Ujian Puasa di Tengah Pandemi Corona

Oleh:
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Rasanya sepanjang sejarah republik ini mungkin baru kali ini publik akan menghadapi ujian berpuasa di tengah serangan virus korona yang kian merajalela. Ini merupakan ujian sesungguhnya (real examination) bagi umat Islam menjelang Bulan Puasa karena di tengah memasuki puncak pandemi korona atau Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di hampir seluruh tanah air. Covid-19 tengah menjungkirbalikan dan merevolusi sosial budaya, ekonomi, tatanan sosial kemasyarakatan termasuk ranah religi spiritual rutinitas tahunan keagamaan seperti Bulan Puasa. Mungkin semua sepakat bahwa puasa kali ini adalah ujian terberat kaum Muslim. Bagaimana tidak, sejak awal tahun badai korona tengah membatasi bahkan menghentikan aktivitas peribadatan dan kegiatan berbasis keagamaan Kaum Muslimin yang menciptakan kerumunan dimana sangat beresiko untuk terjadinya percepatan penularan Covid-19 seperti sholat jamaah di masjid, istiqosah, yasinan, tabliq akbar dan aktivitas lain. Semua dilakukan dirumah masing-masing atau dilakukan secara daring.
Di pihak lain pemerintah telah memutuskan untuk membatasi pergerakan massa dengan menjaga jarak sosial (social distancing) dan jarak fisik (physical distancing), bahkan beberapa pemerintah daerah telah memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai upaya untuk mengurangi resiko penularan atau penyebaran dan memutus rantai penularan Covid-19 yang kian mengganas. Kondisi ini tentu akan terjadi gegar budaya di berbagai kondisi sosial masyarakat. Mau tidak mau, suka tidak suka masyarakat harus dapat beradaptasi dengan kebijakan yang diambil. Di sisi lain kondisi perekonomian tengah anjlok yang ditandai dengan berkurangnya aktvitas perekonomian nasional hingga ke daerah secara signifikan. Harga kebutuhan pokok terus merangkak naik, sementara tingkat pendapatan rumah tangga menurun. Berhentinya aktivitas sekolah, perkantoran, anjloknya jasa angkutan, perhotelan dan sektor usaha lainnya.
Ancaman pengangguran di depan mata melalui PHK, aktivitas industri dan UMKM merosot tajam bahkan berpotensi terjadinya tindak kriminalitas akibat himpitan dan tekanan ekonomi. Inilah sesungguhnya ujian sebenarnya Kaum Muslimin di tengah himpitan badai korona. Atas nama kesehatan, keselamatan dan (bahkan) nyawa masyarakat sebagai keadaan darurat kebencanaan non alam menjadi prioritas utama dan pertama pemerintah namun tidak menyesampingkan aspek pemulihan ekonomi dan lain-lain. Dari sisi kesehatan, aspek psikologis atau psikis merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dari status kesehatan seseorang sehingga kondisi masyarakat saat ini yang terancam kekawatiran bahkan ketakutan terhadap sebaran virus korona tentu sedikit banyak berpengaruh pada sistem imunitas (daya tahan tubuh) yang pada akhirnya akan berpotensi menurunkan tingkat kesehatan seseorang. Pada kadar tertentu kekawatiran dan kecemasan sangatlah wajar, namun bila sampai berkepanjangan atau over dosis bahkan akan terjadi gangguan jiwa (stres atau depresi) dimana kondisi inilah yang acapkali menjadi problem kesehatan baru atau beban ganda masalah kesehatan (double burden).
Bulan puasa merupakan momentum untuk menetralisir munculnya masalah kesehatan tersebut. Dengan berpuasa kondisi tubuh menjadi proteksi ‘alamiah’. Tubuh akan berada pada kondisi optimum, sistem pencernaan akan beristirahat dengan cukup, kelebihan asupan pangan dapat terkontrol hingga daya optimal dalam mencegah gangguan kesehatan. Selama berpuasa organ-organ pencernaan akan beristirahat, namun fungsi fisiologis pencernaan tetap berjalan normal, terutama produksi sekresi pencernaan sehingga membantu menjaga keseimbangan cairan tubuh dan membersihkan tubuh dari sisa-sisa atau endapan makanan. Oleh karena itu dengan puasa niscaya tubuh akan sehat merupakan hal yang harus diyakini kebenarannya dan sudah teruji secara ilmiah. Aspek ketangguhan bangsa kini tengah diuji sejauhmana daya tahan (endurance) bangsa ini terhadap serangan Si-Covid-19.
Di pihak lain, bagaimanapun juga setiap bencana “memberikan” massage yang tersembunyi. Petuah bijak mengatakan bahwa musibah yang terjadi pasti memiliki makna dibaliknya, blessing in disguise atau hikmah yang tersembunyi. Terciptanya sikap peduli bahwa Covid-19 merupakan musuh bersama (public enemy) sehingga secara psikologis akan berdampak pada pembentukan perasaan kolektivitas yang pada akhirnya dibutuhkan konstribusi dan aksi nyata bersama sesuai dengan kemampuan dan profesi masing-masing. Kondisi ini juga mengubah ‘kembali’ kebiasaan perilaku hidup bersih dan sehat terutama kebiasaan cuci tangan dan adab batuk atau bersin. Cuci tangan misalnya, dapat mengurangi resiko timbulnya penyakit dimana 80 persen penyakit ditimbulkan saat makan melalui tangan.
Namun seiring dengan berjalanan waktu kebiasaan ini dianggap remeh temeh bahkan cenderung abai terhadap kebiasaan cuci tangan. Di sisi lain saat ini media sosial viral bagaimana kebiasaan baik masa lalu terutama di budaya Jawa diperkenalkan padasan (semacam gentong atau tempayan berisi air yang terbuat dari tanah liat) di depan rumah atau pekarangan sebagai upaya untuk membersihkan anggota badan tangan dan kaki sebelum masuk rumah. Dalam konteks kekinian, kondisi tersebut merupakan upaya pembiasaan masif kelokalan dan tradisi yang perlu dilestarikan, meski tidak harus sama namun disesuaikan dengan perkembangan jaman. Semoga Allah, Tuhan Yang Maha Esa segera melenyapkan Covid-19 melalui penemuan vaksin penangkal Covid-19 demi kemaslahatan umat manusia, Wallahu A’lam Bishawab. [*]

Rate this article!
Tags: