TPG Vs Kinerja Guru

hepy-prasetyo-aju-copyPenulis  :Video
Hepy Prasetyo Aju
Kepala KB/RA Permata Hati, Surabaya

“Apa daya, murid terbengkalai dan saya dipusingkan dengan beragam pemberkasan yang menyita waktu saya”, keluh salah seorang guru. Pemerintah menutup mata dengan fenomena yang terjadi. Bagaimanakah nasib siswa? Kinerja guru benar-benar dipertanyakan.
Tunjangan Profesi Guru (TPG) menjadi buah bibir sekitar tahun 2006. Semua guru berebut untuk bisa mendapatkan tunjangan tersebut. Bahkan ada yang rela mengorbankan teman sendiri demi bisa mendapatkan tunjangan tersebut. Nominalnya memang cukup lumayan, bisa menutup asap dapur selama sebulan. Dulu, diawal memang sangat menggiurkan. Mendapat uang dari negara dengan kompensasi meningkatkan kualitas diri tanpa harus terbebani. Beban administrasi kelas dan pemberkasan yang sangat rumit dan berbelit-belit. Unsur kepercayaan, antara pemerintah sebagai donatur tunjangan dan guru sebagai penerima tunjangan.
Guru semakin bisa meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya. Hal ini berimbas pada peningkatan kualitas mengajarnya. Memang ada beberapa oknum yang masih tidak mau merubah dirinya menjadi guru yang profesionall, tapi jumlahnya adalah minimal jika dibandingkan jumlah guru profesional yang semakin banyak jumlahnya. Adanya PLPG atau diklat untuk guru sebelum dianggap layak menjadi guru profesional menjadi salah satu alasan meningkatnya jumlah guru profesional yang ada.
Pemberkasan yang harus dilakukan setiap semester menjadikan guru sibuk dengan dirinya sendiri. Betapa tidak? Waktu yang seharusnya dipergunakan untuk mengajar, habis terbuang untuk pemberkasan dan up to date data  diri di system yang sudah dipersiapkan oleh pemerintah. Rumit dan berbelit-belit, karena peraturannya sering berganti-ganti setiap saat. Membuat guru kelabakan dikejar dead line pemberkasan dan mengabaikan tugas utamanya, memberikan ilmu kepada murid-muridnya.
Anehnya, pemerintah justru menutup mata dengan fenomena tersebut. Bahkan syarat dan ketentuannya malah dibuat semakin rumit dan berrbelit-belit. Teknologi Informatika dijadikan sebagai media pencairan dana tunjangannya. Dengan beragam aplikasi yang membuat guru pusing kepala. Padahal, realitanya adalah bahwa tidak semua guru di Indonesia melek TI. Jadinya, malah merepotkan teman. Dan pada akhirnya  berujung si teman meninggalkan kewajibannya mengajar hanya untuk membantu teman yang pemberkasan.
Harusnya fenomena tersebut membuka mata pemerintah kita, untuk tidak semakin membebani guru dengan sejumlah keadministrasian sekolah, apalagi dengan menambah bebannya lagi dengan pemberkasan setiap satu semester. Tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian, pemberkasan dengan beragam aplikasinya malah semakin dikedepankan. Dengan dalih bahwa guru harus melek TI. Bagaimanakah dengan realitanya?
Guru semakin terkungkung oleh beragam beban yang semakin memberati pundaknya, belum lagi beban moral sebagai pendidik, menjadikan anak-anak bangsa menjadi manusia handal di Indonesia Emas, 2045 kelak. Akibatnya, banyak guru yang stres dengan semua itu, dan mengambil jalan pintas. Meminta bantuan teman menyelesaikan pemberkasannya yang berarti menambah beban kerja sesama guru. Yang pada akhirnya, guru yang mendapat banyak pesanan menyelesaikan akan meninggalkan kewajibannya mengajar. Akankah pemerintah tetap menutup mata dengan fenomena tersebut?
Bagaimanakah jika kondisi ini tetap berlanjut? Sudah bukan rahasia lagi kalau kewajiban mengajar ditinggalkan hanya untuk memburu rupiah yang nominalnya kalau dikalkulasikan tidaklah sepadan dengan jerih payah seorang guru. Tingkat kesulitan menghadapi siswa dengan beragam karakter. Belum lagi perubahan kurikulum yang membuat shock massa,  menjadikan semua guru seperti seekor kutu, berlompatan kesana kemari untuk memenuhi tuntutan pembelajaran di sekolah. Ternyata kondisi tersebut tidak mampu membuka mata pemerintah kita akan perlunya apresiasi untuk seorang guru tanpa diikuti oleh beragam keadministrasian yang membelenggu.
Abduh Zen yang dilansir oleh Tribun News.COM pada 13 Oktober menyampaikan bahwa kondisi guru di Indonesia dalam keadaan tidak baik.   (Diskusi Polemik yang digelar di Warung Daun Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (13/12/2014)). Zen juga menyampaikan bahwa Uji Kompetensi Awal (UKA) dan Uji Kompetensi Guru (UKG) kini dibawah rata-rata. Harus terjadi pembaharuan dan harus dilakukan peatihan-pelatihan yang benar-benar efektif. Yang jadi permasalahannya utamanya adalah, motivasi yang diberikan tidak pernah menyentuh aspek batin guru, mesti disuntikkan virus motivasi kedalam guru-guru kita, sehingga mereka menyempurnakan profesinya.
Jelas sudah bahwa kondisi riil dilapangan yang sudah sedemikian buruknya, malah diperburuk dengan beban keadministrasian yang menggunung dan pemberkasan untuk mendapatkan tunjangan. Alhasil, yang akan mereka pilih adalah menuntaaskan pemberkasan untuk mendapatkan tunjangan daripada menyelesaikan tugas keadministrasian dan tanggung jawab mengajarnya. Inikah yang diharapkan oleh pemerintah?
Tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Akankah terwujud bila kondisi riil guru yang ada seperti itu? Guru disibukkan dengan dirinya sendiri. Sedangkan tunjangan dari pemerintah yang diharapkan akan sangat membantu meningkatkan kinerja guru, malah membebani guru. Kapankah masyarakat Indonesia yang cerdas akan terwujud?
Sebuah dilema yang tak akan pernah ada akhirnya jika tidak disikapi dengan bijak oleh pemerintah. Karena tidaklah mungkin memaksakan kehendak dengan menyama ratakan kemampuan guru yang ada di Indonesia. Beragam latar belakang sosial budaya juga perlu menjadi pertimbangan bagi pemerintah agar bisa menyikapi secara bijak kondisi tersebut. Sehingga dengan tunjangan yang diberikan guru akan tersejahterakan. Tanpa beban yang mengharuskannya meninggalkan murid-muridnya. Tetapi mampu menjadikan guru bertanggung jawab akan tugas utamanya. Mencerdaaskan kehidupan bangsa.

                                                                                                                ———- *** ————

Rate this article!
TPG Vs Kinerja Guru,5 / 5 ( 1votes )
Tags: