UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) tahun 2014, baru saja disahkan oleh DPR-RI, usianya masih tergolong bagai “bayi merah.” Tetapi dipastikan akan mengalami “lampu merah,” berhenti dan diubah lagi. Beberapa parpol memastikan segera menggugat UU MD3 tahun 2014 pada ranah MK (Mahkamah Konstitusi). Konon disinyalir, UU baru itu akan menjadikan anggota parlemen “lebih sakti,” tak mudah ditangkap aparat penegak hukum.
Sebenarnya UU yang lama (Nomor 27 tahun 2009) tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD belum lama benar. UU MD3 tahun 2009 dibuat oleh parlemen periode 2004-2009 di penghujung jabatan. Lalu disahkan oleh Presiden SBY pada tanggal 29 Agustus 2009. Pemenang pileg 2009 adalah Partai Demokrat, dan otomatis menduduki jabatan Ketua DPR. Otomatisasi itu diatur dalam UU MD3 Nomor 27 tahun 2009 pada pasal 82 ayat (2).
Secara tekstual pasal 82 ayat (2) menyatakan: “Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR.” Sedang Wakil Ketua DPR sebanyak 4 orang juga dipilih berdasar peringkat perolehan kursi di DPR, diatur dalam ayat (3). Bunyinya, “Wakil Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua, ketiga, keempat, dan kelima.”
Kini, hal yang sama juga dilakukan namun dengan situasi perbeda. Sama-sama di penghujung periode (8 Juli 2014), DPR-RI periode 2009-2014 mengesahkan UU MD3 tahun 2014 (yang baru). Tetapi pemenang pileg-nya berbeda, sekarang kursi terbanyak di parlemen akan diperoleh PDIP. Ironisnya, PDIP tidak bisa otomatis menjadi Ketua DPR-RI. Penyebabnya, bunyi pasal otomatisasi sudah diubah menjadi tidak otomatis.
Itulah yang disebut-sebut sebagai akal-akalan untuk menghadang parpol pemenang pemilu agar tidak otomatis menjadi Ketua DPR. Sehingga PDIP (bersama mitra koalisinya, PKB dan Hanura) memilih walk-out. Tetapi rapat pengesahan UU MD3 tahun 2014 dinyatakan kuorum. Maka Rancangan UU MD3 bisa disahkan, walau tanpa tiga fraksi (139 kursi). Diluar itu terdapat koalisi besar terdiri PD, Golkar, PKS, PAN, dan PPP meliputi 395 kursi.
Tetapi pada tataran rakyat, siapa menjadi pimpinan DPR-RI tidaklah penting benar. Karena pada zaman sekarang pimpinan DPR sekadar pusaran kinerja DPR, terbatas pada kursi tempat duduk paling depan forum rapat-rapat. Pimpinan DPR-RI hanya memiliki kelebihan protokoler dan insentif, tanpa ekses politik apapun. Rakyat juga tidak ambil pusing dengan formasi koalisi di DPR. Diluar gedung, seluruh anggota DPR adalah warga negara biasa seperti yang lain.
Rakyat hanya menuntut jaminan keadilan. Dalam hal ini adalah asas equality before the law, yakni perlakuan yang sama di depan hukum. Tuntutan rakyat ini senafas dengan amanat UUD pasal UUD pasal 27 ayat (1) yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Sedangkan dalam UU MD3 tahun 2014, dinyatakan, bahwa pemanggilan (apalagi penangkapan) anggota DPR untuk keperluan penyidikan harus dengan izin Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Boleh jadi, klausul ini berkaca pada banyaknya anggota DPR yang ditangkap oleh KPK. Itu menurunkan citra DPR bagai sekumpulan preman berlencana.
Izin Presiden, sebenarnya telah masuk dalam UU MD3 yang lama (Nomor 27 tahun 2009) pada pasal 220 ayat (1). Namun klausul ini tidak berlaku secara analogis ketika MK mengabulkan gugatan terhadap UU Nomor 12 tahun 2008. Maka andai diajukan judicial review terhadap UU MD3 tahun 2014, pastilah MK akan mengabulkan untuk mencopot “kesaktian” anggota parlemen.
———– 000 ————–