Transparansi Rumah Sakit Daerah

Karikatur BPJSRumah sakit milik pemerintah, kini sudah memulai era transparansi menjadi zona integritas. Sebagai BLUD (Badan Layanan Umum Daerah) dulu, pelayanannya sering dikeluhkan. Manajemen pelayanan medis maupun ke-administrasi-an bagai semau-gue. Yang paling menonjol, keluhan tentang antre tempat tidur rawat inap. Selalu dinyatakan penuh (untuk kelas tiga). Tetapi saat ini, RSUD Dr. Soetomo (sebagai BLUD utama di Jawa Timur), mengalami penurunan pasien rawat inap.
Penurunan pasien dengan status “hijau” di instalasi gawat darurat, merosot drastis. Begitu pula pasien “biru” (kegawatan yang mengancam jiwa), dan pasien “merah” (membutuhkan operasi) juga turun rata-rata sampai 20%. Pasien “biru” maupun “merah” sama-sama membutuhkan kamar untuk rawat inap. Sehingga menurunnya pasien rawat inap, berarti terjadi “lowongan” kamar dan tempat tidur. Mak lazimnya, antre kamar tidak terjadi lagi. Tidak boleh terjadi pasien ditolak karena ke-tiada-an kamar.
Menurunnya BOR (Bed Occupantion Rate, tingkat hunian), secara manajerial, berkonsekuensi menurunnya “omzet” rumahsakit. Penghasilan RSUD BLUD dari hunian kamar akan berkurang. Begitu pula penghasilan layanan medis, juga berkurang. Tetapi RSUD BLUD tidak akan pernah rugi. Karena sebagai BLUD, pengelolaan RSUD nyaris seperti BUMD. Penghasilannya inharent dengan intensitas layanan medis. Termasuk harga kamar, obat-obatan, serta jasa kerja tenaga paramedis.
Menurunnya tingkat kehadiran di RSUD BLUD, bisa menjadi tolok ukur derajat kesehatan masyarakat. Sekaligus lempangnya pelaksanaan UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Yakni, Faskes (fasilitas kesehatan) tingkat I, Puskesmas, wajib meningkatkan peran. Selain alat kesehatan yang lebih memadai, juga dilengkapi dokter spesialis, serta sarana rawat inap. Boleh jadi, masyarakat lebih memilih berobat ke faskes terdekat. Selain murah, juga mudah (tidak berbelit-belit).
Pada sisi lain terdapat 144 jenis diagnosis yang harus ditangani oleh Puskesmas. Termasuk diagnosis yang semestinya dilakukan oleh dokter spesialis. Misalnya, pneumonia dan bronkopneumonia, serta tuberkulosis (TBC) paru tanpa komplikasi (spesialis penyakit dalam). Begitu pula penanganan anemia defisiensi besi pada kehamilan, seharusnya ditangani dokter spesialis Obstetri ginekologi (Sp OG, kandungan).
Pelayanan tupoksi spesialis, lazimnya memerlukan peralatan khsusus. Untuk TBC misalnya, dibutuhkan pemeriksaan intensif tes Mantoux  selama 48 hingga 72 jam. Berarti harus rawat inap. Di Jawa Timur, beberapa Puskesmas dengan klasifikasi pelayanan rawat inap biasanya juga memiliki dokter spesialis. Tetapi dokter spesialis tidak selalu standby 24 jam di Puskesmas, karena dibutuhkan di tempat lain.
Di pedesaan Indonesia, TBC menjadi “pembunuh” nomor dua setelah stroke.  Dus, sebenarnya Puskesmas rawat inap di pedesaan lebih membutuhkan. Setiap hari terdapat 165 kematian karena TBC. Kenyataannya, sarana tes mantoux maupun dokter spesialis (penyakit dalam), sangat langka di pedesaan. Ini problem Puskesmas rawat inap, secepatnya harus memperbanyak dokter spesialis.
Meningkatnya peran (layanan) di Puskesmas, juga mengancam BPJS. Puskesmas lebih mudah dan lebih murah. Di Surabaya misalnya, berobat ke Puskesmas bisa gratis untuk seluruh warga Surabaya. Sebaliknya ke rumahsakit lain dengan BPJS, terasa lebih sulit. Bahkan karena sering kisruh, banyak peserta menarik diri dari program BPJS. Minat mengikuti program BPJS kini mulai menyurut.
Awalnya, masyarakat mengira bisa dilayani langsung oleh rumahsakit (RS) rujukan. Tetapi prosedur BPJS mewajibkan pelayanan awal pada faskes tingkat pertama. Bahkan rujukan juga dibatasi sebanyak 15%. Masyarakat kecele. Padahal hak masyarakat mestilah ditunaikan, walau tanpa kartu kesertaan BPJS. Sebagaimana dimandatkan UUD pasal 28H ayat (1), bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, … serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Itu kewajiban pemerintah, diantaranya menjamin transparansi rumahsakit, tidak menoilak pasien.

———   000   ———

Rate this article!
Tags: