tahun 1930 an, antara lain untuk menundukkan Austria tanpa penggunaan kekerasan, dan dikembangkan untuk penetrasi ke negara-negara Eropa Barat tanpa kekerasan yang dikenal dengan kolonne kelima atau subversi .
Neocortical Warfare merupakan upaya meraih kemenangan tanpa pertempuran sebagaimana yang diajarkan Zun Tsu. Tehnik ini menekankan penggunaan bagian otak neocortex (kemampuan kognitif) untuk menguasai neocortex lawan sehinggasistem otak musuhdidominasi oleh kerja sistem otak Limbik (pangkal otak) yang cenderung menjadi emosional dan tidak rasional.
Sistem otak limbic merupakan sistem otak sebagai progaram dasar yang mampu menangkap stimulus dengan panca indera lebih awal dari sistem neocortex, sehingga kalau sistem neocortex tidak mampu mencernanya secara cepat maka perilaku yang dihasilkan akan terjadi sesuai keputusan sistem limbic, yaitu perilaku emosional seperti rasa kesal, jijik, terharu, senang, marah dan lain lain.
Respon stimulasi sistem limbic dalam neocortical warfare setidaknya hanya tergantung indera penglihatan dan pendengaran dengan tanpa mencernanya lebih dalam sehingga stimulus yang bisa diterima antara lain adalah rupa warna, bentuk gambar, ukuran, bentuk tulisan serta intonasi suara tanpa memahami makna yang ada lebih lanjut. Misalnya, warna merah akan menumbuhkan sensasi semangat perlawanan dan kemarahan sebaliknya warna hijau muda akan terasa lebihsejuk dan menentramkan. Demikian halnya bentuk gambar orang marah, orang sedih, orang gembira dan sebagainya akan memberikan respon yang berbeda-beda.
Memikat Konstituen
Setelah memahami komponen vital serta tehnik neocortecical warfare dalam memikat konstituen dalam pemenangan pilkada, maka kita harus mampu menciptakan sebuah senjata berbentuk pedang bermata dua dengan ketajaman yang berbahaya di kedua sisinya, yaitu merias Kontestan di satu sisi dan membuai Konstituen di sisi lainnya.
Untuk bisa membuat konstituen terbuai, pada awalnya kita harus memahami suasana kebatinan konstituen yang dalam bahasa intelijen dikenal dengan ESTOM (Emosi, Sikap, Tingkah laku, Opini dan Motivasi) untuk bisa menyajikan kontestan yang menarik di mata konstituennya.
Dari sudut pandang psikologi, setidaknya ada 4 karakter menonjol dari kontestan yang bisa memilkat konstituen. Pertama, kontestan sebagai calon pemimpin dengan karakter serta gaya mengekspresikan aspirasinya antara lain yang mirip dengan dirinya, karena akan membuatnya merasa lebih nyaman dan terjamin kesejahteraannya. Kedua, Kontestan sebagai pemimpin yang tergerak dan peduli dengan penderitaan rakyatnya misalnya pendidikan, kesehatan, musibah, bencana alam ataupun bentuk bentuk kesusahan lainnya.Ketiga, kontestan sebagai pemimpin yang berperilaku positif dan berwawasan luas akan diharapkan seorang problem solver dan tempat bergantung yang ideal.Dan yang ketiga adalah kontestan sebagai sosok pemimpin yang menarik, bukan hanya penampilan fisiknya tetapi juga tata krama serta sikap dan perilaku spontannya yang mampu mencerminkan sosok yang cerdas dan jiwa yang ramah.
Maka yang perlu dilakukan dalam memikat konstituen adalah dengan cara me make-up Kontestan menjadi sosok calon pemimpin yang setidaknya memiliki 4 karakter sebagaimana dikehendaki konstituen, yakni sesosok pribadi yang MENARIK dan MENYENTUH secara emosional. Untuk itu stimulus sistem limbik otak manusia akan lebih cepat merespon hal-hal tertentu antara lain ukuran, bentuk gambar, pemilihan warna serta intonansi suara yang dihasilkan.
Sejauh ini, dari Sabang sampai Merauke di seluruh pelosok di daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada banyak sekali kesalahan yang dilakukan oleh kontestan dalam melakukan propaganda. Akan selalu ditemukan poster-poster ataupun baliho-baliho dengan gambar pasangan kontestan yang telah dimakeup untuk berpenampilan setampan dan secantik mungkin dengan pose tersenyum lebar agar tampak ramah dan menarik, dengan ukuran yang sangat beragam, dengan blok warna latar belakang sesuai warna partai, kalaupun orasi dengan nada suara dengan intonansi tinggi dan berapi api. Belum lagi penentuan thema, pencarian titik-titik penempatan, penyesuaian moment serta pemilihan media yang akan digunakan.
Sosok yang menarik dan ramah tidak harus diwujudkan dengan gambar sosok yang tampan atau cantik yang tersenyum lebar, padahal seorang yang ramah pasti menarik, sedangkan keramahan merupakan bentuk kemampuan berempati yang tidak harus diwujudkan dengan senyuman lebar, bisa saja dengan tatapan tajam penuh perhatian, atau bahkan bisa saja dengan wajah sedih yang tengah menggendong seorang anak kecil yang kekurangan gizi ditengah kerumunan beberapa warga masyarakat. Karena bisa jadi wajah yang tengah tertawa lebar dan di pasang dipersimpangan jalanan kota yang seringkali macet dan menyebabkan stress justeru terkesan tidak empatik sehingga menumbuhkan perasaan kesal bagi yang memandangnya.
Latar belakang baliho ataupun poster besar tidak harus diblok dengan warna yang disesuaikan dengan warna bendera partai politik yang mendukungnya, namun sebaiknya disesuaikan dengan suasana kebatinan warga masyarakat konstituen di daerah tersebut. Misalnya, warna merah yang mampu menstimulus kemarahan dan semangat perlawanan, tentu tidak sesuai dengan suasana religiusitas warga masyarakat konstituen pada saat bulan suci Ramadhan, sehingga justeru menumbuhkan perasaan tidak suka.
Ukuran baliho atau poster yang terlalu besar ditengah-tengah mobilitas warga masyarakat konstituen yang padat tentu tidak efektif dan bahkan mampu menumbuhkan tuduhan arogansi terhadap gambar sosok di dalamnya. Demikian halnya dengan intonansi suara yang terlalu menggebu-gebu ditengah masyarakat yang sudah lelah berfikir untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari di tengah hiruk pikuknya warga ibukota yang apatis akan nampak konyol, dan sebagainya.
Jadi, tips pemenangan Pilkada dalam kurun waktu yang singkat ini hanya dibutuhkan sistem pengelolaan (manajerial) dalam hal pembuatan dan pemasangan tulisan dan gambar-gambar di tempat umum serta penggunaan intonansi yang sesuai saat orasi maupun penampilan di media-media elektronik seperti radio dan televisi. dan untuk mengantisipasi konfliknya adalah perlunya regulasi penyeragaman ukuran sepanduk/poster/baliho, penyeragaman titik pemasangannya serta penyeragaman media massa yang boleh digunakan untuk orasi atau wawancara terbuka, sehingga kompetisi terjadi hanya dalam hal kreatifitas pembuatan gambar, pemilihan warna dan penggunaan intonansi suara. Selamat mencoba.

———- *** ————

Rate this article!
Tags: