Toleransi (dalam) Keragaman

foto ilustrasi

“Tak kenal maka tak sayang.” Begitu kata pepatah serumpun Melayu, yang menandakan keterbukaan. Pesan yang terkandung dalam pepatah itu adalah, bahwa tuan rumah akan selalu menyambut dengan cara tebaik. Sedangkan pendatang seyogianya memperkenalkan diri. Banyak pepatah menjadi bagian dari penyambutan tamu. Sekaligus menjadi pertanda ke-ramah-an bangsa. Sebab, bangsa “sangar” pasti akan dijauhi.
Pepatah itu pula yang menyebabkan presiden AS (Amerika Serikat) Barack Husein Obama, memillih berlibur di Indonesia. Itu bagai nostalgia, karena pernah tinggal di Indonesia selama empat tahun (1967 – 1971). Obama, sudah mengenal (dengan baik) Indonesia, khususnya Jakarta dan Bogor. Maka pepatah penyambutan tamu itu, terasa lebih dari sekedar ucapan “wellcome.” Lebih tepat wellcome-home. Beberapa tujuan wisata kesohor (mendunia) dikunjungi.
Selain Bali, juga ke Borobudur, dan kawasan Puncak (Bogor). Maka ucapan  wellcome-home kepada Obama, terasa bermakna “selamat mudik.” Karena bertepatan waktu dengan budaya mudik lebaran Idul Fitri. Obama juga mengenal Idul Fitri (dari ayahnya yang muslim), walau dipahami tanpa budaya mudik. Namun selama empat tahun di Menteng (Jakarta), niscaya, pernah merasakan indahnya Idul Fitri khas Indonesia. Misalnya, Jakarta yang sepi karena ditinggal mudik warganya.
Periode tahun 1967 – 1971, budaya Idul Fitri (lebaran), lebih kental. Termasuk suasana sebulan Ramadhan, dan berujung takbir keliling dengan pawai kendaraan maupun berjalan kaki. Obama, memiliki kenangan Idul Fitri di Indonesia. Saling mengunjungi antar-keluarga dan tetangga. Tak pandang suku dan agama. Hal yang sama juga terjadi perayaan Natal, Nyepi dan Waisak. Begitu pula hari Kasada, malah menjadi agenda wisata yang masyhur.
Jakarta, sejak tiga abad silam, telah menjadi kawasan pluralisme. Berbagai   suku bangsa (Betawi, Sunda, Jawa, Melayu, Arab, dan China) telah menjadi warga tetap. Ke-bhinneka-an, menjadi keniscayaan. Kota-kota lain di Indonesia, terutama kawasan pantai, juga menjadi kawasan pluralistis. Bahkan kota kecil, Tuban (di Jawa Timur), kesohor sebagai persinggahan dagang internasional. Terdapat kelenteng Kwan Sing Bio, berusia ratusan tahun.
Indonesia juga menjadi negeri “diaspora,” yang tersebar ke berbagai belahan dunia. Bahkan diaspora dalam “diaspora.” Misalnya blasteran (keturunan) Arab, China, serta Eropa. Seluruh diaspora, masih suka menggunakan bahasa Indonesia. Tatanan sosial telah memiliki kebiasaan hidup dalam pluralisme. Namun altar politik, sering mengacau suasana, memecah belah rakyat menjadi kotak-kotak konstituen. Sampai memicu konflik SARA, dan radikalisme.
Radikalisme kanan, terang-terangan pernah dihembuskan di Tolikara (Papua, 2015), bertepatan dengan hari paling di-raya-kan umat Islam, Idul Fitri. Masjid tempat shalat Idul Fitri, dan pasar komunitas suku Jawa, dibakar. Tidak biasa, warga Papua bersikap in-toleran terhadap pemeluk agama. Banyak warga asli Papua belajar ilmu keagamaan ke luar daerah. Termasuk mempelajari agama Islam di pesantren di Jawa. Bahkan sudah banyak yang menjadi ustad.
Namun radikalisme kiri, juga pernah mencatatkan trauma tragedi sosial sangat mendalam. Peristiwa Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh, 1965), menimbulkan kepedihan mendalam. Terjadi tawur nasional antar-anak bangsa, karena pemaksaan politik ideologi. Pengkhianatan terhadap NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Untuk kedua kalinya, ekstrem kiri coba meng-kudeta pemerintahan yang sah. Serta mengganti dasar negara ke arah ideologi komunisme.
Maka kongres diaspora (yang dihadiri presiden AS ke-44, Barack Obama), bagai mengusap cermin agar lebih kinclong. Sejak awal NKRI, negara dibentuk berdasar pluralisme. Terutama kalangan diaspora yang menyokong proklamasi kemerdekaan RI. Bukti kongkret pluralisme di Indonesia, antaralain, tetap tegaknya ratusan candi (peninggalan budaya Hindu dan Budha). Mayoritas pemelihara candi, adalah warga muslim!

                                                                                            ———   000   ———

Rate this article!
Tags: