Tragedi Kemanusiaan Sorong

Tragedi kemanusiaan terjadi di Sorong (Papua Barat), merenggut 18 korban jiwa yang terbakar di tempat hiburan malam. Pembakaran tempat hiburan malam sebagai buntut pertikaian dua kelompok warga, dua hari sebelumnya. Aparat negara seolah-olah “kecolongan” gagal mengendalikan ke-brutal-an masa. Pemerintah Daerah Sorong, Polri, dan TNI, niscaya akan menjadi penanggungjawab dampak tragedi. Begitu pula tokoh adat (dan tokoh agama) patut meningkatkan dakwah ke-saleh-an sosial.

Kebrutalan yang berujung tragedi kemanusiaan di Sorong, tak boleh dianggap sepele dan remeh-temeh. Melainkan harus ditelusur, dan diusut tuntas. Patut diduga kebrutalan di tempat hiburan malam, disebabkan kebiasaan menenggak minuman beralkohol. Tak dapat dipungkiri masih menjadi kebiasaan buruk sebagian masyarakat. Maka seluruh tokoh masyarakat, terutama kalangan tokoh agama, dan pelatih seluruh cabang olahraga, bisa membantu mengikis kebiasaan menenggak minuman ber-alkohol.

Minuman ber-alkohol (pabrikan, dan olahan tradisional) disajikan dalam acara jamuan keluarga. Minuman keras dengan kadar alkohol tinggi (lebih dari 5%), sebenarnya patut disejajarkan dengan narkotika, dan sejenis psikotropika. Berdasar UU Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika, definisi sangat mirip dengan minuman beralkohol tinggi. Yakni, menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Berdasar hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2020, belanja miras nasional mencapai Rp 5 trilyun setahun. Ironisnya, sebagian besar belanja miras tidak tercatat, karena tergolong miras tradisional. Serta dilakukan pada pasar gelap. Selain Papua Barat (dan Papua), beberapa daerah tergolong gemar belanja miras. Yakni, Sumatera Utara (tertinggi), disusul Nusa Tenggara Timur (NTT). Tiada prestasi bisa diukir dengan minuman keras.

Seluruh dunia, memandang ke Sorong (Papua Barat), berkait pembakaran tempat hiburan malam (Senin malam). Api berkobar selama beberapa jam hingga menghanguskan tempat hiburan malam, tetapi tiada petugas yang datang. Konon petugas terhalang menuju tempat kejadian perkara (TKP). Sampai api membakar 18 orang yang berada di dalamnya. Titik lokassi TKP bagai menjadi arena “perang” yang berkobar. Jiwa bagai tidak berharga.

Sangat ironis, karena hak hidup dan mempertahankan kehidupan dijamin konstitusi sebagai hak asasi manusia (HAM). UUD pasal 28G ayat (1), menyatakan, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Secara tekstual, konstitusi juga memberi mandat urusan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat kepada institusi negara yang terpercaya. UUD pasal 30 ayat (4), dinyatakan, “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.” Selama ini Polri telah berprestasi menindak tegas terorisme, terutama Densus 88. Sampai menjadi target musuh utama teroris.

Polri juga sangat berpengalaman menangani kebrutalan masa. Termasuk yang “paling masif,” kerusuhan 22 Mei 2019, di Jakarta. Berkait pengumuman hasil :Pemilihan Presiden (Pilpres). Terdapat korban jiwa sebanyak 9 orang. Tetapi saat itu Polri yang bertugas tidak dibekali peluru tajam. Pelaku kerusuhan membawa busur panah, petasan, dan bom molotov. Banyak kendaraan bermotor dibakar masa. Pelaku yang ditangkap barbau minuman keras.

Mabuk miras sering di-analogikan sebagai “induk” tindak pidana. Juga induk keterbelakangan ekonomi, dan ketertinggalan prestasi berbagai bidang. Bahkan menurut Gubernur Papua, Lukas Enembe, sebesar 22% kematian di tanah Papua disebabkan konsumsi minuman keras.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: