Tragedi Tunisia dan Kewaspadaan Indonesia

zainulOleh :
M. Syaprin Zahidi, M.A.
Dosen Pada Prodi Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang. Penerima Grant penelitian dari European Commission melalui Erasmus Mundus one more step project di University of Trento, Italy)

Sabtu (27/6) dunia internasional digegerkan oleh kejadian di Tunisia ketika seorang pria yang menaiki speedboat memberondong tembakan kearah para turis yang sedang berwisata dikawasan pantai Hotel The Riu Imperial Marhaba (Banjarmasin Post, 2015). Pria yang menembak tersebut adalah seorang mahasiswa jurusan tekhnik elektro di Tunisia yang di identifikasi bernama Saifeddine Rezgui dan usianya baru 23 tahun. Walaupun belum diketahui ada keterkaitannya atau tidak dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) namun ISIS menyebut mereka bertanggung jawab dengan kejadian tersebut tapi menyebut nama pelakunya sebagai Abu Yihya Al-Kairouni.
Hal yang penting dan harus kita sadari menurut penulis berdasarkan kejadian tersebut adalah sel-sel terorisme ternyata belumlah habis. Kita tentu masih ingat beberapa bulan yang lalu ada beberapa warga negara Indonesia (WNI) yang ditahan oleh pemerintah turki dan dipulangkan ke Indonesia karena dicurigai ingin bergabung dengan kelompok ISIS atau beredarnya beberapa video WNI yang menyatakan bergabung dengan ISIS tapi sepertinya masih dianggap angin lalu oleh pemerintah.
Menurut penulis jangan sampai kita menunggu terjadinya kejadian yang menggemparkan seperti di Tunisia baru pemerintah kita bertindak. Jangan sampai terjadi lagi tragedi bom bali cukuplah sudah bom bali 1 dan 2 menjadi alarm bagi pemerintah kita untuk selalu waspada pada kemungkinan-kemungkinan teror yang akan terjadi di Indonesia. Mantan Kepala BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) Ansyaad Mbai dalam suatu acara talk show di salah satu stasiun televisi swasta Indonesia menjabarkan bahwa sebelum terjadinya bom bali 1 sebenarnya mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew pernah mengingatkan Indonesia bahwa ada ancaman teror di Indonesia tapi banyak yang tidak percaya sampai pada akhirnya terjadilah bom bali 1.
Dalam wawancara tersebut juga Ansyaad Mbai menjabarkan bahwa Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara seperti Malaysia dan Singapura dalam perundang-undangannya yang berkaitan dengan terorisme masih terlalu longgar. Ansyaad Mbai memberikan contoh di Malaysia mereka memiliki beberapa peraturan pemerintah yang khusus menangani terorisme yaitu terrorism act dan juga peraturan khusus mengenai penanggulangan ISIS dimana pemerintah Malaysia memiliki kewenangan untuk menangkap pelaku walaupun belum ada bukti dan masih dalam dugaan. Suatu hal yang menurut Ansyaad Mbai akan sangat sulit diberlakukan di Indonesia karena para aktivis HAM tentunya akan mengkritik pemerintah Indonesia jika menerapkan kebijakan yang sama seperti di Malaysia.
Kebijakan Pemerintah
Lalu apa yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah Indonesia agar apa yang terjadi di Tunisia jangan sampai terjadi di Indonesia. Karena tindakan terorisme itu tentunya akan merugikan banyak pihak baik itu pemerintah maupun masyarakat bukan hanya dalam aspek keamanan saja tapi bisa menjalar ke berbagai aspek lainnya seperti pariwisata, investasi dan masih banyak aspek lainnya. Patut kita catat kita sudah pernah mengalami ini paska terjadi bom bali 1 dan 2 dimana perekonomian menjadi lesu karena para investor takut untuk berinvestasi di Indonesia.
Hal yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah Indonesia menurut hemat penulis adalah meninjau kembali perundang-undangan terorisme kita yang masih longgar jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga dan tentunya juga memberikan pemahaman kepada masyarakat kita akan pentingnya undang-undang tersebut untuk segera direvisi agar memiliki porsi yang sama dengan negara-negara tetangga kita di Asia Tenggara karena memang harus disadari bahwa dalam sejarahnya negara-negara di Asia Tenggara tidak pernah bisa dilepaskan dari lingkaran terorisme.
Damian Michael Greenwood dalam tesisnya di University of Hongkong, Department of Sociology menyatakan bahwa di Asia Tenggara dalam sejarahnya memang tidak bisa dilepaskan dengan banyak aksi terorisme  di teritorial wilayahnya. Negara-negara seperti Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia dan Singapura, merupakan negara-negara yang memiliki sejarah terorisme di masa lalu. Misalkan, Indonesia yang dalam sejarahnya pernah mengalami pemberontakan dari Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/NII)  yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo di Jawa Barat tahun 1949.
Hal yang sama juga terjadi pada negara-negara seperti Filipina, Thailand, Malaysia dan Singapura. Di Filipina sendiri terdapat beberapa organisasi-organisasi yang secara historis melakukan pemberontakan terhadap pemerintahnya diantaranya adalah Abu Sayyaf Group (ASG), Gang Pentagon, New People’s Army (NPA) serta Moro Islamic Liberation Front (MILF). Thailand juga memiliki sejarah yang panjang ketika membahas tentang terorisme. Organisasi-organisasi teroris yang ada di Thailand adalah War Ka Raeh (WKR) dan Guragan Mujahadin Islam Pattani yang memiliki hubungan dengan Jama’ah Islamiyah. Organisasi lainnya yang cukup besar adalah Pattani United Liberation Organization (PULO) yang memiliki hubungan dengan Abu Sayyaf Group di Filipina.
Malaysia dan Singapura juga dalam sejarahnya banyak menghadapi gerakan teroris didalam negerinya masing-masing. Malaysia misalnya negara ini menghadapi ancaman teroris didalam negaranya dari Kamputan Mujahadin Malaysia (KMM) begitu juga dengan Singapura, namun hal yang unik terjadi di Singapura negara ini relatif tidak memiliki organisasi teroris yang muncul di Teritorialnya. Namun, Teritorial dari Singapura sering menjadi tempat terjadinya aksi terorisme. Serangan terhadap Kedutaan Amerika Serikat, Israel, Inggris serta kantor Caltex Oil Company menjadi bukti juga bahwa teroris berkembang di negara ini. Aksi teroris di negara ini banyak dilakukan oleh anggota dari Jama’ah Islamiyah yang dipicu oleh kedekatan hubungan Singapura dengan Amerika Serikat.
Hal tersebutlah yang menyebabkan Kawasan Asia Tenggara paska peristiwa 9/11 menjadi kawasan yang sangat diperhatikan oleh Amerika Serikat. Bahkan timbul sebutan kawasan ini menjadi Second Front  bagi Amerika Serikat dalam memerangi terorisme. Perhatian Amerika Serikat pada Asia Tenggara tidak bisa dilepaskan dari timbulnya gerakan-gerakan radikal islam di kawasan ini. khususnya Jama’ah Islamiyah yang memiliki hubungan dengan Al-Qaeda. Jaringan ini dianggap mengancam stabilitas politik yang ada dikawasan tersebut dan memiliki tujuan untuk merubah sistem pemerintahan yang ada dengan membentuk negara Islam yang meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina Selatan dan Thailand Selatan.
Kondisi Asia tenggara dan Indonesia sebagaimana penjabaran Damian Michael Greenwood tersebut menurut penulis menjadi suatu alasan yang sangat rasional bagi pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan kebijakan yang bersifat preventif dengan merevisi undang-undang terorisme yang ada agar memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah dalam memberantas sel-sel terorisme ini. Semoga tragedi di Tunisia jangan sampai terjadi di Indonesia.

                                                                                                                  ———- *** ———–

Tags: