UHT Surabaya Kukuhkan Guru Besar Pertama Bidang Ilmu Hukum

Surabaya, Bhirawa
Universitas Hang Tuah (UHT) Surabaya kukuhkan Guru Besar Pertama, Prof Mokhammad Khoirul Huda yang dikukuhkan dalam Bidang Ilmu Hukum Rabu (15/1) kemarin. Dalam pengukuhannya, Prof Huda sapaan akrabnya mengangkat orasi ilmiah tentang Iktikad Baik Kontrak Asuransi Jiwa di Era Revolusi Industri 4.0. Pembahasan ini didasari dengan maraknya sengketa klaim asuransi.
Menurut Prof Huda, sengketa klaim polis asuransi jiwa terjadi karena pada waktu pengisian Surat Pengajuan Asuransi Jiwa (SPAJ) dan Surat Keterangan Kesehatan (SKK) tertanggung dianggap tidak menjelaskan informasi dengan benar (misrepresentation) atau tidak mengungkapkan fakta – fakta material (non disclosure) yang dibutuhkan penanggung.
Sementara, prinsip iktikad baik, kontrak asuransi jiwa mewajibkan tertanggung untuk memberitahukan secara teliti dan sejelas – jelasnya mengenai segala fakta – fakta material berkaitan dengan data kesehatan calon tertanggung yang diasuransikan sebelum berlakunya polis.
“Karena inilah yang dapat mempengaruhi pertimbangan penanggung, apakah dia bersedia menanggung asuransi itu atau tidak,” tegasnya.
Dan di sinilah masalahnya, kata Prof Huda, penanggung dapat menggunakan alasan tertanggung tidak beriktikad baik pada waktu memberikan keterangan secara benar atau tidak mengungkapkan fakta – fakta material yang diketahui untuk membatalkan kontrak asuransi jiwa.
Padahal ungkap Prof Huda, kontrak asuransi jiwa tidak cukup hanya dengan iktikad baik saja, tetapi dituntut yang terbaik dari iktikad baik tertanggung, sebagaimana The Principle of Utmost Good Faith dapat diterjemahkan bahwa kontrak asuransi merupakan kontrak yang tunduk pada keharusan adanya iktikad baik yang sebaik – baiknya pada para pihak. Principle Utmost Good Faith menyangkut kewajiban yang harus dipenuhi sebelum perjanjian asuransi jiwa disepakati kedua belah pihak.
Pada kesempatan itu, Prof Huda juga menyoroti persoalan yang membelit asuransi Jiwa Bersama dan Asuransi Jiwasraya menjadi perhatian. Kasus gagal bayar pada nasabah pemegang polis menjadikan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus turun tangan. Terkait hal itu, peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga harus dioptimalkan sehingga permasalahan tidak terjadi lagi di masa mendatang.
“OJK itu mengawasi banyak sekali, di luar asuransi ada perbankan, non perbankan dan lainnnya, ini timing untuk membenahi industri asuransi ada Indonesia jumlahnya sekitar 140. Ini tiap tahun berguguran. Contoh tahun 2015 Bumiasih sudah dipailitkan oleh OJK, berikutnya dicabut izinnya setelah dua ini saya yakin akan menyusul lainnya kalau tidak dilakukan pembinaan pemerintah,” ungkapnya.
Prof Huda menjelaskan, lemahnya asuransi nasional juga disebabkan belum adanya Lembaga Penjaminan Polis. Padahal UU Asuransi pada tahun 2014 mewajibkan hal itu. ”Sampai hari ini tiga tahun belum ada resikonya sangat tinggi sekali sehingga nasib pemegang polis apalagi menengah kebawah resikonya tinggi,” paparnya.
Terkait kasus Asuransi Jiwasraya, Prof Huda juga mengkritik atas lemahnya pengawasan yang dilakukan OJK, padahal per tiga bulan sekali pengelola asuransi harus melakukan pelaporan.
Yang pasti per tiga bulan melaporkan, tapi kok bisa kecolongan, ini menjadi pertanyaan?
Meski diakui, OJK selaku otoritas harus bertanggung jawab, namun demikian tidak bisa saling menyalahkan. Ini menjadi momen pemerintah untuk melakukan perubahan termasuk Lembaga Perlindungan Pemegang Polis harus ada. [ina]

Tags: