UINSA Bedah Buku Karya Mantan Gubernur Soekarwo

Rektor UINSA Prof Masdar Hilmy dan Pengamat Pendidikan Islam Prof Ali Mudlofir foto bersama usai membedah buku Tradisi dan Modernisasi Pendidikan Diniyah Pesantren karya mantan Gubernur Jatim, Dr H Soekarwo.

Tradisi dan Modernisasi Pendidikan Diniyah Pesantren Jadi Karya Momumental
Kota Surabaya, Bhirawa
Pondok pesantren dan pendidikan madrasah diniyah menjadi lembaga yang digarap serius oleh Pemprov Jatim diera Gubernur Jatim Dr H Soekarwo. Berbagai program dan inovasi dicetuskan pria yang akrab di sapa Pakde Karwo ini, untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya di jenjang Pendidikan Diniyah Pesantren. Seperti SMK Mini dan SMA Dual Track.
Melalui buku yang berjudul Tradisi dan Modernisasi Pendidikan Diniyah Pesantren di Jawa Timur, Dr H Soekarwo menuangkan pemikiran, konsep dan implementasi kebijakan pendidikan Diniyah Pesantren di Jawa Timur.
Pada Senin (18/3), Universitas Islam Negeri Sunana Ampel Surabaya (UINSA) berkesempatan untuk membedah buku karya Soekarwo untuk pertama kalinya. Dalam acara tersebut hadir Rektor Uinsa Prof Masdar Hilmy dan Pengamat Pendidikan Islam Uinsa Prof Ali Mudlofir yang didapuk untuk memberikan kritikan dan masukan terkait buku karya Soekarwo.
Menurut Prof Ali Mudlofir, yang perlu digaris bawahi dalam kaya Soekarwo adalah penguatan pada kedudukan pendidikan madrasah diniyah dan guru-guru di pondok pensantren. Sebab, dalam undang-undang no 20 tahun 2003 baru nampak kebijakan terkait pendidikan keagamaan. Hal itu diperkuat lagi dengan PP no 55 tahun 2007.
“Sejak 2007 ini belum ada gubernur di Indonesia yang concern terhadap nasib pendidikan diniyah pesantren. di Jatim baru nampak penguatan itu saat Pakde (Soekarwo) menjabat (Gubernur). yakni melakukan penguatan (peningkatan kualifikasi,red) guru-guru madrasah diniyah dengan membentuk LPPD (Lembaga Pengembangan Pendidikan Diniyah),” jelas dia.
Apalagi, lanjut dia, dinamika Pendidikan Diniyah Pesantren dipengaruhi dari berbagai faktor. Seperti pembaharuan pendidikan timur tengah, pengalaman perlawanan dengan kolonil, karena pesantren merupakan pendidikan tertua di Indonesia. faktor selanjutnya adalah, keinginan orang muslim yang ingin menyempurnakan, memajukan dan melengkapi pendidikan di Indonesia.
“Beliau (Soekarwo) menekankan agar ilmu sains dan teknologi ini bisa menyatu dengan spiritualitas. Sebab tantangan ke depan bagi pesamtren Kholafiyah dan pesantren Salafiyah adalah era industri 4.0, sains dan teknologi, era globalisasi juga teknologi informasi,”tuturnya.
Sebagai pengamat pendidikan Islam, Prof Ali menilai bahwa Soekarwo mampu membangun tujuan pendidikan dalam Pendidikan Diniyah Pesantren, yaitu kompetensi dan keterampilan sebagai tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.
Ditambahkan Rektor Universitas Islam Negeri Surabaya (Uinsa), Prof Masdar Hilmy bahwa apa yang ditulis Pakde Karwo merupakan satu simbiosis yang sangat indah antara pendidikan diniyah, perguruan tinggi dan birokrasi. Kendati sudah tidak menjabat sebagai Gubernur, komitmen Soekarwo dalam meningkatkan pendidikan Diniyah Pesantren melalui program-programnya patut di apresiasi.
“Kami melihat bahwa Pakde Karwo mampu menjembatani kelompok sosial masyarakat. mampu menjembatani antara pendidikan vokasi dan pesantren ini yang melekat dalam diri pakde. Sehingga tidak ada lagi argumentasi efisiensi melainkan efektivitas untuk merangkul seluruh golongan masyarakat,” papar dia.
Dari karya Soekarwo tersebut, Prof Masdar juga berencana untuk memberikan gelar honoris causa terkait pandangan tentang Vokasi dan Pendidikan Diniyah Pesantren. “Senat sudah menggodok usulan pemberian gelar (H.C) hanya saja kelengkapan administrasi yang masih butuh kejelian,”imbuh dia.
Sementara itu, Diungkapkan Soekarwo jika karya buku dengan judul Tradisi dan Modernisasi Pendidikan Diniyah Pesantren merupakan bentuk narasi (laporan) dari apa yang telah ia kerjakan selama menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur. Soekarwo menceritakan, proses awal pembukuan tersebut berupa pemikiran tentang potensi pondok pesantren menjadi bagian dari kebijkan pemerintah struktural.
Namun, ia menilai bahwa hal itu belum masuk. Kendati sudah ada undang-undang no 20 tahun 2003 tentang sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional). Namun kemudian, dimotori oleh Uinsa melalui Lembanga Pengembangan Pendidikan Diniyah (LPPD) pihaknya mulai melakukan penelitian terkait pendidikan luar biasa dalam basis religi dan spiritual.
“Tidak hanya harus ada tapi juga dikembangkan dengan tidak mencabut basis yang mendasar yaitu permasalahan hubungan antara Kyai dan Santrinya atas buku yang dibuat dari abad 9 sampai abad 15, Kitab kuning sebagai bagian dari Aswajah NU yang harus dipertahankan,” jelas dia.
Dengan demikian, Soekarwo mengistilahkan kondisi Pendidikan Diniyah Pesantren ibarat sebuah bangunan. Di mana jika ada perbaikan atau rekonstruksi jangan membongkar bangunan. akan tetapi harus diperbaiki dengan mengambangkan bangunan tersebut.
Pada tahun 2006, bersama Uinsa dan putra para Kyai pihaknya berdiskusi untuk menata pendidikan di Diniyah Pesantren. Hasilnya, pihaknya memutuskan untuk membenahi guru atau ustad/ustadzah dengan menyekolahkannya hingga S1. “Sejak 2006 hingga sekarang jumlahnya sudah 13 ribu lebih yang telah disekolahkan,”katanya.
Soekarwo berpesan, dalam pendidikan, untuk menyasar hingga seluruh aspek masyarakat, pemerintah maupun pemangku kepentingan pendidikan jangan lagi berbicara menyoal efisiensi. Sebab, menurut dia, tolak ukur kata efisiensi, tidak mencakup sekolah pinggiran dan masyarakat pinggiran. Namun jika berbicara efektivitas, kebijakan itu akan dirasakan oleh semua golongan masyarakat. “Sudah saatnya kita merubah mindset itu,”pungkas dia. [Diana Rahmatus S]

Tags: