Ujicoba Sekolah “Normal’

foto ilustrasi

Bel tanda dimulai masuk sekolah sudah berbunyi. Anak didik memasuki ruang kelas dengan antre berbaris renggang, setelah mencuci tangan. Seluruhnya mengenakan masker. Menempati bangku berselang (yang bertanda silang tidak diduduki). Kapasitas ruang kelas digunakan kurang dari separuh, tak lebih dari 15 murid. Tetapi seluruh murid ceria melaksanakan uji coba sekolah tatap muka, bisa bertemu guru dan teman.

Uji coba sekolah tetap muka dimulai di beberapa daerah, dengan protokol kesehatan (Prokes) 3M ketat. Guru, dan tenaga administrasi sekolah yang belum disuntik vaksin CoViD-19 tidak diperkenankan masuk sekolah. Berdasar data nasional Kependidikan, jumlah tenaga pendidik (tidak termasuk dosen pada peguruan tinggi) sebanyak 2,7 juta orang. Rinciannya, guru SD sebanyak 1,446 juta, guru SMP dan Madrasah Tsanawiyah sebanyak 640.050, serta guru SMA,SMK, dan MA sebanyak 612.141 orang.

Prinsip ke-hati hati-an (Ketahanan Kesehatan) akan mengiringi hak setiap anak memperoleh pendidikan. Jumlah peserta didik pada seluruh jenjang pendidikan, sebanyak 45.534.371 anak. Secara perbandingan jumlah guru hanya 5,9% jumlah siswa. Seluruh “warga sekolah” (guru dan murid) wajib dilindungi dalam melaksanakan hak dan kewajiban. Prokes, dan vaksinasi menjadi prosedur standar proses pendidikan. Termasuk menunda berngkat ke sekolah manakala nampak gejala sakit.

Ujicoba sekolah tatap muka sudah dimulai, sekaligus menjadi pencermatan seksama stake-holder kependidikan. Terutama Prokes pada sekolah tingkat SD (Sekolah Dasar), menjadi perhatian seksama orangtua. Bahkan orangtua memberikan applause tepuk tangan. Haru, anak-anak bisa benar-benar masuk sekolah secara normal (tatap muka). Sebagian murid sudah “jemu” belajar di rumah melalui zoom, selama setahun lebih.

Ke-ceria-an memulai sekolah dengan mengenakan seragam, bagai menjadi “impian” setiap murid. Walau intensitas pertemuan di ruang kelas terjadi singkat. Tak lebih dari 2 jam. Namun sesungguhnya, memulai ujicoba pembelajaran tatap muka, merupakan upaya keras kalangan tenaga pendidik. Antara lain, berdasar pola PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) berbasis tingkat RT dan RW. Sekaligus area (se- RW) tempat tinggal siswa.

Pembukaan sekolah tatap muka juga harus memperoleh rekomendasi Pemerintah Daerah (Dinas Kesehatan). Termasuk penanganan situasi ke-darurat-an dengan kemudahan mengakses fasilitas kesehatan. Setiap sekolah juga wajib membuat persiapan, dan mengisi kisi-kisi yang disediakan pada laman Kementerian Pendidikan. Diantaranya berisi penyediaan sarana 3M (tempat cuci tangan memadai di depan setiap ruang kelas, menyediakan masker cadangan, dan deteksi suhu tubuh).

Kisi-kisi akan menjadi “arahan” kesiapan setiap satuan pendidikan. Karena pandemi akan segera berakhir, dan sekolah akan berjalan normal. Sekolah tatap muka harus segera dilaksanakan kembali. Indonesia telah tertinggal dibanding negara lain, yang telah membuka sekolah tatap muka. Berbagai negara di Asia, Eropa, Amerika, dan Australia telah memulai sekolah tatap muka.

Harus diaki, pelaksanaan pembelajaran di rumah (melalui zoom, dan penugasan online) mengurangi interaksi faktual guru dengan murid. Serta nyata-nyata menurunkan prestasi akademik. Banyak tugas belajar bukan diselesaikan oleh murid, melainkan dikerjakan oleh orangtua. Tak jarang, tugas belajar diselesaikan oleh guru privat. Bisa berujung prestasi akademik palsu. Tidak sesuai dengan tujuan kependidikan yang diamanatkan konstitusi.

UUD pasal 31 ayat (3), menyatakan, “… sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, … .” Pada akhirnya, setiap murid wajib melaksanakan pembelajaran tatap muka, kembali masuk ruang kelas, setelah akhir pandemi. Namun sekolah juga wajib diatur selaras suasana keselamatan peserta didik, dan tenaga kependidikan.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: