Turis pun Antusias Ikut Tradisi Petik dan Menyangrai di Atas Wajan Tanah Liat

Sejumlah wisatawan asing memetik kopi dalam Festival Kembang Kopi Banyuwangi 2016, Rabu (7/9).

Sejumlah wisatawan asing memetik kopi dalam Festival Kembang Kopi Banyuwangi 2016, Rabu (7/9).

Banyuwangi Gelar Festival Kembang Kopi 2016
Kabupaten Banyuwangi, Bhirawa
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi  menggelar pesta rakyat dalam rangkaian Festival Kembang Kopi yang berlangsung di Dusun Lerek, Kelurahan Gombengsari, Rabu (7/9).
Festival yang berlangsung meriah dan dihadiri wisawatan asing dan lokal itu menyuguhkan tradisi petik kopi rakyat. Para pengunjung mulai disuguhi pemandangan tanaman kopi saat menuju lokasi festival. Tidak hanya pemandangan, aroma kopi juga mulai menyeruak di sepanjang jalan tersebut. Dusun Lerek sejak dulu memang dikenal sebagai sentra perkebunan kopi rakyat.
Di desa itu setiap rumah memiliki pekarangan yang berisi kebun kopi. Jika biasanya di desa-desa lain halaman rumah dipakai untuk menjemur padi, di Gombengsari warga memakainya untuk menjemur biji kopi.   “Hampir setiap rumah memiliki pohon kopi. Pohon-pohon kopi di sini sudah berusia puluhan tahun,” kata Masridin (65), salah satu pemilik lahan kopi di Dusun Lerek kepada Kantor Berita Antara, Rabu (7/9).
Berangkat dari tradisi tersebut, warga Desa Gombengsari berinisiatif menggelar Festival Kembang Kopi yang menyuguhkan segala hal berbau kopi, mulai dari pembukaan acara yang diisi tari petik kopi, hingga pengolahan biji kopi menjadi bubuk siap seduh.
Saat festival berlangsung, ibu-ibu bertopi caping memetik buah kopi di hamparan kebun kopi yang tampak rimbun. Hanya buah kopi berwarna merah tua yang dipilih untuk kemudian dimasukkan ke dalam kantong yang terkalung di leher mereka.
Di pekarangan rumah seorang warga, para pengunjung ditunjukkan bagaimana proses pengolahan kopi. Mulai dari pengupasan, pencucian, penjemuran sampai penggilingan dengan menggunakan mesin.
Tak jauh dari situ, puluhan ibu mempraktikkan bagaimana mereka menyangrai kopi secara tradisional menggunakan wajan tanah liat dan tungku batu bata dengan bahan bakar kayu. Pengunjung pun boleh mencoba mengaduk wajan panas yang berisi biji-biji kopi sangrai itu.
Tampak di antara para pengunjung beberapa turis asing antusias ikut mencoba memetik buah kopi langsung dari pohon dan juga mencoba menyangrai kopi. “Ini menarik sekali, dan ini pengalaman pertama kali saya melihat langsung proses pembuatan kopi. Waktu menyangrai tadi terasa berasap, tapi saya senang bisa mencoba. Selama ini kan tahunya langsung minum kopi dari coffee maker,” kata Ashley Fedor, wisatawan dari New York  Amerika Serikat, yang datang bersama rekannya Sinead Mcdermott.
Sinead mengatakan, dia telah mengunjungi negara-negara di Asia dan menikmati kopi. Namun, baginya, kopi Banyuwangi paling nikmat. Ashley meminum kopi Banyuwangi itu tanpa gula. “Kalau di Vietnam kopinya sedikit, susunya yang banyak. Tapi di sini murni kopi, perfect,” kata Sinead.
Selain mengagumi atraksinya, menurut mereka, orang Banyuwangi sangat ramah. “Saya sudah keliling Asia enam bulan, tapi masyarakat Banyuwangi lebih ramah,” ujar lulusan Georgetown University ini.
Mereka tampak gembira ikut terlibat dalam pesta kopi rakyat. Keduanya pun larut menikmati kopi bersama masyarakat yang disediakan gratis bagi setiap pengunjung. Desa Gombengsari sejak dulu terkenal sebagai kampung kopi, yang menghasilkan kopi jenis robusta. Namun kampung itu juga menyediakan ada kopi jenis konuga, dan togosari.
Warga Lerek sendiri lebih suka kopi jenis konuga, karena kopi jenis itu memiliki rasa dan aroma yang manis. Luwak pun lebih memilih untuk memakan kopi jenis ini karena teksturnya yang juga lebih lunak, dibanding robusta.
Selain itu, Desa Gombengsari juga dikenal penghasil susu kambing etawa yang juga dipasarkan di luar Banyuwangi. Tiap hari desa ini bisa memproduksi 200 – 300 liter susu kambing etawa.
Lurah Gombengsari Mochamad Farid Isnaini mengatakan, luas lahan perkebunan kopi rakyat mencapai 850 hektare. Terdapat lima kelompok tani dan dua lembaga masyarakat desa hutan yang menaungi perkebunan kopi rakyat ini. “Setiap kelompok tani tersebut telah memproduksi bubuk kopi kemasan dengan merek yang berbeda. Ada yang mereknya Kopi Lego, Kopi Seblang Kopi Gandrung, Kopi Lerek, dan Kopi Mas,” ujarnya.
Rata-rata produktivitas kebun kopi rakyat ini sebanyak 1,2 ton per hektare untuk sekali panen. Harga biji kopi kering dijual Rp 22 ribu – Rp 25 ribu per kilogram. “Sebagian besar warga masih menjual dalam bentuk biji kopi kering meski ada juga yang dalam bentuk bubuk. Harapan kami ke depan warga bisa meningkatkan nilai ekonomis kopi dengan menjual dalam bentuk bubuk, karena harganya bisa mencapai Rp 60 ribu per kilogram,” ujar Farid.
Pemasaran kopi dari desanya, kata Farid, telah merambah ke berbagai kota besar. Selain itu, juga dipasarkan melalui toko-toko di Banyuwangi.  Sebagian juga dipasarkan melalui situs belanja banyuwangi-mall.com.
Beberapa warga juga sudah mulai mengemas wisata kopi untuk mengundang wisatawan datang. “Harapan kami dengan digelarnya Festival Kembang Kopi ini, warga semakin sadar untuk meningkatkan kualitas dan nilai tambah kopinya, serta wisata kebun kopi di Gombengsari juga semakin maju,” ujar Farid. [Rachmad Caesar]

Tags: