Try-Out dan Bimbel Intensif

Karikatur pendidikanSebulan (Maret) ini, hampir seluruh sekolah tingkat SLTP dan SLTA, menggeber try-out. Termasuk menghadirkan bimbel (bimbingan belajar) di sekolah, untuk siswa kelas IX dan kelas XII. Sedangkan lembaga bimbel, telah memulai “meng-karantina” peserta ajarnya. Semua fokus pada penyelenggaran UN (Ujian nasional) pada bulan April. UN tahun 2016, akan menjadi bersejarah, karena pertama kalinya menggunakan komputer.
Lembaga bimbel, masih menjadi andalan orangtua murid. Tujuannya, agar diperoleh nilai rata-rata ijazah (kelulusan) setinggi-tingginya. Sukses Usek (ujian sekolah), dan sukses UN. Nilai kelulusan yang tinggi akan lebih menjamin kesempatan berebut di sekolah favorit. Walau sebenarnya, lembaga bimbel merupakan “pesaing” guru sekolah. Semakin laris lembaga bimbel, in-harent dengan ketidak-mampuan guru sekolah.
Realitanya, harus diakui, peserta didik yang mengikuti bimbel nyata-nyata memiliki tingkat akademis lebih baik. Hal tiu disebabkan, jam belajar yang lebih panjang. Serta sistem belajar pada lembaga bimbel berbeda dengan pola belajar mengajar di sekolah. Pada lembaga bimbel lebih intensif, bahkan bisa dilakukan secara one by one. Paradigmanya, peserta ajar bimbel adalah “raja” (yang membayar) wajib dilayani.
Situasi proses belajar mengajar di sekolah, agaknya, perlu diperbaiki. Tak terkecuali sarana pendidikan (ruang kelas) lazimnya diisi tak lebih dari 25 siswa. Guru (terutama PNS) seharusnya di-revitalisasi, sesuai konsep ke-guru-an pada dekade sebelum 1970-an. Bukan sekadar petugas ajar. Melainkan meng-alur pada jargon Diknas: Tut wuri handayani. Yakni, pembimbing untuk meningkatkan daya (potensi) peserta didik.
UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, memiliki amanat terhadap guru. Pada pasal 40 ayat (2) huruf a, dinyatakan: “Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis.” Tidak ada guru killer, bukan guru yang hanya tex-book thinking. Guru wajib melayani murid, dan mengenali kendala anak didiknya. Nampaknya, fungsi guru telah digantikan oleh tutor bimbel, lebih sesuai amanat UU Sisdiknas.
Lebih ironis, manakala diselenggarakan “audit” uji kompetensi guru (UKG). Kenyataannya pada setiap UKG, sangat jarang guru memperoleh nilai 7. Artinya, kompetensi secara akademis guru sangat minimalis. Inilah yang menjadi olok-olok, bahwa guru memiliki “kesaktian.” Yakni, walau kompetensinya rendah, tapi bisa mencetak lulusan dengan nilai rata-rata UN lebih dari 8. Penyebabnya, konon sejak awal rekruitmen telah terjadi penyimpangan.
Maka wajar, bimbel menjadi pengharapan untuk meningkatkan kompetensi peserta didik. Peserta bimbel, rata-rata bisa memahami lebih baik materi soal UN, yang biasanya njelimet, bagai menggunakan bahasa planet lain. Namun pada ujungnya, akan terjadi ketidak-adilan kependidikan. Karena murid dari golongan ekonomi lemah, tidak mampu mengikuti bimbel. Kecuali harus ekstra-keras belajar, secara per-orangan maupun kelompok.
Hanya sekitar 30% peserta UN yang pernah mengikuti bimbel berbayar mahal. Namun syukur, dipastikan seluruh siswa SLTP dan SLTA telah “melek” komputer. Tidak ada lagi kertas soal ujian maupun lembar jawaban, melainkan tampilan monitor. Ini (mestinya) memudahkan dan meringankan peserta UN maupun pemerintah.
Karena itu diperlukan try-out masif, juga persiapan komputer yang menjamin kelancaran UNBK. Peserta UNBK diuntungkan karena tidak perlu membawa alat tulis. Juga semakin mudah untuk meng-ganti jawaban yang dirasa lebih tepat. Pemerintah juga diuntungkan, karena bisa menghemat ongkos cetak. Serta biaya distribusi materi soal ujian. UNBK, konon, menghemat 50% anggaran (Rp 290 milyar), dibanding UN berbasis kertas (Rp 580 milyar).
Tetapi sukses UN, bukan pada penghematan pemerintah, melainkan pada nilai rata-rata UN. Altar pendidikan meyakini, bahwa sukses UN hanya bisa diraih melalui intensif belajar dan berdoa.

                                                                                                              ———   000   ———

Rate this article!
Tags: