Tradisi Jamasan Pusaka di Nganjuk

Tradisi menyucikan pusaka merupakan tradisi Jawa yang adiluhung dan merupakan peninggalan nenek moyang.  Hingga kini tradisi itu masih dilestarikan sebagian kecil masyarakat Jawa. [ristika]

Tradisi menyucikan pusaka merupakan tradisi Jawa yang adiluhung dan merupakan peninggalan nenek moyang. Hingga kini tradisi itu masih dilestarikan sebagian kecil masyarakat Jawa. [ristika]

Mampu Bertahan di Era Modern, Jadi Unggulan Wisata Daerah
Kabupaten Nganjuk, Bhirawa
“Kukusing dupo kumelun ngeningaken tyas sang apekik kawengku sagung jajahan nanging sanget hangikibi sang resi kaneko putro kang hanjog saking wiyati”. Penggalan kalimat di atas begitu anggun disampaikan. Maknanya, merupakan suatu adat budaya leluhur, di mana untuk memohon kepada Tuhan melalui asap dupa yang mengepul sebagai medianya. Tujuannya tiada lain adalah sebagai perwujudan rasa syukur dan upaya menciptakan ketenteraman, kedamaian dan keselamatan.
Budaya lahir bersamaan dengan keberadaan manusia di dunia, sedangkan tradisi lahir dari hubungan manusia dengan alam sekitarya. Tradisi menyucikan pusaka merupakan tradisi Jawa yang adiluhung dan merupakan peninggalan nenek moyang yang mulai lekang oleh zaman. Hanya segelintir warga saja yang hingga kini masih menyimpan pusaka tua dan secara rutin melakukan ritual Jamasan Pusaka.
Komunitas pelestari pusaka di Desa Baleturi Kecamatan Prambon, melakukan ritual menyucikan pusaka tua. Tradisi yang masih berkembang di kalangan masyarakat pencinta benda pusaka pada setiap penanggalan Jawa di bulan Suro atau Muharam, para pencinta benda pusaka tidak akan pernah lupa melakukan ritual menyucikan pusakanya atau lebih dikenal dengan Jamasan Pusaka.
Jamasan Pusaka bertujuan untuk memancarkan pamor keris agar kembali bersinar dan mengembalikan kekuatan magisnya agar utuh seperti sediakala. Menurut catatan sejarah, beragam nama dan jenis pusaka yang tersebar di tanah Jawa, tetapi hanya ada enam pusaka yang dianggap melegenda dan banyak dikoleksi oleh raja-raja pada masanya. Dari enam pusaka tersebut di antaranya Keris Empu Gandring karya Mpu Gandring, Keris Naga Sasra Sabuk Inten karya Mpu Ki Nom, Keris Kala Munyeng salah satu peninggalan Sunan Giri, Keris Kyai Condong Campur karya 100 empu, termasuk dua pusaka ampuh lagi karya Mpu Supo Mandagri yang banyak diburu oleh para kolektor adalah Keris Setan Kober dan Keris Kyai Sengkelat.
Uniknya, semua jenis pusaka tersebut setiap Suro sudah menjadi keharusan untuk dimandikan atau disucikan.  Seperti yang dilakoni oleh Witanto Harjo Winoto salah satu sesepuh warga Desa Baleturi Kecamatan Prambon yang juga berprofesi sebagai penjamas pusaka. Dia mengaku selama satu bulan penuh di bulan Suro bisa dipastikan banjir order.
Menurut pengakuan Mbah Witanto begitu dia akrab disapa oleh masyarakat setempat, selama satu bulan di bulan Suro order yang dia terima tidak kurang dari 100 pusaka untuk dijamasi ( dimandikan ). Ditanya soal biaya jamasan, Winanto mengaku tidak memasang tarif artinya sifatnya sukarela. ” Biasanipun setunggal keris enten seng maringi kalih doso ewu ngantos tigang doso ewu,” ucap Mbah Witanto dengan logat Jawa belum lama ini.
Ada yang menarik di balik prosesi memandikan pusaka, yaitu dilakukan dengan cara tradisi seperti di Kasunanan Jogjakarta. Pertama prosesi yang dilakukan adalah pembacaan doa yang ditujukan kepada leluhur keturunan asli Jogjakarta yakni Kanjeng Raden Tumenggung Haryom. Sementara air yang digunakan untuk memandikan pusaka tidak sembarang air. Melainkan mengambil dari mata sumber air tertua di desa tersebut.
Uniknya lagi, tradisi pengambilan air tua tersebut harus dilakukan oleh dua gadis yang masih perawan. Saat pengambilan air dua gadis tersebut juga dipayungi dengan payung pusaka. ”Mundut toyo wening perwitosari kedah lare perawan. Mergi sedayane kedah suci ,” pungkas Mbah Witanto.
Tidak lupa bunga setaman, dupa dan kemenyan melengkapi proses Jamasan Pusaka. Pusaka kemudian dibaluri dengan jeruk nipis untuk menghilangkan karat, setelah itu air bunga setaman dipercikkan ke pusaka berupa keris dan tombak. Secara cermat, kemudian air bunga setaman membasuh seluruh bilah pusaka dengan diiringi rapalan doa-doa Jawa.
Pemkab  Nganjuk menjadikan empat tradisi sebagai unggulan wisata daerah, yakni Pawai Alegoris, Gemboyang/Wisuda Waranggana Tayub, Siraman Sedudo, dan Jamasan Pusaka.  Empat tradisi tersebut memiliki keunikan dan kekhasan masing-masing yang diharapkan mampu menyedot wisatawan lokal maupun mancanegara. [Ristika]

Rate this article!
Tags: