Tolak RUU HIP, FKPPI Kabupaten Nganjuk Bakar Simbol Palu Arit

Deklarasi menolak RUU HIP, FKPPI Nganjuk bersama ormas lain membakar simbol komunisme berupa gambar palu dan arit.(ristika/bhirawa)

Nganjuk, Bhirawa
Waspada kebangkitan paham komunis, Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan Dan Putra Putri TNI-Polri (FKPPI) 1310 menolak rumusan draft RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Deklarasi penolakan juga diikuti oleh ratusan massa dari berbagai ormas dan tokoh lintas agama seKabupaten Nganjuk.

Setelah melakukan pengkajian mendalam terhadap naskah kkademik, dan catatan rapat badan legislasi DPR RI dalam pengambilan keputusan atas penyusunan RUU HIP serta mencermati dengan seksama dinamika yang berkembang di masyarakat, FKPPI mengambil sikap menolak.

Ketua FKPPI 1310, Djoko Sabdono mengatakan bahwa segala ikhtiar untuk mengawal, melestarikan, dan mempertahankan Pancasila sebagai falsafah bangsa, dasar negara, dan konsensus nasional patut didukung dan diapresiasi di tengah ancaman ideologi transnasionalisme yang merapuhkan sendi-sendi keutuhan bangsa dan persatuan nasional. Pancasila sebagai titik temu yang disepakati sebagai dasar negara adalah hasil dari satu kesatuan proses yang dimulai sejak pidato Soekarno pada 1 Juni 1945.

Secara historis, Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara yang disahkan pada 18 Agustus 1945 adalah hasil dari moderasi aspirasi Islam dan Kebangsaan. Dengan rumusan final Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, Indonesia tidak menjelma sebagai negara Islam, juga bukan negara sekuler, tetapi negara nasionalis-religius.

“Rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang dihasilkan oleh tim sembilan, dan rumusan final yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 adalah rumusan final Pancasila yang merupakan legacy terbesar yang diwariskan para pendiri bangsa,” teriak Djoko Sabdono diatas podium.

Bahwa Pancasila tersusun dari lima sila yang memuat nilai-nilai luhur yang saling menjiwai, dimana sila Ketuhanan menjiwai Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Kesatuan nilai-nilai Pancasila yang saling menjiwai itu tidak bisa diperas lagi menjadi trisila atau ekasila. Upaya memeras Pancasila menjadi trisila atau ekasila akan merusak kedudukan Pancasila, baik sebagai falsafah dasar maupun hukum dasar yang telah ditetapkan pada 18 Agustus 1945.

Djoko Sabdono juga menegaskan, Pancasila merupakan hukum tertinggi atau sumber dari segala sumber hukum yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945. Sebagai hukum tertinggi yang lahir dari konsensus kebangsaan, Pancasila tidak bisa diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. “Pengaturan Pancasila ke dalam sebuah undang-undang akan menimbulkan anarki dan kekacauan sistem ketatanegaraan dan dapat memicu konflik horisontal dalam masyarakat,” tegas Djoko Sabdono.

Secara garis besar FKPPI 1310 menolak RUU HIP karena pasal 3 ayat (2), pasal 6 dan pasal 7 dalam RUU HIP bertentangan dengan Pancasila sebagai konsensus kebangsaan. Kemudian pasal 13, 14, 15, 16, dan 17 mempersempit ruang tafsir yang menjurus pada mono tafsir Pancasila. Pasal 22 dan turunannya tidak relevan diatur di dalam RUU HIP. Pasal 23 dapat menimbulkan benturan norma agama dan negara. Pasal 34, 35, 37, 38, 41, dan 43 merupakan bentuk tafsir ekspansif Pancasila yang tidak perlu. Terakhir Pasal 48 ayat (6) dan Pasal 49 dapat menimbulkan konflik kepentingan.

Pancasila sebagai kesepakatan final tidak membutuhkan penafsiran lebih luas atau lebih sempit dari penjabaran yang sudah dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 beserta situasi batin yang menyertai rumusan finalnya pada 18 Agustus 1945. “Dengan alasan untuk mencegah perpecahan dan mempersatukan seluruh elemen bangsa, proses legislasi RUU HIP harus dihentikan dan seluruh komponen bangsa memusatkan energinya memulihkan perekonomian nasional,” pungkas Djoko Sabdono.(ris)

Tags: