Tolak Wacana Presiden Tiga Periode

Oleh :
Ani Sri Rahayu
Dosen PPKn (Civic Hukum) Univ. Muhammadiyah Malang

Isu Presiden tiga periode dan perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih marak dibahas. Bahkan, wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode tersebut, akan berpotensi akan terus bergulir hingga jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Meski saat ini partai-partai politik menolaknya. Namun, wacana tersebut jika terus bergulir maka tidak menutup kemungkinan malah menjadi bagian dari tawar menawar kepentingan politik, dengan kata lain memiliki potensi daya tawar di tengah kepentingan politik.

Selain itu, masifnya wacana tiga periode ini memperlihatkan kekisruhan politik di Indonesia yang semakin menjadi-jadi. Melalui, rubrik opini inilah penulis tertarik untuk mengkaji isu masa jabatan Presiden sebagai peluang dalam membuka potensi daya tawar di tengah kepentingan politik yang perpotensi menambah kekhawatiran publik dan saatnya publik mengambil sikap tegas.

Kekhawatiran Publik

Wacana jabatan tiga periode ramai diperbincangkan sejalan dengan keinginan parlemen untuk mengamandemen konstitusi untuk kesekian kalinya. Wajar juga jika ada kekhawatiran dari sejumlah pihak, amandemen konstitusi hanya menjadi dalih untuk melanggengkan kekuasaan kelompok tertentu. Salah satunya melalui rencana perpanjangan jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode.

Wacana amandemen UUD 1945 terkhawatirkan akan menjadi pintu masuk kepentingan lain. Salah satunya adalah kekhawatiran terkait perpanjangan masa jabatan presiden. Munculnya kekhawatiran publik menyangkut isu presiden tiga periode adalah hal yang wajar, bukan sesuatu yang berlebihan. Sebab, bagaimana pun tidak ada yang bisa menjamin bahwa amendemen terbatas yang akan dilakukan itu tidak disusupi klausul wacana presiden tiga periode. Terlebih, di tengah kondisi pandemi yang masih berlangsung dan kontrol publik yang tidak maksimal karena keterbatasan ruang ekspresi.

Terlebih belajar dari pengalaman sebelumnya, bahwa apa yang menjadi keresahan publik ternyata benar terjadi. Beberapa rancangan undang-undang yang menuai kontroversi publik juga akhirnya terealisasi dengan mulus dan cepat. Untuk kepentingan segelinter elite politik, segala hal yang mustahil terwujud pada faktanya bisa terjadi. Namun, setidaknya publik bisa tertenangkan dari pernyataan Presiden Jokowi bahwa amandemen UUD 1945 adalah domain Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan dengan tegas beliau sendiri telah menolak wacana presiden 3 periode maupun perpanjangan masa jabatan presiden. Realitas tersebut, merupakan sikap politik Jokowi berdasarkan kesetiaan beliau pada konstitusi UUD 1945 dan amanah reformasi 1998.

Saat membahas soal jabatan presiden tiga periode sejatinya partai politiklah yang paling berpengaruh. Pasalnya partai memiliki perwakilannya sebagai aktor dalam proses pembuatan kebijakan baik itu di pemerintahan dan juga di DPR. Dari situlah, tarik menarik kepentingan para aktor tentunya akan mendorong jalan tengah untuk berkompromi dan mengakomodir berbagai kepentingan hingga jelang Pemilu 2024. Di mana salah satu isu yang menjadi tawar menawar adalah masa jabatan presiden.

Realitas tersebut, setidaknya semakin menegaskan bahwa elit politik memiliki potensi menciptakan imajinasi politik, dan sejatinya hanya di Indonesia, para elite politik menciptakan imajinasi politik dengan mendesain isu-isu publik yang kontraproduktif dalam upaya melanggengkan kekuasaan dengan pengaruh pesan politik, sasaran, dan target politik yang dapat diarahkan dan dimanipulasi. Wajar adanya, jika wacana jabatan tiga periode berpotensi mengundang kekhawatiran kolektif publik.

Maksimalkan Partisipasi Rakyat

Gagasan amandemen UUD 1945 tentang perpanjangan jabatan presiden menjadi tiga periode terus bergulir di ranah publik dan menjadi diskursus yang amat hangat serius baik itu konteks partai politik, tokoh bangsa, para pengamat politik, mahasiswa dan juga masyarakat secara umum. Wacana ini memang bukan suatu hal yang baru.

Namun, persoalannya jika isu atau wacana ini terus bergulir akan berpotensi membuka daya tawar. Sikap partai politik bisa saja berubah kalau menemukan jalan tengah yang mengakomodasi kepentingan mereka. Dalihnya, bisa saja bermacam-macam mulai dari mempertimbangkan faktor lingkungan kebijakan dalam proses pembuatan kebijakan. Atau alasan lain, seperti dibutuhkan penambahan masa periode pemerintahan karena di tengah pandemi Covid-19.

Perilaku aktor politik itulah, yang memandang bahwa kekuasaan itu sebagai sesuatu yang konkret. Ibaratnya, benda atau barang yang dapat diwariskan kepada anak cucu dan memperkuat oligarki. Pada akhirnya, hal ini akan menyebabkan tertutupnya celah bagi perbedaan, memunculkan pemerintahan yang tidak terkontrol, dibungkamnya oposisi, macetnya regenerasi kepemimpinan, menumbuhsuburkan korupsi serta nepotisme (Noor, 2021).

Realitas itu, semakin menegaskan bahwa apapun dalihnya wacana masa jabatan presiden berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa ini akan terjerembab dalam korupsi yang berkepanjangan. Power tends to corrupt, bahwa kekuasaan cenderung korup, absolute power corrupts absolutely, kekuasaan mutlak benar-benar merusak. Oleh sebab itu, wacana amandemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945 seharusnya memaksimalkan partisipasi dan aspirasi rakyat, bukan hanya sebatas pada pembahasan yang terjadi di ruang parlemen antar anggota MPR semata. Karena bagi sebagian orang, Undang-Undang Dasar 1945 bukan hanya dipandang sebatas norma dan hukum tertulis saja, tetapi mereka meyakini bahwa konstitusi dalam hal ini Undang-Undang Dasar 1945 sebagai nilai-nilai, prinsip, filosofis, cita-cita luhur dalam bermasyarakat dan bernegara.

Maka dari itu, banyak orang mengkhawatirkan atas wacana amandemen yang kelima ini hanya sebatas pada kepentingan pragmatis dan politik transaksional semata. Oleh sebab itu, saatnya kalangan civil society bisa memainkan peran asasinya dalam melindungi dan menyuburkan kehidupan demokrasi di negeri ini, baik pada masa pandemi Covid-19 maupun sesudahnya. Itu artinya, kerja kolektif para pihak yang peduli terhadap kualitas kehidupan demokrasi harus makin digiatkan, sebagai bentuk tanggung jawab moral dan konstitusional anak bangsa.

Selain itu, peran serta keterlibatan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (The guardian of the constitution) sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk menafsirkan (The sole interpreter of the constitution) perlu terintensifikasikan, begitupun dengan keterlibatan aktif rakyat dalam mengawasi penyelenggeraan negara berkaitan dengan wacana amandemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945 ini.

Upaya-upaya tersebut, merupakan bagian dari bentuk agar bangsa dan negeri ini terhindar dari potensi-potensi buruk yang bakal terjadi dibalik amandemen UUD 1945 tentang perpanjangan jabatan presiden menjadi tiga periode. Memang, kini saatnya masyarakat dan pembuat kebijakan bisa tegas menolak wacana tersebut. Pasalnya, kekuasaan yang berkepanjangan hanya akan memiliki dampak buruk seperti korupsi yang merajalela.

——— *** ———-

Rate this article!
Tags: