Uji Kompetensi SMK Lebih Sulit Dibanding UN

Pemantapan sebelum uji kompetensi, siswa dilatih oleh chef profesional selama lima hari, Selasa (10/3).

Pemantapan sebelum uji kompetensi, siswa dilatih oleh chef profesional selama lima hari, Selasa (10/3).

Dindik Jatim, Bhirawa
Mendapat sertifikat kompetensi bagi siswa dan guru SMK ternyata tidak semudah mendapat ijazah lulus dari Ujian Nasional (UN). Fakta ini terlihat dari tingginya jumlah peserta yang gagal dalam uji kompetensi di Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim sejak pertama kali dimulai pada 2014 lalu hingga awal 2015 ini.
Tingginya angka kegagalan ini bahkan mencapai sepuluh persen lebih dari total peserta yang mengikuti uji kompetensi, baik guru maupun siswa SMK. Padahal, jika melihat angka ketidaklulusan siswa SMK Jatim pada UN 2014 lalu hanya mencapai 0,033 persen atau 61 siswa dari total peserta 185.628. Sementara dari uji kompetensi yang dilaksanakan UPT Pengembangan dan Pelatihan Pendidikan Kejuruan (PPPK) Dindik Jatim sebagai Tempat Uji Kompetensi (TUK), pada 2014 lalu terdapat 96 siswa SMK dinyatakan gagal dari total 820 peserta. Buruknya kondisi ini juga diperparah dengan tingginya jumlah guru yang gagal uji kompetensi. Dari 500 guru, sebanyak 59 orang dinyatakan gagal uji kompetensi.
“Tahun lalu, sasaran uji kompetensi hanya 1.320 peserta. Itu terdiri dari 500 guru dan 820 siswa. Ternyata banyak yang gagal,” tutur Kepala UPT PPPK Dindik Jatim Sumardijono saat dihubungi, Selasa (10/3).
Pada awal 2015 ini, dari 60 guru SMK yang sudah diketahui hasil uji kompetensinya terdapat 10 guru yang gagal. Sedangkan 100 siswa yang menjadi sasaran seluruhnya dinyatakan lulus.  “Jadi total ada 165 peserta yang gagal uji kompetensi,” tutur Sumardijono.
Kondisi ini tampaknya harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan. Sebab, uji kompetensi bisa menjadi ukuran keberhasilan siswa SMK tidak hanya dari segi teori, tetapi juga keterampilan. Apalagi sertifikat kompetensi dari ujian ini diperlukan untuk bukti kemampuan siswa saat memasuki ke dunia industri.
Sumardijono mengatakan, uji kompetensi yang digelar di institusinya dilakukan secara profesional dan independen. Instrumen yang digunakan pun mengacu Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Asesor yang ditunjuk pun langsung dari Lembaga Sertifikasi Kompetensi (LSK) dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). “Kita tidak bisa mempengaruhi penguji agar lulus semua. Apapun hasilnya, itu sudah menjadi kenyataannya,” kata dia.
Kegagalan ini diakuinya cukup memprihatinkan. Sebab, selain jumlah yang tinggi para peserta sebenarnya sudah dilatih selama lima hari dan bermukim di asrama sebelum diuji. Instruktur pelatih pun diambil dari pihak yang profesional dari industri. “Misalnya untuk tata boga, kita datangkan chef dari hotel-hotel ternama di Surabaya ini,” tutur dia.
Sumardijono pun tak ingin menutup-nutupi buruknya hasil uji kompetensi selama ini. Karena semua data peserta, baik yang kompeten (lulus) maupun belum kompeten (tidak lulus) bisa diakses oleh siapapun melalui website. “Semua kita umumkan secara rinci, nama dan asal sekolahnya. Guru maupun siswa,” kata dia.
Pria yang hobi merawat burung ini mengaku, gencar menggelar uji kompetensi karena penting untuk siswa SMK sebelum masuk ke dunia industri. Apalagi dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 ini, lulusan SMK di Jatim harus memiliki standardisasi kompetensi. Sebab, kompetensi yang diakui dan disertifikasi akan lebih dipercaya oleh dunia industri. Terlebih untuk perusahaan asing pada tahun ini yang akan bebas berdatangan ke Jatim.
“Ini juga menjadi program prioritas Gubernur Jatim untuk pengembangan mutu lulusan SMK. Karena itu, tahun ini jumlah sasarannya pun ditambah menjadi 2.800 peserta. Sebanyak 2.000 untuk siswa SMK, 800 untuk guru SMK,” kata dia.
Beratnya uji kompetensi ini diakui Hastiyono. Instruktur pelatihan program kompetensi tata boga dari Java Paragon Hotel ini mengaku harus bekerja keras untuk melatih 20 peserta yang dia tangani mulai awal pekan ini sebelum menghadapi ujian pada Sabtu (21/3) mendatang.  Sebab, dari segi keterampilan peserta sangat minim. “Mungkin di sekolah tidak banyak dilakukan praktikum. Jadi sekarang kita harus benar-benar kerja keras melatih mereka,” kata dia.
Saat ini, dia hanya ingin fokus melatih siswa membuat menu pastry. Masing-masing siswa harus memiliki kemampuan mulai mengolah adonan yang benar, mencetak dan menunjukkan rasa yang pas. “Saat ujian, satu anak membuat satu menu. Saya tidak bisa membantu karena pengujinya bukan saya,” pungkas dia. [tam]

Tags: