Tragedi Kelalaian Kerja

Foto Ilustrasi

Tragedi kecelakaan (kecerobohan) kerja merenggut 48 jiwa pekerja, dan puluhan lainnya terluka bakar. Menjadi kecelakaan kerja paling tragis di Indonesia selama se-abad terakhir. Pabrik mercon (kembang-api) di Kosambi, Tangerang (Banten), nyata-nyata melalaikan keselamatan kerja. Serta melabrak berbagai undang-undang (UU), sekaligus melanggar HAM (Hak Asasi Manusia). Pemerintah (dan daerah) wajib lebih sigap melindungi buruh pabrik. Terutama yang berpotensi kecelakaan kerja.
Tetapi selalu ada hikmah dibalik musibah. Itu pula yang terjadi Hikmahnya, perusahaan mercon di Kosambi (Tangerang, Banten) menyimpangi berbagai peraturan. Terutama melanggarundang-undang (UU) Nomor 13 tahun 2003 tentangKetenaga-kerjaan. Berdasar audisi Komnas HAM, pabrik yang menyimpan banyak bahan peledak,juga terindikasi kuat melanggar HAM.
Bahkan konon, kecelakaan kerja meledaknya pabrik kembang-api di Kosambi, menjadi yang terbesar sepanjang sejarah. Kecuali dikalahkan oleh kerja tanam paksa. Menilik suasana kerja dan faktor K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja), mirip dengan sistem kerja rodi (paksa). Begitu pula pola peng-upahan yang jauh berada dibawah UMR (Upah Minimum Regional). Kerja rodi, diberlakukan gubernur jenderal Herman Willem Daendels, mulai tahun 1808.
Jumlah korban jiwa akibat kerja, tercatat paling besar di dunia. pada masa gubernur jenderal Daendels. Saat itu Daendels, memulai kerja rodi (paksa) pembangunan jalans sepanjang 1.100 kilometer. Kelak diberi nama “Jalan Pos,” terbentang dari ujung barat pulau Jawa, Anyer (Banten) sampai ujung timur di Panarukan, Situbondo, Jawa Timur. Jumlah korban, menurut catatan sumber di Inggris, mencapai 12 ribu jiwa. Namun dipastikan lebih banyak.
Kecelakaan kerja di Kosambi, Tangerang, dapat dijadikan titik-balik pengawasan perburuhan, dan pengawasan K-3. Beberapa regulasi yang berkait, adalah UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenaga-kerjaan, serta UU Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Walau sebenarnya, UU tentang K-3 telah menjadi kewajiban, dan telah dikampanyekan sejak empat dekade silam. Jargon, “Utamakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja,” telah terpampang hampir di seluruh pabrik.
Kenyataannya, banyak pabrik (dan industri skala menengah dan besar) melanggar aturan UU tentang K-3. Dalam UU 1 tahun 1970, pasal 2 ayat (2) angka ke-2, disebutkan berlakunya asas wajib keselamatan kerja. Yakni “dalam tempat kerja dibuat, diolah, dipakai dipergunakan, diperdagangkan, diangkut atau disimpan bahan atau barang yang dapat meledak, mudah terbakar, menggigit, beracun, menimbulkan insfeksi, bersuhu tinggi.”
Pengawasan ketenaga-kerjaan, hingga kini sangat lemah. Karena jumlah aparat pengawasan, sangat tidak memadai.Secara nasional, jumlah pengawas ketenagakerjaan sebanyak 1.500-an orang. Sedangkan kebutuhan pengawas secara nasional (untuk 415 kabupaten dan kota) mencapai 4.600-an orang. Berdasar data Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker).Saat ini, seorang pengawas bekerja untuk 400 perusahaan.
Maka pengawasan dilakukan seadanya. Tak jarang, pengawas hanya sekadar mampir untuk mengambil “honor” pengawasan di perusahaan. Seluruh proses produksi (dan manajemen usaha) dicatat oleh pengawas dengan laporan “baik.” Sehingga kasus-kasus upah muruh, pekerja di bawah umur, dan keselamatan kerja, bagai pepatah bara api dalam sekam. Nampak hanya asap, dengan api yang tersembunyi.
Padahal sejatinya, Indonesia sangat memuliakan fungsi kinerja buruh. Antaralain termaktub dalam konstitusi dasar. UUD pasal 27 ayat (2), menyatakan “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagikemanusiaan.” Bahkan karena strategisnya urusan ketenaga-kerjaan, amanat UUD diulang lebih lex specialist, dikelompokkan dalam bab HAM, pasal 28D ayat (2).
Tetapi berbagai peraturan seolah-olah mandul, karena tak pernah dikawal secara baik. Perusahaan yang tetap bandel, tidak pernah diberi sanksi, karena longgarnya pengawasan.

——— 000 ———

Rate this article!
Tragedi Kelalaian Kerja,5 / 5 ( 1votes )
Tags: