Tukang Buku Jadi Anggota Dewan

Diana Amaliyah Verawatiningsih

Diana Amaliyah Verawatiningsih
Diana Amaliyah Verawatiningsih menjadi satu dari 120 anggota DPRD Provinsi Jatim yang dilantik, Sabtu (31/8) kemarin. Politisi PDI Perjuangan itu dikenal sebagai pegiat literasi yang biasa blusukan dari kampung ke kampung untuk menyebarkan virus membaca.
Diana mengatakan, penguatan budaya literasi adalah syarat meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Di Jatim IPM sudah tinggi, namun belum merata. Misalnya, IPM Surabaya sangat tinggi, tapi di daerah lain rendah.
“Penguatan literasi ini juga sejalan dengan visi pembangunan SDM dari Presiden Jokowi 5 tahun ke depan,” ujar Diana Sasa, sapaan akrabnya. Terpilih dari dapil Jatim IX (Magetan, Ngawi, Ponorogo, Trenggalek, Pacitan), biaya kampanye Diana terbilang minim dibanding caleg lainnya.
“Biaya kampanye saya sekitar Rp25 juta, untuk cetak kartu nama, kampanye digital, dan operasional mengunjungi warga. Saya tak pernah bikin pertemuan skala besar,” ujar Diana yang meraih 31 ribu suara warga.
Diana sebelumnya pernah menjadi caleg DPRD Jatim dari dapil yang sama pada 2009 dan 2014, namun tidak lolos. Meski tak lolos, sejak 2009 dia tetap melakukan kerja-kerja politik dan sosial, terutama menyebarkan virus membaca ke desa-desa. Dia merelakan rumahnya sebagai perpustakaan umum dan tempat berdiskusi anak-anak muda. Ribuan koleksi bukunya bisa dipinjam secara gratis. “Saya sering dijuluki tukang buku,” kata Diana terkekeh.
“Yang menarik, betapa banyak buku dipinjam warga, tak satu pun hilang. Mereka bawa pulang, selesai membaca, selalu dikembalikan. Kita harus belajar ke warga di kampung yang begitu jujur. Jadi jika teman-teman punya koleksi buku, jangan takut berbagi kepada warga yang mungkin belum berkemampuan finansial membelinya. Berbagi buku itu luar biasa manfaatnya,” imbuhnya.
Dengan modal sosial itulah, rasa kepercayaan warga terpupuk kepada Diana, yang otomatis membuat biaya politiknya menjadi rendah. “Saya ingin menepis anggapan bahwa yang bisa berpolitik hanya orang-orang bermodal gede. Masyarakat butuh edukasi. Masyarakat cerdas melahirkan politisi cerdas, jadi bukan soal duit semata,” imbuh alumnus Universitas Negeri Surabaya tersebut.
Berbeda dengan caleg lainnya, pendiri perpustakaan Dbuku ini memang tidak memasang baliho dan spanduk. Dia hanya bersilaturahim ke masyarakat dari rumah ke rumah. “Saya mendatangi teman-teman pencinta buku satu per satu. Lalu keluarga mereka. Mereka lalu bergerak membantu saya,” jelas mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), badan otonom Nahdlatul Ulama (NU), tersebut.
Dia menambahkan, selain kerja relawan pencinta buku, keberhasilannya tidak terlepas dari gotong royong seluruh caleg dan pengurus PDIP yang dengan kompak berbagi area konsolidasi. Peran senior partai juga vital dalam memandu memasuki pertarungan politik. “Karena saya tukang buku, saya mendapatkan area konsolidasi bersama pegiat literasi, seniman, dan pemilih milenial,” tutur perempuan kelahiran 28 Maret 1980.
Sadar modalnya terbatas, Diana juga mengoptimalkan media sosial. Dia beriklan di media sosial. Algoritmanya dia atur, mulai target umur, perilaku berinternet, hingga kesukaan warga. “Dalam kampanye digital itu, saya menautkannya ke WhatsApp. Lalu terjadi interaksi. Setiap malam, sambil momong anak, saya membalas ratusan pesan WA sampai dinihari,” ujarnya.
Sebagai anggota dewan, Diana berjanji mengawal garis kebijakan PDIP. “Kita gotong royong mewujudkan kebijakan pro wong cilik, dan menjadikan Jatim rumah besar yang ramah untuk semua warga,” pungkasnya. [geh]

Rate this article!
Tags: