Tradisi Tolak Bala Warga Probolinggo Berebut Air Suci

Setelah mengikuti parai, para santri berebut air suci di Rabu pamungkas di bulan Safar.

Diawali Pawai Obor dan Doa Bersama, untuk Peringati Rabu Wekasan

Probolinggo, Bhirawa
Ratusan santri dan warga di Kota Probolinggo, menggelar tradisi pawai obor Rabu Wekasan atau Rabu Pamungkas di bulan Safar. Uniknya, pada puncak acara, warga berebut air suci dari 7 mata air. Dengan aksi ini, warga berharap wilayah Probolinggo terhindar dari bala maupun bencana alam.
Tampak ratusan warga berikut santri Ponpes Nurul Islam Kelurahan Triwung Lor, Kecamatan Kademangan, semangat mengikuti pawai obor. Kegiatan ini merupakan tradisi Rabu Wekasan atau malam Rabu di akhir bulan Safar dalam kalender Hijriyah.
Meski terlihat sederhana, ratusan warga terlihat khidmad mengikuti pawai tersebut. Di sepanjang jalan kampung, tak henti-hentinya peserta pawai mengumandangkan sholawat burdah serta doa-doa. “Asyik bisa keliling kampung sambil bawa obor. Seru karena jarang-jarang ada kayak ini, setahun sekali, saya pasti ikut,” ujar Uswatun Nafisah, salah satu santri.
Konon dalam sejarah Islam, pada bulan Safar banyak diturunkan azab dari Sang Pencipta. Seperti bencana alam hingga penyakit pada umat manusia yang banyak melakukan dosa. Dengan kepercayaan itu, warga tetap menghidupkan tradisi pawai obor Rabu Wekasan, sambil bersholawat dan memanjatkan doa dengan berkeliling kampung.
“Tujuannya, agar di bulan-bulan selanjutnya negeri ini terhindar dari segala musibah bencana alam. Apalagi saat ini banyak terjadi bencana banjir, tanah longsor dan buruknya cuaca di laut,” kata ustadz Mukhlas, pengasuh Ponpes Nurul Islam, Selasa (14/11) malam.
Setelah keliling kampung, acara diakhiri dengan membaca doa yang dipimpin ulama setempat. Serunya, warga tak terkecuali anak-anak, langsung berebut air suci yang disebutkan diambil dari 7 mata air. Sebelumnya air itu telah dirapalkan doa-doa untuk diminum.
Saat ini, tradisi Rabu Wekasan mulai jarang ditemui. Padahal tradisi tersebut merupakan tradisi Islam zaman dulu, yang dimanfaatkan sekaligus sebagai wadah siar agama. “Tradisi semacam ini, sudah mulai langka dilaksanakan. Karenanya, kami berharap warga dan santri selalu melestarikan tradisi dan warisan budaya dari ulama terdahulu,” harap Habib Jadi Zainal Abidin, tokoh ulama di Kota Probolinggo.
Dalam budaya Jawa (kekhalifahan/kerajaan Mataram Islam) tradisi Rabu terakhir bulan safar ini diakomodir dalam tradisi Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan. Berbagai macam aktivitas islami hadir dalam tradisi Rebo Wekasan di masyarakat Jawa, dari mulai berkumpul untuk tahlilan (zikir bersama), berbagi makanan baik dalam bentuk gunungan maupun selamatan, sampai sholat sunnah lidaf’il balaa bersama, serta pawai obor dan berebut air suci.
Shalat sunnah memohon ampun dari bala bencana (lidaf’il balaa) jamak dilakukan oleh pengikut Jamiyyah Nahdlatul Ulama di Indonesia dan dunia. Walau dalam khasanah pemikiran NU sendiri shalat ini diterima dengan baik dan memodifikasi/meluruskan ajaran Islam-Kejawen yang memelencengkannya menjadi Sholat Rebo Wekasan.
KH Hasyim Asy’arie pendiri NU juga pernah berfatwa, tidak boleh mengajak atau melakukan sholat Rebo wekasan karena hal itu tidak ada syariatnya. KH Mustofa Bisri (Gus Mus) berfatwa kalau di kampung-kampung masih ada orang yang menjalankan sholat Rebo Wekasan, ya niatnya saja yang harus diubah.
“Jangan niat sholat Rebo wekasan, tapi niat sholat sunat gitu saja, atau niat sholat hajat walau hajatnya minta dijauhkan dari bala’, pokoknya jangan niat sholat Rebo wekasan karena memang nggak ada dasarnya. Dan kepada mereka yang jadi panutan masyarakat harus menjelaskan soal ini,” katanya. [Wiwit Agus Pribadi]

Tags: