Transliterasi Buku, Jendela Peradaban Indonesia

Ardian MahardikaOleh :
Ardian Mahardika
Penerima Beasiswa Unggulan Tahfidz Monash Institute, Aktivis Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Semarang

Keilmuan suatu bangsa mempengaruhi tingkat peradabannya. Banyak bangsa menjadi bangsa super power dan mencapai puncak kejayaan dengan pengembangan di bidang tersebut. Di antaranya Mesir, Yunani, Cina, Romawi, Abasiyyah di Baghdad, Majapahit di Indonesia, Jepang dan Amerika Serikat. Mereka menerjemahkan buku-buku luar negeri kemudian mempublikasikannya baik secara gratis atau harga murah. Pada tahap berikutnya, masyarakat yang telah menyerap kandungan buku mengeksplorasi kembali pengetahuannya, lalu melahirkan karya yang lebih banyak dan budaya baru. Sehingga peradaban mereka segera mencapai masa keemasan oleh karena perkembangan pengetahuan yang super cepat.
Budaya baca tulis juga telah menghantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan secara legal formal. Sejarah mengisahkan bahwa para tokoh kemerdekaan Indonesia seperti Soekarno, Sutan Syahrir, Ki Hajar Dewantoro dan Moh. Hatta sangat gemar membaca. Mereka mampu menyelesaikan rata-rata 1-2 buku perhari. Bahkan, kecintaan Moh. Hatta pada buku menjadikan buku karangan beliau “Alam Pikir Yunani” dijadikan sebagai hadiah pernikahan pada istri beliau.
Seorang sosiolog dan futurolog, Alvin Toffler, mengatakan bahwa, “Di masa yang akan datang, orang yang buta huruf bukan semata-mata menjadi orang yang tidak dapat membaca. Ia (juga) akan menjadi orang yang tidak tahu bagaimana cara ia belajar”. Maka, orang yang tidak mengerti bahasa asing akan sulit untuk menyerap hal baru dari luar daerahnya. Sedangkan menurut realitas, banyak masyarakat Indonesia yang masih buta bahasa asing baik secara tekstual atau verbal. Ketergantungan pada bahasa ibu (bahasa Indonesia) masih sangat membudaya. Hal ini mempengaruhi perkembangan peradaban Indonesia menjadi lamban. Akibatnya, Indonesia menjadi terbelakang dalam kancah persaingan internasional.
Para ahli melakukan penelitian global yang dirangkum dalam laporan The Good Country Index. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hal-hal positif yang mempengaruhi kemajuan suatu negara. Hasil penelitian tersebut menempatkan Indonesia di peringkat 122 dari 125 negara untuk katagori “pengembangan sains dan teknologi”. Keterbelakangan ini timbul, karena Indonesia belum segera bervariasi dalam produk, yang salah satu caranya dengan mencari referensi dari berbagai buku. Padahal negara-negara maju telah sejak lama membudayakan membaca, hingga aktivitas membaca menjadi kebutuhan. Maka tidak mengherankan bila produk negara lain lebih variatif, inovatif, dan cepat berkembang.
Indonesia membutuhkan referensi lebih luas dari dalam maupun luar negri demi menciptakan variasi baru dalam persaingan global ini. Adapun referensi luar, masyarakat dapat memperoleh dari buku terjemahan. Namun, penterjemahan buku di Indonesia masih terhitung minim dibandingkan negara lain.  Di Jepang misalnya, semua buku yang masuk ke Jepang wajib diterjemahkan ke bahasa lokal. Jadi, selain ada buku dalam teks asli, terdapat pula yang telah diterjemahkan ke bahasa Jepang. Sehingga penduduk yang belum mahir bahasa asing tetap dapat menyerap informasi dari luar. Tidak hanya di Jepang, mayoritas negara maju di dunia telah menggalakkan hal ini.
Namun, Secara fakta keberadaan buku terjemahan di Indonesia masih minim. Hal ini dikarenakan dua hal. Pertama, penerbit non-swasta dengan keterbatasan sumber daya hanya mampu menerjemah rata-rata 20 buku pertahun. Selain itu, penerbit swasta yang mendominasi di Indonesia lebih berkenan menerjemahkan buku-buku yang laku dan memberikan keuntungan komersial, seperti komik, novel atau bacaan Best Seller saja. Akibatnya, sedikit buku-buku yang bisa digunakan mahasiswa untuk bahan rujukan tugas di universitas. Kedua, royalti yang rendah untuk para penerjemah. Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) menjelaskan, tarif untuk penterjemahan per karakter adalah Rp. 5 – Rp. 15  atau Rp. 7500 – Rp. 20.000 per hamalan. Tergantung tingkat kesulitan teks dan negosiasi antara penerbit dan penerjemah. Padahal menerjemah buku terutama buku sastra, membutuhkan waktu berbulan-bulan. Ini berpengaruh kepada munculnya ‘penerjemahan kejar porsi’.
Bila penerjemah memaksimalkan hasil terjemahannya, maka semakin lama waktu yang ia butuhkan. Demi mempersingkat waktu dan semakin banyak porsi buku yang bisa diterjemahkan, beberapa oknum penerjemah hanya menerjemahkan teks dengan ala kadarnya. Sehingga isi dari buku tersebut susah dipahami pembaca. Ketentuan tarif ini masih sangat jauh dibandingkan tarif penerjemahan di Australia. Samuel-Brown Geoffrey dalam buku “A Practical guide For Translantor” menjelaskan, tarif standar penerjemahan di Australia yang dibayarkan biro Victorian Interpreting and Translating adalah $16.00 per 10 kata. Ini berlaku untuk proyek penerjemahan lebih dari 5000 kata. Sungguh fantastis!
Penawaran
Pemerintah sebaiknya menjadikan gerakan penerjemahan termasuk dalam agenda prioritas. Pemerintah yang ingin mengarahkan subsidi tepat sasaran bisa menambahkan sasarannya ke arah ini. Minimal terdapat tiga keuntungan dalam pengembangan penerjemahan. Pertama, percepatan pengetahuan luar masuk ke Indonesia bermanfaat pada percepatan eksplorasi gagasan dan meningkatkan SDM (Sumber Daya Manusia). Sehingga SDM Indonesia akan lebih siap bersaing di kancah internasional. Kedua, buku lokal yang diterjemahkan ke bahasa luar dapat menjadi media promosi kekayaan alam dan kemajemukan kultur tradisi di Indonesia. Sehingga dapat menarik wisatawan berkunjung ke Indonesia dan meningkatkan devisa negara. Ketiga, pendidikan Indonesia akan mudah berkembang. Sebab, referensi yang banyak mampu mewarnai dinamika sistem pendidikan Indonesia dan dapat menjadi rujukan pelajar atau mahasiswa mengembangkan suatu disiplin ilmu. Keadaan seperti ini akan menghantarkan generasi bangsa menjadi pakar-pakar di berbagai cabang keilmuan.
Kemajuan di berbagai sisi kehidupan ini dapat membawa penduduk Indonesia menuju tahap masyarakat sejahtera, adil, dan makmur, sebagaimana pesan Pembukaan UUD 1945. Tingkat kemapanan suatu bangsa berpengaruh pada martabat dan wibawanya. Dengan wibawa yang kuat, Indonesia dapat kembali menjadi ‘Macan Asia’. Wallahu A’lamu bi al showwab

                                                                                                             ————– *** ————-

Tags: