Ubah Wajah Pelajaran Sejarah Lebih Menarik dengan Komik

Aries Eka Prasetya, guru SMAN 22 Surabaya yang produktif menulis buku dan berhasil memodifikasi buku pelajaran sejarah menjadi komik.

Cara Aries Eka Prasetya Hidupkan Budaya Literasi
Surabaya, Bhirawa
Bagi seorang guru sejarah, seolah hanya memiliki cerita masa lalu dan tak pernah menawarkan masa depan. Wajah bukunya terlihat tua dengan foto-foto dokumenter sebagai pendukung teks pelajaran. Namun, bukan berarti mempelajari sejarah tidak bisa dengan cara yang menyenangkan. Karena Aries Eka Prasetya punya jurusnya.
Guru SMAN 22 Surabaya pengampu mata pelajaran sejarah ini cukup aktif dalam menciptakan inovasi metode pembelajaran. Salah satunya ialah dengan mengubah buku teks sejarah menjadi komik yang lebih menarik. Saat ini, sudah ada dua komik yang dibuatnya. Satu komik sejarah untuk pembelajaran. Satu lagi komik sejarah tentang Kota Surabaya. “Komik yang kedua ini sebenarnya dibuat untuk lomba yang digelar Pemkot Surabaya dan berhasil menang,” tutur Aries ditemui di sekolahnya yang berlokasi di Jl Balas Klumprik 22 Surabaya, Rabu (18/4).
Dalam membuat komik, Aries tak sendirian. Dia mengajak sejumlah siswa untuk ikut terlibat. Hal itu sengaja dia lakukan agar siswanya aktif dalam mempelajari sejarah. Sebab untuk membuat komik, siswa otomatis akan membaca buku teks lebih dulu untuk mencari data-data yang lengkap. “Meskipun komik ini berisi pelajaran kelas XI dan XII, bukan berarti siswa hanya akan mempelajari komik. Sebaliknya, siswa akan mempelajari buku untuk dapat membuat komik yang tidak asal,” tutur dia.
Membuat komik saat ini bukanlah pekerjaan yang teramat sulit. Bahkan bisa dikerjakan oleh siswa pada umumnya. Sebab, komik yang dibuat tidak selalu harus bergambar manga, melainkan juga bisa mengambil gambar dari berbagai sumber. “Kita bisa unduh karakter tokoh dan foto latar belakang dari internet. Itu tidak masalah asal kita sertakan kreditnya di buku yang dibuat,” tutur Aries. Untuk mengubah foto menjadi gambar animasi, pihaknya tinggal mengubahnya melalui aplikasi yang sudah tersedia. “Mudah sekali, karena konsep komiknya lebih pada tata letak dan dialog. Kita tidak harus bikin sendiri animasinya,” tambah dia.
Dengan mengubah buku teks menjadi sejarah, materi yang dicantumkan otomatis tidak akan seluas buku teks. Namun Aries tidak khawatir, komik hanyalah metode untuk menarik siswa lebih menyukai pelajaran sejarah. Karena sebelumnya, siswa juga telah belajar buku teks untuk membuat tugas berupa komik juga. Di buku sejarah tersebut, Aries memuat sejumlah materi tentang sejarah Indonensia. Mulai jejak Sriwijaya, Majapahit, hingga gerakan non blok.
“Jadi siswa itu mempelajari sejarah tidak hanya untuk mendengar ceritanya. Tapi mereka juga punya misi seolah-olah akan merekonstruksi sejarah lewat komik,” tutur dia.
Dua komik sejarah tersebut bukanlah satu-satunya karya Aries dalam bentuk buku. Karena selain komik, Aries masih punya tujug buku lagi. Baik yang dia tulis sendiri maupun buku yang dia tulis bersama. Aries memang cukup produktif dalam hal tulis menulis. Bahkan sembilan buku yang dibuatnya itu berhasil diselesaikannya dalam waktu satu tahun. “Menulis buku itu mudah. Dan yang penting, kalau kita tau cara membuatnya juga murah biayanya,” tutur Aries.
Produktifitas Aries dalam menulis diakuinya berawal dari program Satu Minggu Satu Inovasi (Samisanov) yang diikuti sejumlah guru dari berbagai daerah. Inovasi yang dibuat saat itu umumnya merupakan inovasi pembelajaran. “Samisanov itu saya mulai sejak 2016. Baru kemudian tahun 2017 sampai 2018, inovasi-inovasi yang saya buat saya bukukan,” tandasnya.
Proses pembukuan dari karya-karya tersebut awalnya bukan pekerjaan mudah. Aries mengaku, tulisannya tidak akan mudah masuk pada penerbit-penerbit mayor. Bahkan bisa saja tulisannya hilang dibuang karena dianggap tidak mengungtungkan. Karena itu, dia memilih penerbit minor agar bukunya segera dicetak. Untuk satu judul buku, dia harus mengeluarkan sekitar Rp 2 juta dengan hasil cetakan sebanyak 20 eksemplar.
“Pokoknya saya terima jadi. Saya hanya menulis, editor, layout maupun yang mengurus ISBN (International Standard Book Number) sudah ada sendiri dari penerbit minor. Tapi sayang, hasilnya tidak memuaskan,” tutur Aries.
Pada tulisan kedua, Aries pun mencoba untuk menjajaki sendiri proses penerbitan buku. Mulai dari proses penulisan, editor, desain tata letak, hingga pendaftaran ISBN. Sementara untuk penerbitan menggunakan kerjasama lembaga penerbitan minor yang sudah legal. “Dan ternyata kalau kita memiliki persyaratan yang lengkap itu mengurus ISBN sangat mudah. Hanya sekitar lima menit sudah selesai,” tutur dia.
Berhasil menguasai penerbitan buku, guru-guru lainnya baik di Surabaya maupun berbagai daerah lain mulai terimbas. Dia menjadi pembina dalam sejumlah program peningkatan kualitas guru. Mulai dari satu guru satu buku (Sagu Saku), satu guru satu blog (Sagu Sablog) maupun satu guru satu digital story telling (Sagu Distro). “Setiap bulan kita juga bertemu dengan para guru dengan menggelar pelatihan secara online. Pernah juga saya diminta ke pedalaman Indonesia untuk melatih program ini. Termasuk dari program ini juga saya bisa keliling luar negeri,” pungkas Aries.

Membangun Budaya Literasi Bukan Sekadar Tugas Siswa
Gerakan literasi untuk menguatkan budaya baca tulis di Surabaya telah mulai digalakkan sekitar empat tahun lalu. Sejak saat itu, siswa mendapatkan tantangan membaca dalam sehari hingga satu tahun program itu berjalan. Misalnya di Dinas Pendidikan (Dindik) Kota Surabaya, siswa ditargetkan mampu membaca 2 juta buku untuk menyelesaikan target tantangan membaca. Sementara untuk guru?
Riantasih Indriadni dengan sejumlah rekan gurunya tampak bersemangat membicarakan karyanya masing-masing. Tampak sejumlah buku sastra yang ditulis seorang guru maupun gabungan sejumlah tulisan berbentuk antologi. “Buku saya ini yang berjudul Cinta Liar dan Yance oh Yance,” tutur Indri.
Guru SMKN 1 Surabaya itu menuturkan, kedua buku tersebut merupakan karyanya yang berisi kumpulan puisi dan kumpulan cerpen. Dua-duanya merupakan cermin dari berbagai kisah nyata yang pernah dialaminya maupun dijumpainya. Tidak lepas dari seputar cinta, benci, iri, syukur dan berbagai hal yang meliputi kehidupan di dunia ini. “Kita semua tergabung di kelompok guru yang memang senang menulis untuk menguatkan budaya literasi di kalangan guru. Termasuk melalui program Sagu Saku (Satu guru satu buku,” tutur dia. Selain Indri, Tjitjik Sri Wulandari dari SMKN 5 Surabaya juga menunjukkan karyanya berupa tulisan antologi berjudul Muridku adalah Guruku. Tulisan-tulisan tersebut dikumpulkan dari sejumlah guru yang memiliki minat sama dalam tulis menulis. “Kita memiliki usaha untuk membangun kesadaran terhadap budaya literasi. Dengan budaya itu, kita dituntut sadar untuk mengetahui banyak hal. Karena literat itu sendiri maknanya adalah mengetahui,” tutur Tjitjik.
Karena upaya tersebut, budaya literasi tidak hanya untuk siswa. Guru juga memiliki tugas, baik menulis karya ilmiah, fiksi, jurnal, artikel maupun melaksanakan kewajiban membuat penelitian tindakan kelas setiap semester.
Kepala Cabang Dindik Jatim Wilaya Surabaya Dr Sukaryantho menambahkan, sudah seharusnya budaya literasi itu tidak hanya menjadi tanggung jawab peserta didik. Pada saat yang sama, ketika peserta didik rajin membaca tenaga pendidik juga harus mampu mengiringi. “Di Surabaya ini, tidak hanya siswa, guru juga terus digalakkan untuk membangun budaya literasi. Salah satunya dengan menyisihkan tunjangan profesi guru untuk membeli buku,” pungkas dia. [tam]

Tags: