Tiru Jepang, Dindik Kembangkan Metode Jugyokenkyu

Vice President School as Learning Community (SLC) Study Group in Japan Masaaki Sato menjelaskan tentang metode Jugyokenkyu yang akan diterapkan Dindik Surabaya di jenjang SDN, Kamis (10/3). [adit hananta utama]

Vice President School as Learning Community (SLC) Study Group in Japan Masaaki Sato menjelaskan tentang metode Jugyokenkyu yang akan diterapkan Dindik Surabaya di jenjang SDN, Kamis (10/3). [adit hananta utama]

Dindik Surabaya, Bhirawa
Di Jepang, sejak sekolah formal berdiri pada 1870, budaya jugyokenkyu sudah mulai ada. Metode pengembangan kualitas pendidik itu terus berlaku hingga kini. Khususnya untuk mengembangkan kemampuan guru dalam menangani kendala saat proses pembelajaran di kelas.
Jugyokenkyu berarti kajian yang dilakukan terhadap proses pembelajaran oleh guru. Secara teknis, hal tersebut dilakukan para guru secara bersama dari berbagai sekolah. Kini, metode tersebut tidak hanya akan berlaku di Jepang. Sebab, Dinas Pendidikan (Dindik) Surabaya sudah berancang-ancang untuk menerapkannya di jenjang Sekolah Dasar (SD).
Kepala Dindik Surabaya Ikhsan mengatakan sekitar April-Juni mendatang jugyokenkyu bakal diterapkan secara bertahap di SDN se-Surabaya. Tahap pertama akan dilakukan dengan menunjuk satu sekolah di tiap kecamatan. Dengan begitu, akan ada 31 sekolah model jugyokenkyu yang akan menjadi rujukan guru. “31 sekolah ini kemudian membawahi lima sekolah untuk pengimbasan,” tutur Ikhsan di sela kegiatan Rapat Kerja Kepala SD di Gedung Wanita Surabaya, Kamis (10/3).
Dalam mengenalkan jugyokenkyu, lanjut Ikhsan, pihaknya bakal menyertakan pengawas, kepala sekolah, guru, dan pengajar muda Indonesia. Pengajar muda Indonesia ini merupakan alumni program Indonesia Mengajar. “Selama tiga tahun ini pengajar muda Indonesia sudah menjadi konsultan untuk kepala sekolah di Surabaya,” tandasnya.
Vice President School as Learning Community (SLC) Study Group in Japan Masaaki Sato mengatakan, jugyokenkyu harus memperhatikan tiga hal. Dimulai dengan perencanaan pembelajaran secara matang, observasi dan pelaksanaan di lapangan, serta evaluasi. Sebelum masuk ke kelas terbuka, guru diharapkan mampu membuat perencanaan pembelajaran sebaik mungkin minimal seminggu sebelum diadakannya jugyokenkyu.
Guru harus cermat memperhatikan keadaan siswa. Apakah mereka siap menerima pelajaran atau tidak? Saking cermatnya, guru bahkan harus bisa mengamati posisi duduk siswa. Apakah mereka dalam keadaan siap atau justru terlihat santai? “Jika menemukan hal yang demikan, siswa jangan dibiarkan sendiri dan segera damping,” tutur Sato.
Fasilitator jugyokenkyu Adhitya Syarif mengatakan, metode ini tidak hanya dilakukan guru antar kelas dalam satu sekolah. Melainkan juga dilakukan guru antar sekolah di seluruh Jepang. Dengan begitu, semua guru mampu mengetahui kelebihan dan kekurangan masing-masing. “Guru di Jepang mampu berpikir jadi satu, baik untuk meningkatkan kemampuan guru sendiri serta siswa,” kata Adhit.
Adhit menjelaskan, di Jatim program ini baru menyasar dua kota, yaitu Surabaya dan Malang. Sambutan dari guru di Kota Pahlawan dianggapnya cukup mengejutkan. “Mentalitas belajar guru di Surabaya cukup baik. Artinya, minat belajarnya tinggi. Ini yang tidak dapat di daerah-daerah lain,” ungkapnya.
Menurut dia, metode ini mengajarkan budaya guru-guru di Jepang. Misalnya, guru kelas IV A belajar ke guru di sekolah lain yang mengajar kelas IV B. Dalam tahap proses belajar itu, guru dapat memperoleh ilmu satu sama lain. Termasuk bagaimana cara menangani siswa yang mengalami kesulitan belajar melalui observasi. “Hasil saling belajar itu kemudian dapat diterapkan di sekolah masing-masing,” jelasnya. [tam]

Tags: