Tsunami Selat Sunda

Tanjung Lesung, di kawasan Anyer di Pandegelang (Banten), tiba-tiba disergap ombak setinggi 3 meter. Gelombang laut sampai melahap panggung hiburan band Seventeen. Sabtu malam (bertepatan dengan hari Ibu), BMKG menyatakan gelombang tinggi bukan tsunami. Karena tidak ada getaran gempa bumi yang tercatat pada seismograf. Tetapi masyarakat secara naluri berusaha menyelematkan diri. Namun masih banyak wisatawan lokal tetap berdiam di dalam kamar hotel.
Setelah berselang malam menjadi siang, BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika), menyatakan gelombang laut yang menyergap pantai Anyer, bukan hanya rob (air laut pasang), melainkan juga tsunami. Penyebabnya diduga erupsi gunung Krakatau. “Pengakuan” (deteksi analisa) adanya tsunami, terkesan terlambat. Setelah jumlah korban jiwa telah mencapai 222 orang (kini telah lebih 280), sekitar 900-an orang terluka. Juga masih puluhan orang dinyatakan hilang.
Tsunami, bagai “menyusup” tanpa tanda-tanda! Bahkan konon, PVMBG, masih perlu meneliti lebih lanjut. Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), juga belum memastikan erupsi anak gunung Krakatau yang menjadi penyebab tsunami. Karena masih berstatus waspada. Aktifitas anak gunung Krakatau, telah terpantau sejak bulan Juni (2018), sering erupsi mengeluarkan batuan pijar dari magma. Erupsi pada Sabtu malam, diduga menyebabkan longsor di bawah laut. Itu yang memicu tsunami.
Maka harus diakui, tragedi di Ujung Kulon, Banten (pada libur panjang akhir pekan), sangat kekurangan informasi (dan mitigasi) bencana. Terdapat empat kabupaten terdampak langsung. Yakni, Pandegelang, dan Serang (Banten), serta Lampung Selatan, dan Tanggamus (Lampung). Sebanyak 350 kapal (dan perahu nelayan) rusak parah, terhempas ke perkampungan. Juga sebanyak 600-an rumah, 9 hotel rusak berat.
Sangat kurang informasi (dan mitigasi) bencana, pernah terjadi pada analisis vulkanologi terhadap gunung Agung di Bali (November 2017). Bandara Ngurah Rai, Bali (dan beberapa bandara sekitar terdekat) harus melakukan “jeda” operasional, terkait erupsi gunung Agung. Ini bagai penantian panjang “letusan” gunung berapi yang dikahawatirkan berdampak kerugian besar. Menghindari korban jiwa, harta, dan aset budaya.
Ilmuwan (vulkanologi) perlu bekerja lebih keras, memastikan prakiraan pergerakan magma. Sebab menanti letusan gunung Agung, bagai menyandera pelaksanaan hajat hidup orang banyak. Vulkanologi, niscaya memiliki parameter kerja magma. Selain gempa tremor, dan tektonik, juga kandungan material dalam dan suhu dalam magma. Potensi ancaman letusan, diperlukan untuk memastikan waktu pengungsian yang tepat. Karena tiada masyarakat yang suka hidup di pengungsian.
Penantian di pengungsian selama ini, telah menyebabkan kerugian moril dan material sangat besar. Diantaranya, penjualan secara obral (harga sangat murah) hewan ternak. Waktu pengungsian yang tidak tepat, juga menyebabkan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap prakiraan vulkanologi. Letusan gunung Merapi, dan Kelud, dapat dijadikan pelajaran dalam hal pengungsian. Toh vulkanologi dapat diprediksi dengan tingkat presisi (ketepatan) lebih baik.
Secara lex specialist, terdapat UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Di dalamnya terdapat amanat pencegahan bencana, termasuk mitigasi. Pada pasal 38 huruf a, diwajibkan adanya “identifikasi dan pengenalan secara pasti terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana.” Terdapat frasa “pengenalan secara pasti,” yang mengatur mitigasi bencana dilakukan secara tepat. Terutama warning keselamatan transportasi laut, dan udara.
Bencana alam, masih selalu menyebabkan nestapa mendalam. Terutama karena kehilangan jiwa sanak keluarga. Kerugian tak akan terhapus dengan proposal rehabilitasi maupun rekonstruksi. Maka diperlukan kinerja informasi dan mitigasi bencana lebih baik (lintas disiplin ilmu) serta sarana peringatan dini. Juga pelibatan peran masyarakat meminimalisir dampak bencana.

——— 000 ———

Rate this article!
Tsunami Selat Sunda,5 / 5 ( 1votes )
Tags: