Turunkan Perangkat Desa Tangani Kusta Hingga Fokuskan Off Farm di Pertanian

16-paripurnaDPRD Jatim, Bhirawa
Kurang maksimalnya kinerja  beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dilingkup Pemprov Jatim sempat dikritisi oleh sejumlah fraksi di DPRD Jatim. Lewat jawaban Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) gubernur 2013,  Gubernur Jatim, Soekarwo mencoba menjawab semua kritikan, dan masukan dengan tujuan meningkatkan kinerja pembangunan di Jatim—-
Untuk masalah pernanganan penyakit kusta yang ditangani oleh Dinas Kesehatan Jatim, menurut  Soekarwo sejujurnya telah dilakukan secara maksimal. “Satu di antara program itu adalah mengubah air laut menjadi air tawar. Program ini dibuat untuk masyarakat pesisir (Madura) yang memang banyak dihuni penderita kusta,”ujarnya.
Selain itu pihak pemprov telah melakukan penanganan penyakit kusta secara progresif termasuk  di wilayah Madura dan pantai utara jawa.
“Kami telah menurunkan petugas kesehatan dan perangkat desa untuk melakukan pemeriksaan secara dini bagi penderita penyakit kusta,” ujarnya.
Disisi lain, pemprov juga membentuk tim juru kusta di seluruh Puskemas di Jawa Timur. Mereka inilah yang bertugas mencari dan mendeteksi penderita-penderita baru.
“Saat ini, kami juga bekerjasama dengan LSM Kusta asal Belanda terkait penanganan Kusta di Jatim,”ujarnya.
Sementara itu, untuk Dinas Pertanian Jatim terkait pertumbuhan pertanian hendaknya dimaknai dalam berbagai konteks, artinya untuk konteks pendapatan rumah tangga petani jelas kurang relevan, karena Pemerintah Provinsi Jatim telah mengkontruksikan pembangunan sektor pertanian tidak hanya difokuskan pada On Farm yang berukuran kinerja pada sektor pertanian, namun juga difokuskan pada Off Farm pada (Pasca panen) untuk peningkatan nilai tambah yang berukuran kinerja pada sektor industri pengelolahan.
“Kami sependapat bahwa interpretasi terhadap pertumbuhan dilihat dalam berbagai dimensi, dan kedepannya percepatan kinerja perlu terus dioptimalkan agar sektor pertanian dapat menjadi sektor pijakan kebijakan pembangunan,” tambah Soekarwo.
Sementara itu, kritikan dewan soal kesenjangan akses pendidikan menengah antar wilayah utara dan selatan, antar kabupoaten maupun pedesaan dikarenakan angka partisipasi murni (APM) sangat rendah. Ini karena ada beberapa factor yang memperngaruhi APM adalah factor ekonomi, geografi, sosial dan budaya.
Sedang menanggapi mengenai meningkatnya pengangguran terbuka (TPT) yang disebabkan oleh melemahnya pertumbuhan ekonomi, dijelaskan bahwa berdasarkan Policy Brief Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan  BKKBN tahun 2011 didapatkan hasil adanya pengaruh antara laju pertumbuhan penduduk terhadap angka pengangguran terbuka di Jatim.
“Dalam penelitian itu terbukti bahwa pertumbuhan penduduk  berpengaruh negative terhadap angka pengengguran terbuka di Jatim. Dengan demikian, meningkatnya TPT pada tahun 2013. Berdasarkan hasil analogi penelitian tersebut, salah satunya sebagai akobay dari fenomena ‘baby boom’ yang terjadi hingga tahun 1998-2000,”tegas orang nomor satu di Pemprov Jatim ini.
Pada era tahun itu laju pertumbuhan penduduk masih relative tinggi, mencapai 1,5 persen per tahun. Sebagai efek baby boom di tahun 1998-2000, terjadi ledakan  angkatan kerja mulai tahun 2003. Karenanya untuk mengurangi ledakan pengangguran dibutuhkan peningkatan networking jejaring informasi pasar kerja, peningkatan kualitas tnaga kerja yang kompoten, pemberian program pelatihan alih kerja (paker) serta mendorong kontribusi serta peran semua sector.
Terkait dengan penurunan kemiskinan, tambah Soekarwo bahwa sejak Maret 2009-2013, jumlah penduduk miskin di Jatim terus mengalami penurunan, meskipun diakui laju penurunan jumlah penduduk miskin di Jatim cenderung melambat, puncaknya pada bulan September 2013 angka kemiskinan hanya turun 0,35 poin dari 13,08 persen pada September 2012 menjadi 12,72 persen pada September 2013.
“Perlambatan penurunan jumlah penduduk miskin sulit dihindari pada saat persentase penduduk miskin rendah. Hal ini karena harus berhadapan dengan hardcore poverty atau biasanya disebut dengan ultrapoor atau extreme poor, yakni kelompok paling miskin diantara orang miskin dan paling tidak berdaya dan sulit dijangkau,”tegas mantan Sekdaprov Jatim ini dengan mimic serius.
Daerah yang tingkat kemiskinan masih tinggi ada di Kabupaten Sampang pada tahun 2011 sebesar 30,21 persen menjadi 27,87 persen pada tahun 2012 laju penurunan kemiskinannya mencapai 2,34 persen yang notabene merupakan penurunan terbesar di Jatim.
Sedang soal Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Jatim diakui masih berada dibawah angka IPM Jateng dan Jabar. Dijelaskannya bahwa IPM Merupakan indicator komposit yang terbentuk dari tiga indeks yaitu pendidikan, kesehatan dan daya beli.
“Memang diakui capaian IMPM Jatim masih rendah. Apabila ditelaah terhadap komponen pembentuk IPM, ternyata indeks yang paling besar selisihnya terhadap dua provinsi adalah pada angka melek huruf. Dan Jatim disini nilainya rendah yaitu hanya 89,00, Jateng 90,45 sedang Jabar 90,48,”pungkasnya.
Untuk  sektor pendidikan ditambahkan, masih terjadi disparitas cukup tinggi antara kualitas dan fasilitas pendidikan di kalangan pedesaan dan perkotaan ternyata banyak dipengaruhi beberapa factor diantaranya factor ekonomi, geografi, sosial dan budaya.
“Yang jelas yang menyebabkan terjadinya disapritas hasil pembangunan pendidikan di wilayah utara dan selatan serta wilayah perkotaan dan pedesaan, karena terdapat perbedaan kondisi perekonomian, geografi, sosial dan budaya,”paparnya. [cty]

Tags: