Tragedi Pilu Dunia Kesehatan

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya 

Dunia kesehatan baru-baru ini dihebohkan dengan kasus pelecehan seksual terhadap pasien wanita yang dilakukan oleh oknum perawat di salah satu rumah sakit swasta ternama di Surabaya. Siapa yang menduga bahwa kejadian singkat dapat menimbulkan bak bencana kemanusiaan di bidang layanan kesehatan. Lagi-lagi kejadian itu bermula dari aduan pasien atas kejadian yang sangat memilukan tersebut yang secara viral di media sosial. Pesatnya media komunikasi dan kecanggihan teknologi kini menjadi salah satu media yang efektif dalam penyebarluasan berita atau suatu kejadian apapun, apalagi yang terkait kepentingan layanan kesehatan. Secara karakteristik dunia kesehatan terutama di layanan kesehatan seperti rumah sakit memang sebagai salah satu segmen yang rawan terjadi tindak pelanggaran pelecehan seksual.Kondisi tersebut sangat wajar bila dihubungkan dengan sifat layanan kesehatan yang asymetris dimana pasien sebagai user dalam kondisi yang selalu lemah, tak berdaya dan diharuskan mengikuti setiap prosedur tindakan.
Hal ini diperlukan semata-mata untuk menghasilkan diagnostik, pengobatan atau layanan medis yang optimal sehingga pada akhirnya dapat memberikan kesembuhan bagi pasien. Di setiap profesi tenaga kesehatan tentu memiliki standar, norma dan etika profesi dimana mengacu pada prinsip-prinsip kemanusiaan terutama kepentingan pasien yang harus dijunjung tinggi dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik. Dalam konteks kasus tersebut kembali aspek moral personality (moral hazzard) oknum perawat tersebut menjadi kata kunci terjadinya pelanggaran etis dan mungkin juga pelanggaran pidana. Di sisi lain, manajemen rumah sakit sebagai institusi penyelenggara atas setiap layanan kesehatan dan tindakan medis tentu sudah memiliki prosedur dan standar tata kelola setiap lini pelayanan, termasuk norma dan etika ketat bagi setiap tenaga/pelaku layanan. Kejadian ini secara “institusional” rumah sakit ikut terkena dampak “bencana kemanusiaan” tersebut sehingga tindakan tegas perlu segera diwujudkan sehingga citra rumah sakit tidak turut mengalami stigma buruk yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas layanan dan nama baik kelembagaan termasuk tata kelola manajemen perumahsakitan.
Keberadaan dan peran ikatan profesi yang menaungi juga harus memberikan tindakan tegas atas dugaan anggota yang diduga melakukan pelanggaran etika profesi dan jika terbukti ada pelanggaran pidana pihak berwajib (kepolisian) wajib melakukan penanganan atas oknum perawat tersebut. Bagi rumah sakit perlu dipertimbangkan aspek norma dan etis terkait ketersediaan tenaga kesehatan sebagai subyek pelayanan. Pada jenis layanan tertentu atau tindakan atas penyakit yang bersifat spesifik terutama menyangkut aspek privasi dan kerahasiaan seorang pasien terlebih kaum wanita.Memang sudah menjadi hak pasien atau keluarga pasien untuk memilih tenaga kesehatan (medis) yang tersedia di rumah sakit atau layanan kesehatan sehingga pihak rumah sakit perlu mempertimbangkan ketersediaan tenaga tertentu (berdasarkan jenis kelamin misalnya) sehingga secara kebijakan manajemen rumah sakit dalam rekrutmen tenaga kesehatan mengakomodir kecukupan tenaga kesehatan yang sesuai dengan preferensi tingkat kebutuhan medis dan etis bagi pasien.
Sebagai contoh profesi perawat yang notabene dapat dilakukan oleh perawat laki-laki maupun perempuan. Hal ini berbeda dengan tenaga bidan misalnya yang spesifik untuk menangani seputar permasalahan kodrat kewanitaan seperti kehamilan, persalinan maupun pasca persalinan (nifas). Dalam konteks perawatan memang seharusnya kebutuhan suatu layanan kesehatan atas tenaga kesehatan perlu mempertimbangkan aspek indikasi klinis, spesifikasi tindakan sesuai preferensi penyakit. Selain aspek norma dan etis juga mempertimbangkan aspek relegiusitas kelompok masyarakat. Agama Islam misalnya, secara syariat pasien perempuan semestinya ditangani oleh tenaga kesehatan (medis maupun paramedis) yang sejenis sehingga memunculkan kenyamanan dan ketenangan bagi pasien. Bukankah salah satu aspek yang dibutuhkan dalam layanan kesehatan adalah kenyamanan dan ketenangan sehingga sugesti kesembuhan dapat lebih cepat dicapai. Kondisi ini jika ditarik garis kebijakan makro adalah bagaimana Kementerian Kesehatan memberikan guidance atas pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia kesehatan yang mengakomodir tingkat kecukupan rasio dan kriteria penyakit serta layanan tertentu.
Berbicara masalah tenaga kesehatan adalah problem klasik dan pelik dalam bidang kesehatan dari tahun ke tahun. Jangankan untuk memenuhi kualitas, mencukupi dari sisi jumlah saja masih belum sesuai dengan standar yang dipersyaratkan oleh Badan Kesehatan dunia (WHO). Saat ini rasio kecukupan tenaga kesehatan terhadap masyarakat masih jauh dari ideal. Berdasarkan data rata-rata rasio dokter di Indonesia adalah 45 per 100.000 penduduk, dokter spesialis 13,6 per 100.000 penduduk, perawat 170 per 100.000 penduduk dan bidan 162 per 100.000 penduduk (sumber : Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia Agustus 2016). Harus diakui, bidang kesehatan memiliki berbagai jenis profesi atau rumpun kesehatan dan manajemen sumber daya manusia kesehatan yang sangat kompleks. Secara rumpun jenis profesi kesehatan antara lain: dokter, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga farmasi, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan (sanitarian), tenaga gizi (nutrisionis), tenaga epidemiologis, analisis kesehatan, radiologi, rehabiltasi medis (fisioterapi), tenaga elektromedik dan lain-lain dimana memiliki spesifikasi dan jenjang yang berbeda-beda. Selain itu, kompleksitas permasalahan SDM kesehatan yang acapakali muncul seperti belum optimalnya peningkatan kualitas tenaga kesehatan, penyebaran yang tidak merata antar wilayah, kuantitas (jumlah) yang masih belum memadai atau standar serta penguatan atas peran organisasi profesi.

———- *** ————

Rate this article!
Tags: