Tragedi 1998 Banyuwangi dan Roman Penari Gandrung

Judul : Perempuan Bersampur Merah
Penulis : Intan Andaru
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, 1 Januari 2019
Tebal : 216 halaman
ISBN : 978-602-062-196-8
Peresensi : Ratnani Latifah
Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara 

Tahun 1998, bisa dibilang sebagai mimpi buruk bagi Indonesia. Di mana pada tahun itu, banyak sekali tragedi yang merenggut nyawa warga Indonesia, yang sampai kini masih menyisakan pesakitan dan ketidakadilan bagi para keluarga korban. Misalnya kerusuhan bulan Mei 1998 yang melibatkan etnis Tionghoa di Indonesia. Ada pula penculikan dan pembunuhan terhadap para aktivis. Selain itu, ada pula teror ninja, yang membantai para guru mengaji, kiai dan dukun santet. Salah satunya terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur.
Novel ini mengambil tema tentang tragedi 1998. Akan tetapi di sini penulis dan juga dokter yang lahir di Banyuwangi ini, lebih condong membahas tentang isu dan pembataian dukun santet yang terjadi di Banyuwangi. Di sini penulis mencoba menggambarkan bagaimana keadaan warga desa, selama isu dan teror itu berlangsung, serta kisah keluarga yang menjadi korban pembantaian.
Dengan paparan gaya bahasa yang lugas dan mudah dipahami, penulis mampu menggiring pembaca untuk menyelesaikan kisah ini sampai akhir. Apalagi penulis menggunakan alur maju mundur yang menjadikan daya tarik tersendiri dari kisah ini. Sudut pandang orang pertama tokoh, juga membuat kisah ini, tidak mudah ditebak bagaimana jalinan cerita ini akan berakhir. Kisahnya sarat akan makna, memuat unsur budaya, isu konflik sosial serta lokalitas yang kental.
Kisahnya sendiri fokus pada kehidupan Sari. Dia merupakan keluarga korban dari pembantaian tahun 1998. Kala itu bapaknya dituduh sebagai dukun santet dan dihakimi massa hingga tewas. Padahal bapak Sari hanyalah seorang suwuk yang gemar membantu warga kampung. Biasanya dia membantu menyembuhkan anak-anak yang diganggung makhluk halus dengan air putih dan doa. Dia tidak pernah mengirim teluh atau apa pun sebagaimana yang diprasangkakan oleh warga kampung. Tidak hanya bapaknya Sari, Pak Muhidin, teman Bapak Sari, juga dibunuh beserta anak istrinya (hal 59).
Akibat pembataian itu hidup Sari pun berubah. Tidak hanya kehilangan sosok bapak, dia juga harus kehilangan paman sekeluarganya-yang memilih meninggalkan kampung karena stigma dari masyarakat. Sedangkan Sari dan ibunya harus berjuang untuk menyambung hidup juga menghadapi pandangan negatif dari masyarakat. Apalagi Sari saat itu masih duduk di bangku sekolah dasar.
Kenangan pahit itu ternyata tidak mudah dilupakan oleh Sari. Bersama dua sahabatnya, Rama dan Ahmad, mereka mencoba mencari jawab atas kematian bapaknya. Sari mencoba menyelidiki nama-nama orang yang terlibat dalam pembantaian bapaknya. Pencarian jawaba itu,kemudian membawa Sari terlibat pada seni tari gandrung. Dalam berjalannya waktu Sari mulai menikmati latihan tari dan serius menjadi penari gandrung. Di sana dia belajar banyak hal-dari cara menari yang baik, juga perbedaan penari gandrung dan gandrung. Tidak ketinggalan adalah pandangan masyarakat terhadap seni tersebut.
“Seni gandrung dulu diterima dan disukai masyarakat. bahkan sering diundang sehari semalam untuk tanggapan dalam berbagai syukuran. Namun berjalannya waktu seni gandrung dianggap sebagai pengundang birahi, karena pakaiannya yang terlalu seski dan juga disangkutpautkan dengan ilmu santet pengasihan dan memicu munculnya kemaksiatan.” (hal 132).
Pada titik inilah, ketika Sari sudah memasuki usia remaja, benih-benih cinta mulai tumbuh. Di mana kisah cinta itu tidak jauh dari sekelilingnya. Persahabatan yang sudah terbangun sejak kecil antara Sari, Rama dan Ahmad, ternyata berakhir menjadi cinta segitiga yang cukup pelik.
Membaca kisah ini kita seperti merasakan tentang bagaimana situasi mencekam yang tengah terjadi di Banyuwangi. Bagaimana ketakutan warga dengan adanya ninja-ninja yang sering muncul juga kesedihan yang dirasakan oleh para korban. Belum lagi sampai sekarang tidak terungkap siapa oknum yang telah membinasakan banyak korban tersebut. Secara keseluruhan novel ini sangat menarik ditutup dengan ending yang tidak terduga, kita akan menemukan banyak sensasi ketika membacanya.
Melalui kisah ini kita bisa belajar tentang kearifan lokal budaya Banyuwangi. Di sisi lain kita bisa belajar tentang bagaimana cara menyikapi sebuah masalah, bersikap sabar dan tidak mudah menyerah.

———— *** ———–

Tags: