Tren Kriminalisasi Media Massa Meningkat Setiap Tahun

Ketua PWI Jatim: Tak Berkenan dengan Tulisan, Gunakan Hak Jawab
Surabaya, Bhirawa
Kriminalisasi terhadap pekerja media terus menghantui. Bahkan tren tersebut terus meningkat di tengah lemahnya ‘tameng’ para jurnalis. Tidak hanya itu, tekanan kepada instansi media pun juga mengalami kenaikan lantaran tidak adanya mekanisme bantuan hukum.
Hal ini ditegaskan oleh Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Dr Herlambang P Wiratraman. Menurut dia, kriminalisasi kepada awak media akan terus terjadi dan cenderung meningkat setiap tahun dengan banyak faktor yang mempengaruhi. Dan pelaku teror bervariasi mulai dari institusi pemerintah, swasta hingga kelompok masyarakat sipil.
“Artinya media massa beserta wartawan rentan dikriminalisasi di tengah kondisi saat ini. Dan saya melihat perkembangan teror juga ada pergeseran, yang dulu dialamatkan lebih banyak ke wartawan abal-abal, sekarang wartawan profesional pun mengalami,” kata Herlambang saat dikonfirmasi, Kamis (20/7) kemarin.
Herlambang yang juga sebagai Ahli Hukum Pers ini menyebutkan bahwa risiko wartawan semakin tinggi ketika mengungkap kasus-kasus publik. Di tengah canggihnya teknologi, lanjutnya, intimidasi atau teror juga semakin variatif.  “Nah, persoalannya bagaimana memproteksi posisi wartawan. Ini yang harus dipikirkan lembaga pers,” terangnya.
Di samping itu proteksi juga perlu diberikan kepada nara sumber kredibel karena kontribusinya ikut menginformasikan penyimpangan untuk bahan koreksi ke depan. “Itu perlu dilakukan karena sekarang ini marak premanisme yang diorganisasi,” ujarnya.
Sementara, Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Surabaya Abdul Wachid mengatakan fenomena terkait kriminalisasi pers terus menunjukkan peningkatan. Pada 2016, kata Wachid, LBH Surabaya telah memberikan layanan konsultasi hukum terhadap 483 kasus.
“Jumlah ini jauh meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 388 kasus. Apalagi aksi teror dalam bentuk apapun sudah masuk dalam ranah pidana,” katanya.
Ditanya adanya insan media massa yang mendapatkan teror, kata Wachid, pihaknya bakal mendukung sepenuhnya karena pers sudah merdeka dan bebas intimidasi. “LBH mendukung, karena salah satu pemberangusan kebebasan pers harus ditindak tegas. Mekanisme Undang-Undang Pers kan ada hak jawab,” terangnya.
Terkait teror intimidasi yang dialami Pemimpin Redaksi (Pemred) Harian Bhirawa Nawang Esthi Lestari, kata Wachid, LBH Surabaya jelas siap mendukung. (BACA: Beritakan Keterlambatan Pengadaan Seragam, Pemred Harian Bhirawa Diteror) Bentuk dukungan tersebut yakni dukungan moril dengan ikut mendampingi jika yang bersangkutan berniat melaporkan ke pihak kepolisian. “Tidak hanya sampai di situ, kami mendorong pihak kepolisian dalam hal ini Tim Ciber Crime Polda Jatim untuk mengusut tuntas siapa pelaku dalam aksi teror ini,” tegas Wachid.
Dia menyebut pengancaman melalui SMS dapat dikategorikan ancaman melalui media elektronik, pelaku pengancaman dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 29 jo Pasal 45 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).  Pasal 29 UU ITE menyebutkan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.
Menurut Wachid, selama kurun waktu empat tahun terakhir, masyarakat pencari keadilan (justiciabelen) yang datang ke LBH Surabaya cenderung meningkat. Hal ini, lanjutnya, memang sudah diprediksi sejak tahun sebelumnya, melihat tren tiga tahun sebelumnya yang ada peningkatan. “Apalagi, saat ini LBH Surabaya sudah terverifikasi sebagai Organisasi Bantuan Hukum (OBH), meskipun dengan akreditasi C,” akunya.

Tags: